Berita Politik Indonesia Hari Ini

Indonesia Masuki Era Neo-Orde Baru di Tangan Jokowi?

Presiden RI Joko Widodo saat dia memeriksa seorang penjaga kehormatan dengan rekannya dari Singapura Tony Tan (belakang) saat upacara penyambutan di Istana di Singapura pada tanggal 28 Juli 2015. (Foto: Reuters/Edgar Su)
Berita Internasional > Indonesia Masuki Era Neo-Orde Baru di Tangan Jokowi?

Beberapa peristiwa signifikan di Indonesia menunjukkan tren menuju pemerintahan otoriter di bawah Presiden Jokowi, atau istilah hiperbolisnya ‘darurat demokrasi’ yang ditandai dengan sejumlah pelanggaran HAM seperti penggunaan tuntutan kriminal palsu untuk membungkam kritik, kriminalisasi aktivis anti-korupsi, dan yang terbaru, pemberlakukan Perppu Ormas. Dua tahun ke depan akan ditandai dengan semakin banyak tekanan terhadap kelompok-kelompok masyarakat sipil, dan Indonesia semakin menjauh dari demokrasi liberal yang masyarakat kira telah mereka menangkan pada pergantian abad ini. Opini dan analisis oleh Tim Lindsey.

Oleh: Tim Lindsey (East Asia Forum)

Pemrotes Perppu Ormas. (Foto: Reuters/Beawiharta)

Pada tanggal 16 September, polisi membubarkan sebuah diskusi akademis di kantor milik aktivis organisasi non-pemerintah, Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Topik diskusi tersebut adalah pembunuhan terduga anggota sayap kiri (komunis) pada tahun 1965 dan 1966, setelah terjadinya kudeta yang gagal yang membuat mantan presiden Suharto berkuasa, dimana diskusi publik tersebut seringkali membangkitkan kemarahan massa anti-komunis.

Acara ini lebih signifikan daripada kelihatannya secara sekilas. LBH telah sangat kritis terhadap pemerintah dan tidak takut untuk menyuarakan masalah-masalah yang sangat kontroversial. Terlepas dari hal ini, pasukan keamanan tidak pernah sebelumnya memaksa masuk ke dalam sebuah pertemuan di kantornya—bahkan ketika di bawah pemerintahan otoriter orde baru oleh Suharto, ketika LBH sering menyuarakan pertentangan terhadap negara.

Masalah dimulai ketika para peserta protes termasuk kelompok-kelompok Islam seperti Front Pembela Islam (FPI) berkumpul di luar LBH, dan mengatakan bahwa pertemuan tersebut mendukung komunisme. Seperti kasus yang sering terjadi, polisi gagal menahan kerumunan massa tersebut. Mereka mengelilingi LBH, memaksa masuk, dan membubarkan acara tersebut.

Diskusi tentang pembunuhan massal dan pemenjaraan masyarakat Indonesia pada tahun 1965-1966 yang berkaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) masih kontroversial di Indonesia, namun itu bukanlah hal yang baru. Terdapat banyak kejadian serupa dalam beberapa tahun terakhir (termasuk di LBH), dan bahkan di konferensi-konferensi publik, dimana beberapa di antaranya didukung oleh pemerintah. Dan setiap hari Kamis, para korban selamat dari pembantaian tersebut dan para pendukung mereka, melakukan protes di luar Istana Negara untuk mengingatkan Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengenai janji kampanyenya yang tidak ia tepati, untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, termasuk pembantaian tahun 1965-1966.

Gagasan bahwa komunisme mungkin bangkit kembali sangat tidak masuk akal, di sebuah negara yang bahkan tidak memiliki partai politik sayap kiri. Walau PKI telah dibubarkan pada pertengahan tahun 1960-an dan komunisme telah mati secara global, dengan tidak adanya dukungan populer di Indonesia, namun komunisme masih hidup dan menjadi momok nomor satu di Indonesia. Jokowi membantu mengesahkan hal ini pada bulan Mei, dimana ia menanggapi pernyataan bahwa ia berasal dari keluarga bekas PKI, dengan meminta komunisme untuk ‘dihancurkan’ jika bangkit kembali. Komunisme masih menjadi pilihan untuk memfitnah pihak lawan, dimana kelompok-kelompok Islam menunjukkan serangan efektif mereka terhadap LBH.

Pemimpin-pemimpin masyarakat sipil seperti yang ada di LBH, pada kenyataannya, adalah mesin intelektual dari gerakan reformasi yang mengantarkan demokratisasi selama beberapa tahun, setelah turunnya Suharto pada tahun 1998. Serangan di LBH adalah penanda lainnya atas apa yang mereka lihat sebagai langkah menjauh Indonesia dari reformasi demokrasi liberal, menuju apa yang mereka sebut sebagai ‘Neo-Orde Baru’.

Tokoh-tokoh masyarakat sipil seperti Nurkholis Hidayat, mantan Direktur LBH Jakarta, merujuk pada serangkaian peristiwa yang menganggu, yang menunjukkan tren menuju pemerintahan otoriter, atau seperti yang mereka sebut secara berlebihan, sebagai ‘darurat demokrasi’.

