Jokowi: Kejar dan Tangkap KKB Papua, Tak Ada Tempat di Indonesia!
Seorang warga Papua memegang bendera Bintang Kejora selama pemakaman pemimpin kemerdekaan terkemuka, Theys Eluay, yang meninggal pada tahun 2001. Mereka yang mengibarkan bendera tersebut berisiko dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun (Foto: Reuters/Darren Whiteside)
Berita Internasional > Jokowi: Kejar dan Tangkap KKB Papua, Tak Ada Tempat di Indonesia!
Presiden Indonesia Jokowi memerintahkan penumpasan terhadap Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua pada Senin (26/4), setelah pemberontak membunuh seorang jenderal angkatan darat yang memimpin operasi intelijen pemerintah di wilayah tersebut, perwira militer berpangkat tertinggi yang tewas dalam konflik separatis yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Pemberontak separatis menembak mati Brigjen Kabinda Papua, Jenderal I Gusti Putu Danny Karya Nugraha, dalam penyergapan pada konvoinya Minggu (25/4) sore ketika dia mengunjungi Beoga, sebuah distrik di Kabupaten Puncak di mana pemerintah telah melancarkan operasi kontra-pemberontakan, menurut pejabat dari kedua belah pihak.
“Saya juga telah memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri untuk terus mengejar dan menangkap seluruh anggota kelompok kriminal bersenjata,” ujar Presiden Joko Widodo dalam pernyataan yang disiarkan televisi.
Beoga adalah tempat pemberontak menargetkan warga sipil dalam serangkaian serangan fatal baru-baru ini, menuduh mereka memata-matai pemerintah.
Sayap bersenjata dari kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut dan penembakan brigadir jenderal, satu-satunya korban tewas dalam penyergapan pinggir jalan pada Minggu (25/4), lapor BenarNews.
“Tidak ada tempat untuk kelompok-kelompok kriminal bersenjata di tanah Papua maupun di seluruh pelosok tanah air,” imbuh Jokowi.
Brigadir jenderal itu akan menerima kenaikan pangkat anumerta, ujar Jokowi.
“Saya atas nama masyarakat dan pemerintah Indonesia ingin menyampaikan belasungkawa yang sebesar-besarnya kepada keluarga yang ditinggalkan,” tutur Jokowi.
Dia menyampaikan pesan serupa sehari sebelumnya, ketika militer mengumumkan bahwa salah satu kapal selamnya KRI Nanggala 402 telah tenggelam di perairan dalam di Bali, menewaskan 53 awaknya.
Juru bicara Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto mengatakan, Brigjen Putu Danny mengunjungi Beoga untuk menilai keamanan di sana, di tengah pembunuhan warga sipil baru-baru ini dan serangan pembakaran di sekolah.
Dia mengendarai konvoi dengan pejabat lain dan pasukan keamanan ketika mereka diserang, ungkap Wawan.
Brigjen Gusti “melakukan observasi lapangan untuk mempercepat pemulihan keamanan pasca-aksi brutal Kelompok Separatis dan Teroris (KST) Papua di wilayah tersebut,” ujar Wawan dalam keterangan tertulisnya, merujuk pada Organisasi Papua Merdeka, dikutip BenarNews.
Kunjungan pejabat tinggi intelijen pemerintah di wilayah Papua ke Beoga, “juga dimaksudkan untuk mendongkrak semangat masyarakat yang menjadi korban kekejaman dan kebiadaban Kelompok Separatis dan Teroris (KST) Papua,” sambung Wawan.
Kelompok-kelompok separatis di Papua sering dicap sebagai penjahat, daripada pemberontak. (Foto: Reuters/Muhammad Yamin)
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), sayap militer Organisasi Papua Merdeka, mengatakan kepada BenarNews bahwa mereka berada di balik pembunuhan dua guru, seorang pengemudi ojek, dan seorang siswa sekolah menengah berusia 16 tahun awal bulan ini. Mereka semua bekerja sebagai informan pemerintah, menurut TPNPB.
“Brigadir Jenderal Gusti Putu terkena tembakan TPNPB,” Sebby Sambom, juru bicara pemberontak, mengatakan dalam sebuah pernyataan.
“Kami menargetkan anggota TNI (Tentara Nasional Indonesia) dalam baku tembak, tetapi tidak ada personel kami yang terluka.”
Wawan mengatakan, jenazah Gusti dibawa ke kota Timika dan diterbangkan ke Jakarta pada Selasa (27/4) untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.
