Rusia menghabiskan waktu bertahun-tahun membangun pengaruh di Timur Tengah, dan kehilangan semuanya karena bermain api dengan Arab Saudi pada perang minyak.
Selama beberapa tahun terakhir, komunitas kebijakan luar negeri secara kolektif mulai yakin era baru dalam politik internasional telah muncul. Ciri-ciri dari tatanan pasca-Perang Dingin ini adalah kompetisi kekuatan besar dan penataan kembali hubungan Amerika dengan negara-negara di seluruh dunia.
Ini terlihat jelas di Timur Tengah, di mana sekutu-sekutu AS mengembangkan hubungan diplomatik, komersial, dan militer dengan kekuatan-kekuatan saingan AS, yaitu China dan Rusia.
Namun, dengan banyak pakar, analis, pejabat, dan politisi semakin yakin dengan kemungkinan AS akan keluar dari Timur Tengah, itu telah membuat banyak orang menyimpulkan tatanan regional baru akan ditempa oleh China atau Rusia.
Ada banyak alasan untuk meragukan hal itu, menurut pendapat Steven A. Cook yang dimuat di Foreign Policy. Beberapa di antaranya diperjelas dalam beberapa minggu terakhir: perang harga minyak yang sedang berlangsung antara Rusia dan Arab Saudi, telah menunjukkan bagaimana Rusia telah memainkan pengaruhnya secara berlebihan di wilayah tersebut.
Hampir 30 tahun setelah berakhirnya Perang Dingin, para pemimpin di Timur Tengah memang lebih menyambut kekuatan Rusia. Dengan hilangnya beban ideologis komunisme Soviet dan Amerika Serikat yang membuktikan dirinya sebagai kekuatan yang tidak kompeten, Rusia memang tidak tampak sebagai alternatif bagi AS, tetapi sebagai pemain regional yang lebih konstruktif.
Presiden Rusia Vladimir Putin, kanan, dan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi mengunjungi kapal penjelajah rudal Black Sea Armstrong Moskva pada 12 Agustus di pelabuhan laut Sochi. (Foto: AFP/Alexei Druzhinin)
Kontras antara cara mantan Presiden AS Barack Obama meninggalkan pemimpin Mesir Hosni Mubarak dan intervensi Presiden Rusia Vladimir Putin di Suriah untuk menyelamatkan Bashar al-Assad, meninggalkan kesan mendalam pada penguasa Arab.
Selain adanya persepsi negatif tentang Amerika Serikat, Timur Tengah semakin menemukan lebih banyak kesamaan ekonomi dan sistem politik dengan Rusia: ketergantungan mereka pada pendapatan minyak dan otoritarianisme.
AS telah berkontribusi pada perkembangan hubungan mereka. Dengan meluncurkan apa yang disebut oleh Presiden AS Donald Trump sebagai “kemerdekaan energi”, Amerika Serikat telah membanjiri pasar dengan gas alam dan minyak. Itu telah menyebabkan turunnya harga energi. Itulah sebabnya pada 2016 anggota OPEC dan Rusia (OPEC+) sepakat untuk membatasi produksi agar harga minyak dapat lebih tinggi.
Kesepakatan itu, yang sebenarnya merupakan hasil dari perang minyak sebelumnya di mana Arab Saudi menolak untuk memotong produksi dengan harapan dapat merusak produsen minyak serpih AS (namun gagal), menstabilkan pasar energi.
Harga satu barel minyak kembali ke tingkat yang akhirnya membantu Arab Saudi dan Rusia bisa membayar hal-hal yang ingin mereka lakukan, seperti meluncurkan perang (di Ukraina, Suriah, Yaman, Libya) dan berinvestasi dalam transformasi sosial.
Memang, kesepakatan tersebut hanya tentang produksi minyak, tetapi itu mengulurkan prospek perubahan konfigurasi hubungan di Teluk Persia. Bagi Arab Saudi, Rusia adalah cadangan dari Amerika Serikat yang tidak dapat diprediksi. Selain itu, terlepas dari disfungsi politik dan polarisasi, Amerika Serikat juga tampaknya semakin ingin meninggalkan Timur Tengah.