Contohnya adalah kegagalan pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, peningkatan penggunaan tuntutan kriminal palsu untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan para aktivis anti-korupsi, dan meningkatnya pembunuhan di luar hukum terhadap para tersangka narkoba. Contoh yang lebih baru adalah sebuah peraturan yang kontroversial terkait organisasi massa (Perppu Ormas yang disahkan menjadi Undang-Undang) yang memperbolehkan pemerintah untuk membubarkan kelompok masyarakat sipil (seperti LBH) tanpa diproses di pengadilan.

Mereka juga merujuk pada peningkatan jumlah pemimpin militer dalam pemerintahan Jokowi, termasuk Wiranto, Ryamizard Ryacudu, dan Gatot Nurmantyo, yang menimbulkan ketakutan mengenai meningkatnya komunisme menggunakan retorika era-Suharto.

Presiden RI Joko Widodo saat dia memeriksa seorang penjaga kehormatan dengan rekannya dari Singapura Tony Tan (belakang) saat upacara penyambutan di Istana di Singapura pada tanggal 28 Juli 2015. (Foto: Reuters/Edgar Su)

Singkatnya, masyarakat sipil semakin kehilangan kepercayaan terhadap Jokowi, karena Jokowi semakin mengikuti politik global menuju ke arah kanan. Ia tidak berada di posisi yang strategis—ia adalah orang asing dan seorang presiden yang lemah, yang lebih sedikit mendapatkan dukungan institusi dibandingkan para pendahulunya. Ia bukanlah seorang mantan jenderal seperti Suharto atau Susilo Bambang Yudhoyono, atau kepala dari partainya, seperti Megawati Soekarnoputri atau B J Habibie. Ia bahkan tidak memiliki organisasi populer besar di belakangnya, seperti yang dimiliki oleh Abdurrahman Wahid. Dan ia menghadapi berbagai masalah pelik.

Ia berada di bawah tekanan besar dari sejenis politik Islam agresif yang menyerang LBH. Pada awal tahun ini, mereka memaksa pemenjaraan rekan dekat Jokowi, Ahok, yang merupakan mantan Gubernur Jakarta, dan mereka telah menyebut Jokowi sebagai ‘umat Kristen’ dan ‘Komunis.’

Jokowi juga harus terus berhadapan dengan dominasi oligarki yang kuat, yang mengendalikan partai-partai politik, sebagian besar media, dan seperti yang diakui oleh beberapa pihak, lebih dari 60 persen perekonomian. Ia tidak dapat mengasingkan mereka, yang berarti bahwa tidak banyak yang dapat dilakukan Jokowi mengenai sistem politik yang diatur secara buruk di Indonesia, yang menguntungkan masyarakat kaya dan membuat para kandidat mendapatkan pendapatan tinggi ketika mereka telah menjabat. Sistem ini telah menanamkan korupsi di antara elit politik, dan menjadi alasan utama atas pengambilan dana publik.

Semua inilah yang membuat Indonesia memiliki reputasi buruk dalam hal keterbukaan, yang sebagai hasilnya, membuat para investor asing menjauh, terlepas dari gagasan yang terus disuarakan Jokowi bahwa Indonesia ‘terbuka untuk bisnis’. Hal itu, ditambah dengan rendahnya pendapatan pajak dan birokrasi yang berbelit-belit, membuat pertumbuhan ekonomi tetap stagnan di angka 5,2 persen, yang berada di bawah angka yang dibutuhkan. Dampak terhadap harga-harga yang tinggi dan lemahnya pekerjaan baru menciptakan ketidakpuasan rakyat.

Dengan adanya pemilu yang akan diselenggarakan pada tahun 2019, Jokowi mengetahui bahwa ia harus melayani kelompok Islam garis keras dan membuat pihak-pihak oligarki tetap senang, untuk meyakinkan publik bahwa ia harus dipilih kembali—sambil tetap menjaga polisi, militer, dan partai politik nasionalis konservatif Megawati (PDI-P) di sampingnya.

Dalam situasi ini, Jokowi kemungkinan merasa bahwa ia tidak memiliki pilihan lain, selain melanggar janji-janjinya kepada masyarakat, yang menjadi semakin terpinggirkan. Bagaimana pun juga, jika mantan jenderal Prabowo Subianto kembali mencalonkan diri melawan Jokowi, sebagian besar masyarakat akan lebih memilih Jokowi, bahkan jika mereka merasa dikhianati.

Hal ini menunjukkan bahwa dua tahun ke depan akan ditandai dengan semakin banyak tekanan terhadap kelompok-kelompok masyarakat sipil, dan Indonesia semakin menjauh dari demokrasi liberal yang masyarakat kira telah mereka menangkan pada pergantian abad ini.

Tim Lindsey adalah Direktur Pusat Hukum, Islam, dan Masyarakat Indonesia di Sekolah Hukum Melbourne. Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri dan tidak mencerminkan kebijakan editorial Mata Mata Politik.

Indonesia Masuki Era Neo-Orde Baru di Tangan Jokowi?

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top