Presiden Filipina Rodrigo Duterte memberi hormat kepada angkatan laut Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA/People’s Liberation Army) selama kunjungan ke kapal Angkatan Laut China di kota Davao, Filipina, tanggal 1 Mei 2017. (Foto: China Daily/Reuters)
Kedua negara adidaya tersebut akan berupaya menguasai Filipina karena lokasinya yang strategis antara Laut China Selatan dan Samudra Pasifik.
Filipina harus memperkirakan bahwa China akan menguasai beberapa aliran airnya jika pecah perang antara Beijing dan Washington, menurut mantan kepala angkatan bersenjata Filipina Emmanuel Bautista.
Lokasi yang strategis dengan rute yang menghubungkan laut China Selatan dan Samudra Pasifik menjadikannya “medan utama”, kata pensiunan jenderal tersebut dalam forum online minggu lalu.
Dia mengidentifikasi rute ini meliputi Saluran Bashi di sebelah pulau Batanes dan Babuyan dekat Taiwan, dan selat Mindoro, Cebu, Balabac, San Bernardino, dan Surigao di dalam Kepulauan Filipina.
“Jika Anda ingin mempengaruhi Laut China Selatan, Anda perlu mengontrol titik-titik penghambat ini,” katanya, sebagaimana dikutip South China Morning Post.
Bautista bertugas di militer selama lebih dari 30 tahun, dan menjadi kepala staf angkatan bersenjata dari 2013-2014. Dia juga mantan direktur eksekutif Gugus Tugas Nasional di Laut Filipina Barat, yang dibentuk pada 2016 oleh pemerintahan sebelumnya untuk mengoordinasikan upaya semua lembaga pemerintah dalam mempromosikan kepentingan negara itu di zona maritim.
Meskipun China telah mengatakan tidak akan memulai perang dengan AS, Bautista mengatakan Beijing semakin agresif di laut yang disengketakan dan di perbatasannya dengan India, tempat perselisihan militer berlanjut sejak Juni.
China memiliki klaim yang tumpang tindih atas Laut China Selatan dengan empat negara Asia Tenggara, termasuk Filipina. China juga memiliki perselisihan lama dengan Jepang atas Kepulauan Senkaku/Diaoyu, dan dalam beberapa pekan terakhir mengambil sikap militer yang lebih tegas terhadap Taiwan menyusul kunjungan pejabat tinggi pemerintahan Trump ke Taipei dan penjualan senjata AS ke pulau yang diperintah sendiri.
Foto Smartphone yang diambil oleh nelayan Filipina menunjukkan kapal Cina yang menghadang para nelayan Filipina untuk memancing ikan di Scarborough Soal. (Foto: AFP)
“Sengketa wilayah di Indo-Pasifik adalah titik nyala yang dapat memicu konfrontasi antara AS dan China,” ujar Bautista pada forum yang diselenggarakan oleh Gerakan Pemuda Nasional untuk Laut Filipina Barat, kelompok internasional yang mempromosikan kedaulatan Filipina atas laut itu.
“Dengan asumsi hal-hal akan lepas kendali dan mengakibatkan perang tembak-menembak, China akan merebut Filipina.”
Pensiunan jenderal itu juga menyebutkan, dalam perang antara negara adidaya, baik AS maupun China akan berusaha untuk menguasai negara itu. AS memiliki perjanjian pertahanan dengan Filipina yang mengikat kedua penandatangan untuk saling membantu jika salah satu diserang.
“Militerisasi China, pembangunan pangkalan pulau, sekarang menjadi ancaman langsung. Dari pangkalan ini, China dapat meluncurkan rudal dan pesawat tempur menuju kepulauan utama kami dalam beberapa menit,” katanya, dilansir dari South China Morning Post.
Pernyataan Bautista mencerminkan kekhawatiran yang berkembang di antara pejabat militer Filipina tentang meningkatnya perambahan China di wilayah negara itu. Kepala Angkatan Laut Filipina Wakil Laksamana Giovanni Carlo Bacordo baru-baru ini mengungkapkan proposal untuk mempersenjatai para nelayan Filipina dan mengerahkan mereka sebagai “milisi maritim” untuk melawan milisi laut China sendiri.
Namun Bautista mengatakan dia lebih suka para nelayan “untuk menangkap ikan dan melakukan kegiatan mereka di perairan kita” di bawah dukungan Penjaga Pantai Filipina.
Peserta forum lainnya, pensiunan kapten Angkatan Laut AS Carl Schuster, memperingatkan agar tidak mengerahkan milisi maritim.
