Prabowo—yang didukung oleh aliansi kelompok Islamis dalam upaya pemilu yang gagal—mengatakan bahwa organisasi tidak boleh dikucilkan meskipun diduga terkait dengan kekejaman. Presiden Joko Widodo sebelumnya mengisyaratkan bahwa FPI bisa dilarang dalam upaya untuk melawan gelombang konservatisme yang semakin meningkat, yang telah menyaksikan serangan terhadap kaum minoritas. Pendaftaran FPI sebagai “organisasi massa” berakhir pada 20 Juni, dan kelompok itu telah mengajukan permintaan perpanjangan.
Pemimpin oposisi Prabowo Subianto akan memainkan “peran mediator” antara pemerintah dan Front Pembela Islam (FPI) jika pihak berwenang menolak untuk memperbarui izin operasi kelompok garis keras tersebut, yang mengkampanyekan kekhalifahan di negara Muslim sekuler ini.
Tawaran itu—yang dilakukan melalui juru bicaranya pada Selasa (30/7)—menyusul isyarat dari Presiden Joko Widodo selama akhir pekan, bahwa FPI dapat dilarang dalam upaya untuk melawan gelombang konservatisme yang terus meningkat yang telah melihat serangan terhadap kaum minoritas. Jokowi mengatakan bahwa melarang kelompok itu “sangat mungkin” dilakukan.
Irawan Ronodipuro, Direktur Hubungan Luar Negeri Gerindra, mengatakan kepada SCMP bahwa pemimpin mereka siap dan bersedia membantu.
“Prabowo akan memainkan peran mediator jika izin FPI dicabut,” kata Irawan Ronodipuro, juru bicara Gerindra.
Pendaftaran FPI sebagai “organisasi massa” berakhir pada 20 Juni, dan kelompok itu telah mengajukan permintaan perpanjangan.
Pada Selasa (30/7), Menteri Dalam Negeri Indonesia Tjahjo Kumolo dikutip oleh media lokal mengatakan bahwa “semua aspek” dari permintaan itu sedang “diperiksa”, terutama apakah FPI “menerima Pancasila”—ideologi negara yang menjabarkan komitmen terhadap demokrasi, keadilan sosial, dan persatuan Indonesia.
Pendiri FPI Habib Rizieq sebelumnya telah meminta para pengikutnya untuk tetap “teguh” dalam perjuangan mereka untuk kekhalifahan dan tidak menunjukkan rasa takut, sesuai dengan apa yang dia katakan adalah ajaran Islam.
Para anggota Front Pembela Islam (FPI) meneriakkan slogan saat sebuah demonstrasi di Jakarta, Indonesia. (Foto: AP)
“FPI menyatakan dukungannya untuk ISIS ketika kekhalifahan mereka pertama kali didirikan (pada tahun 2014). Mereka juga berdoa untuk Osama bin Laden,” kata Robi Sugara, dosen dan analis kontraterorisme di Universitas Islam Syarif Hidayatullah di Jakarta.
Tetapi Ronodipuro mengatakan bahwa Prabowo percaya, selama FPI “menghormati prinsip-prinsip dasar Pancasila” dan komitmen Konstitusi Indonesia terhadap sekularisme, maka kelompok itu tidak boleh dikucilkan.
“Prabowo percaya pada norma demokrasi dasar dari hak untuk berkumpul, dan jika FPI dilarang, ini akan menjadi preseden buruk dan berpotensi mendorong lebih banyak larangan pada organisasi sipil,” kata Ronodipuro.
Sugara menyambut tawaran Prabowo untuk memediasi, dan mengatakan bahwa politisi itu adalah seseorang yang “tahu bagaimana menangani” FPI.
Didirikan pada tahun 1998, FPI telah melihat beberapa anggotanya melakukan perjalanan ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Para pejabat kontraterorisme yakin organisasi itu ikut andil dalam pengeboman Bali kedua tahun 2005 dan ledakan tahun 2009 di Hotel JW Marriott di Jakarta.
Para anggota lainnya telah bergabung dengan kelompok pro-ISIS Jamaah Ansharut Daulah di beberapa tempat di seluruh Indonesia, termasuk Kabupaten Lamongan di Jawa Timur dan kota pelabuhan Makassar di Sulawesi Selatan. Kelompok itu berada di balik sebagian besar serangan terorisme di Indonesia selama empat tahun terakhir, menurut Sugara.