“Kejadian ini tidak akan menyurutkan semangat dan moral aparat intelijen dan aparat keamanan lainnya, dalam memberantas segala ancaman nasional,” ujarnya.
Di Jakarta, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo mendesak pemerintah mengerahkan pasukan sekuat tenaga untuk menumpas pemberontakan Papua.
“Tumpas habis KKB Papua. Urusan HAM bicarakan nanti,” tegasnya.
Seruannya untuk bertindak menuai kritik dari pengawas hak asasi manusia Amnesty International.
“Pernyataan ini berpotensi mendorong eskalasi kekerasan di Papua dan Papua Barat,” tutur Usman Hamid, kepala kantor Amnesty International Indonesia, dalam sebuah pernyataan, Senin (26/4).
“HAM merupakan kewajiban konstitusional, sehingga harus menjadi prioritas dalam setiap kebijakan negara. Mengesampingkan HAM tidak hanya bertentangan dengan hukum internasional, tapi juga inkonstitusional,” sergah Usman.
Lebih berani, lebih agresif
Pemberontak Papua semakin agresif sejak akhir 2018, ketika mereka membunuh 20 pekerja yang sedang membangun jalan, ungkap Sidney Jones, Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), sebuah wadah pemikir di Jakarta.
Brigjen Putu Danny, katanya, adalah perwira militer paling senior yang tewas dalam konflik berkepanjangan di wilayah timur jauh tersebut, yang terdiri dari provinsi Papua dan Papua Barat.
“Mereka semakin berani dan menguasai wilayah di pegunungan tengah, termasuk Intan Jaya, Nduga, Timika, dan Puncak Jaya,” terang Jones kepada BenarNews.
“Jelas mereka menjadi lebih agresif tetapi yang lebih penting, strategi pemerintah untuk melawan tidak berhasil sama sekali, karena hanya mengirim pasukan tanpa memahami mengapa mereka sekarang lebih kuat dari empat tahun sebelumnya, dan setiap tahun mereka lebih kuat,” sambungnya.
Merupakan kesalahan besar untuk menyebut Organisasi Papua Merdeka sebagai kelompok teroris, karena itu akan membuat lebih banyak orang Papua marah dan membuat prospek dialog dengan kelompok pemberontak semakin sulit, imbuh Jones.
Menurutnya, pemerintah perlu menyelidiki sumber pendanaan dan senjata para pemberontak, dan mencari tahu mengapa mereka menjadi lebih kuat meski sejumlah besar pasukan pemerintah dikirim ke wilayah tersebut.
“Jelas, kehadiran lebih banyak pasukan bukan berarti orang Papua lebih aman,” ujarnya.
Stanislaus Riyanta, seorang pakar keamanan di Universitas Indonesia, setuju bahwa pemberontak semakin agresif.
“Penyergapan terhadap konvoi pejabat pemerintah dan pasukan keamanan semakin sering terjadi,” tuturnya kepada BenarNews.
Menurut Stanislaus, para pemberontak khawatir pembangunan jalan raya dan proyek pembangunan infrastruktur lainnya yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi akan memenangkan hati dan pikiran orang Papua di wilayah yang sangat miskin dan terbelakang itu.
“Ini adalah sesuatu yang tidak mereka sukai,” ucapnya.
Meski demikian, pemerintah harus melanjutkan program-programnya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua, ujarnya.
“Ketika kepercayaan pada pemerintah tinggi, kelompok kriminal bersenjata akan memiliki sedikit ruang untuk mempengaruhi publik. Peran negara di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur sangat penting,” imbuhnya.
Pada 1963, pasukan Indonesia menginvasi wilayah Papua dan mencaploknya.
Papua dimasukkan ke Indonesia pada 1969 setelah pemungutan suara yang dikelola oleh PBB, yang dikenal sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Banyak orang Papua dan kelompok hak asasi manusia mengatakan, pemungutan suara itu palsu karena hanya melibatkan sekitar 1.000 orang, dinukil dari BenarNews.
Penerjemah dan editor: Aziza Larasati
Keterangan foto utama: Seorang warga Papua memegang bendera Bintang Kejora selama pemakaman pemimpin kemerdekaan terkemuka, Theys Eluay, yang meninggal pada tahun 2001. Mereka yang mengibarkan bendera tersebut berisiko dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun (Foto: Reuters/Darren Whiteside)
Jokowi: Kejar dan Tangkap KKB Papua, Tak Ada Tempat di Indonesia!