Rusia, pada akhirnya, mendapat dorongan dan pengaruh dengan bekerja sama dengan Arab Saudi. Apakah ini benar-benar akan mengorbankan Amerika? Itu masih diperdebatkan, tetapi persepsi seringkali lebih penting daripada kenyataan, menurut Steven A. Cook.
Paling tidak, Putin ingin semua orang percaya ia bisa mendorong Arab Saudi menjauh dari Amerika Serikat, seperti yang juga Rusia lakukan pada Turki dan Mesir.
Inilah mengapa, setelah Trump tidak memberi tanggapan militer terhadap Iran atas serangannya terhadap fasilitas pemrosesan minyak Arab Saudi pada September 2019, Putin menawarkan untuk menjual sistem pertahanan udara S-400 kepada Arab Saudi. Sistem pertahanan buatan Rusia itu adalah saingan sistem pertahanan Patriot buatan AS. Turki telah membeli sistem itu, yang kemudian mengganggu hubungan antara AS dan Turki.
Meskipun ada banyak kesamaan kepentingan antara Arab Saudi dan Rusia, terutama dalam energi, era kombo Arab Saudi-Rusia tidak terwujud. Rusia hanya bisa menyalahkan diri mereka sendiri. Sejak sebelum pembunuhan Jamal Khashoggi, Mohammed bin Salman digambarkan sebagai orang yang gegabah dan canggung, terbukti pada sejumlah kesempatan sebelumnya. Karena itu, semakin mudah untuk yakin bahwa kecerobohannya telah menyebabkan anjloknya harga minyak selama sebulan terakhir.
Namun, bukan itu masalahnya. Arab Saudi datang ke pertemuan OPEC+ pada awal Maret dan intinya mengatakan: permintaan minyak semakin menyusut karena pandemi global, jadi mari kita kurangi satu juta barel dari pasar. Dari perspektif Arab Saudi, itu tampaknya merupakan langkah yang sepenuhnya masuk akal, tetapi Rusia menolak untuk melakukannya, mengatakan mereka ingin menilai dampak penuh dari virus corona pada ekonomi global sebelum memotong produksi.
Kemungkinan besar, Rusia tidak ingin memotong produksinya karena mereka lebih tertarik untuk merusak produsen minyak serpih AS dan merebut pangsa pasar dari Arab Saudi. Kemungkinan perebutan pangsa pasar itulah yang membuat Arab Saudi begitu marah. Arab Saudi kemudian bersumpah untuk meningkatkan produksi hingga 10 juta barel per hari dan mulai menawarkan potongan harga yang tajam pada minyaknya.
Itu adalah upaya untuk mengintimidasi Rusia dan memaksa mereka kembali ke meja perundingan. Namun Rusia menyatakan mereka dapat bertahan di harga minyak yang rendah. Arab Saudi mengatakan mereka juga bisa, dan harga minyak global anjlok.
Steven A. Cook menilai, Amerika Serikat tampaknya menjadi korban dari perang harga minyak ini. Anggota Kongres dari negara-negara di mana industri bahan bakar fosil penting telah sangat tertekan. Namun, sulit untuk menemukan pemenang dalam perang minyak ini. Mungkin hanya China, karena mereka dapat meningkatkan ekonomi pasca-wabah virus corona dengan bantuan minyak murah.
Dalam konteks yang berbeda, teoretikus politik Marxis Italia Antonio Gramsci pernah menulis tentang “interregnum” setelah kematian suatu tatanan, sedangkan “(tatanan) baru tidak dapat dilahirkan.” Pada periode inilah Gramsci mengamati “munculnya gejala yang tidak wajar.”
Kita berada dalam momen seperti itu sekarang. Itulah sebabnya mereka yang menantikan tatanan baru tidak boleh salah mengartikan penguatan nyata hubungan Arab Saudi-Rusia dalam beberapa tahun sebelumnya dengan apa pun selain kemunduran, yang bukan merupakan fitur sistem global baru yang sedang tumbuh.
Penerjemah: Nur Hidayati
Editor: Aziza Fanny Larasati
Keterangan foto utama: Presiden Rusia Vladimir Putin bertemu dengan Raja Salman Arab Saudi di Kremlin di Moskow. (Foto: Reuters)
Kalah di Perang Minyak, Rusia Kehilangan Pengaruh di Timur Tengah