FPI juga terlibat dalam berbagai aksi kekerasan massa, penindasan, intimidasi, dan ancaman terhadap agama minoritas, menurut Human Rights Watch.
Sugara mengatakan bahwa “pemerintah pasti akan mengevaluasi kelompok ini berdasarkan banyak tindakan kekerasannya”. Tetapi akademisi itu tidak merekomendasikan larangan, mengatakan bahwa itu akan mewakili kemunduran ke arah cara-cara represif mendiang diktator Suharto, dan dapat memicu pertentangan politik dan sosial.
Pengikut Hizb ut-Tahrir meneriakkan lsogan saat demonstrasi di Jakarta para tahun 2015. (Foto: Tatan Syufiana/AP)
Pada 2017, kelompok pro-kekhalifahan radikal lainnya, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dilarang melalui sebuah dekrit yang ditandatangani oleh Jokowi karena menentang Pancasila. Pekan lalu, Institut Analisis Kebijakan Konflik (IPAC) memperingatkan bahwa sikap pemerintah yang lebih keras terhadap kelompok agama garis keras berisiko memicu narasi penindasan yang akan memberi kelompok radikal alasan untuk bersatu.
Sikap tegas pemerintah menyusul kerusuhan pada bulan Mei atas sengketa Pilpres 2019, ketika para pendukung Prabowo—yang didukung oleh kelompok-kelompok Islam termasuk FPI—turun ke jalan, yang memicu kerusuhan dua hari di mana sembilan orang tewas. Para demonstran menuduh Jokowi melakukan kecurangan dalam pemilu.
Sugara mengatakan bahwa pemerintah seharusnya menetapkan pedoman baru untuk mengatur organisasi keagamaan, yang harus mencakup ketentuan bahwa kelompok-kelompok Islam berisi anggota yang berpendidikan dengan kualifikasi terkemuka dari lembaga pendidikan yang dihormati.
“Masalah utama dalam organisasi Islam radikal selama ini adalah bahwa mereka tidak memiliki anggota yang kompeten dengan pendidikan formal dan terbukti ahli dalam sejarah Islam, yurisprudensi Islam, (atau) penafsiran ayat suci Alquran,” katanya.
“Lihatlah Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah… mereka moderat karena mereka memiliki banyak anggota yang kompeten dalam agama. Tapi di FPI, kredibilitas (agama) mereka dipertanyakan.”
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah adalah organisasi Muslim moderat terbesar di Indonesia. NU memiliki 60 juta pengikut, sedangkan Muhammadiyah memiliki sekitar 40 juta pengikut. Para anggotanya termasuk cendekiawan Islam dan dosen universitas yang dihormati.
Para pendukung calon presiden Prabowo Subianto menghadiri rapat umum untuk deklarasi kemenangannya dalam Pilpres 2019 di Jakarta, 19 April 2019. (Foto: Anadolu Agency via AFP Forum/Eko Siswono Toyudho)
Selama pemilu pada bulan April, Prabowo didukung oleh aliansi kelompok-kelompok Islam garis keras, dengan FPI memimpin upaya tersebut. Derasnya dukungan dari sektor masyarakat ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan kaum nasionalis, moderat, dan minoritas—termasuk kelompok LGBT—yang khawatir bahwa tren konservatisme saat ini akan meningkat.
Pemimpin FPI Rizieq Shihab—yang saat ini tinggal di Arab Saudi—melarikan diri dari Indonesia pada tahun 2017 untuk menghindari penyelidikan polisi atas dugaan keterlibatannya dalam kasus pornografi. Meskipun penyelidikan itu kemudian dibatalkan, namun polisi mengatakan masih ada beberapa kasus lain terhadapnya yang tertunda.
Salah satu janji kampanye Prabowo adalah membawa pulang Rizieq. Pada Selasa (30/7), juru bicara Prabowo menyerukan rekonsiliasi dengan pemerintah sehingga Rizieq dapat kembali ke tanah kelahirannya.
“Prabowo telah mendorong Jusuf Kalla (Wakil Presiden Indonesia) bahwa pemerintah harus membuka dialog dengan Habib Rizieq Shihab,” kata Ronodipuro.
“Dalam semangat persatuan nasional, seperti yang Anda lihat, Prabowo Subianto melakukan apa yang dia bisa dan apa yang terbaik untuk kepentingan Republik Indonesia.”
Keterangan foto utama: Rizieq Shihab bersama pengusaha dan politisi Indonesia, Prabowo Subianto. (Foto: Istimewa)