“Masyarakat demokratis biasanya tidak memiliki kendali ketat atas pasukan paramiliter mereka seperti yang Anda temukan dengan rezim totaliter di mana ada kepemimpinan politik yang terlibat dalam pelatihan,” tutur Schuster, mantan direktur operasi Pusat Intelijen Bersama Komando Pasifik AS di Honolulu dan profesor saat ini dalam bidang diplomasi dan ilmu militer di Hawaii Pacific University, dinukil dari South China Morning Post.
Dia mengatakan penjaga pantai China tidak pernah jauh dari milisi yang berlayar di laut. “Jadi, kapan pun milisi Anda melakukan kontak dengan milisi mereka, ada kemungkinan terjadi insiden… dan kemudian Anda memiliki konfrontasi yang melampaui apa yang Anda rasa nyaman untuk dihadapi.”
Ditanya tentang skenario invasi yang dibayangkan Bautista, analis pertahanan Collin Koh mengatakan kepada This Week in Asia bahwa dia setuju jika bentrokan terjadi, Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China harus menguasai jalur air utama, terutama Selat Bashi.
“Jika pasukan AS hadir di Filipina pada saat itu, itu juga berarti mereka kemungkinan besar akan menjadi sasaran serangan, atau diisolasi dan dinetralkan sehingga mereka tidak dapat mengambil bagian dalam konflik.”
Dalam forum tersebut, Bautista mengingatkan tentang kegiatan “zona abu-abu” China, upaya yang bahkan sudah dimulai sebelum potensi konflik untuk menguasai wilayah strategis Filipina.
“Sudah ada kegiatan yang dilakukan oleh China untuk mengakses Filipina dalam hal pengadaan atau pembangunan bandara dan pelabuhan,” kata pensiunan jenderal itu. “Ada upaya untuk memperoleh tidak hanya Pulau Fuga, yang merupakan salah satu titik penghubung, tetapi bahkan pembangunan bandara Sangley di mulut Teluk Manila.”
Mengutip laporan This Week in Asia, analis Koh menunjukkan bahwa militer China saat ini memiliki pijakan yang dekat dengan Filipina, di Mischief Reef.
“China sudah memiliki kendali de facto atas Scarborough Shoal yang dekat dengan Teluk Subic yang strategis, dan pada saat konflik atau di bawah kondisi politik yang cepat lainnya, fitur ini mungkin akan terisi penuh seperti Mischief Reef sekarang,” katanya.
“Pijakan PLA di sana akan memungkinkan persiapan operasi militer yang mudah, terutama ASW (perang anti-kapal selam), melawan kapal selam AS yang datang dari Guam, sambil memfasilitasi pergerakan aset Angkatan Laut PLA termasuk kapal selam melalui selat dan ke Laut Filipina di mana PLA berharap untuk menyerang militer AS.”
Bautista mengatakan, tantangan bagi Filipina adalah untuk menegaskan haknya sambil menghindari konflik. “Kita tidak bisa mengesampingkan kedaulatan dan tindakan kedaulatan hanya karena ingin menghindari konflik,” tegasnya.
Presiden Filipina Rodrigo Duterte sebelumnya telah memperingatkan bahwa menegaskan hak kedaulatan secara otomatis akan mengarah pada perang. Dia mengesampingkan putusan 2016 di Den Haag yang pada dasarnya membatalkan klaim China atas kedaulatan sebagian besar Laut China Selatan demi mengejar hubungan ekonomi yang lebih dekat dengan Beijing.
Namun dalam beberapa bulan terakhir, menyusul keluhan dari negara penggugat Malaysia dan Vietnam, Manila telah menyatakan akan melawan setiap tantangan terhadap kedaulatan teritorialnya.
Awal pekan ini, Menteri Luar Negeri Teodoro Locsin Jnr mengatakan, Filipina sedang membangun armadanya sendiri yang mencakup kapal-kapal penangkap ikan untuk berpatroli di Laut China Selatan, mencontoh langkah China untuk mengerumuni daerah itu dalam upaya untuk menegaskan kendali.
Penerjemah: Nur Hidayati
Editor: Aziza Larasati
Keterangan foto utama: Presiden Filipina Rodrigo Duterte memberi hormat kepada angkatan laut Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA/People’s Liberation Army) selama kunjungan ke kapal Angkatan Laut China di kota Davao, Filipina, tanggal 1 Mei 2017. (Foto: China Daily/Reuters)