Pandemi COVID-19, Badai Sempurna bagi Asia Selatan
Global

Kenapa Sistem Kesehatan Global Gagal Tangani COVID-19?

Berita Internasional > Kenapa Sistem Kesehatan Global Gagal Tangani COVID-19?

Meskipun ada “Organisasi Kesehatan Dunia”, kapasitas kolektif yang telah dikembangkan sebelumnya sangat terbatas.

Sistem yang telah dikembangkan untuk memberikan respons global terhadap pandemi telah gagal total. COVID-19 telah menyebar ke seluruh dunia. Pemerintah, dan bahkan pemerintah daerah, sekarang bersaing untuk mendapatkan stok medis yang langka, sementara rantai pasokan kritis telah terganggu karena pembatasan ekspor pemerintah.

Organisasi Kesehatan Dunia, pusat tata kelola kesehatan global, telah disingkirkan dari panggung utama, dengan Presiden AS Donald Trump telah menyatakan akan menarik semua kontribusi dana Amerika ke WHO. Bagaimana kita bisa sampai di sini?

Untuk menjelaskan kegagalan tata kelola kesehatan global saat ini, penting untuk terlebih dahulu menggambarkan seperti apa COVID-19.

Beberapa bentuk tata kelola kesehatan internasional telah ada sejak wabah kolera di Eropa abad ke-19. Namun, mekanisme tata kelola global untuk mengatasi epidemi baru muncul setelah wabah Sindrom Pernafasan Akut (SARS) 2002–2003.

Baca Juga: [Berita Foto] Normal Baru di Masa Pandemi COVID-19

Sampai sekarang, peraturan internasional cukup terbatas. Peraturan itu fokus pada pengelolaan perbatasan internasional (bandara, pelabuhan, dan pos pemeriksaan perbatasan) dan hanya meminta pemerintah untuk memantau penyebaran sejumlah kecil penyakit menular.

Selama krisis SARS, yang menyebabkan 774 kematian dan kerugian senilai US$40 miliar pada ekonomi global, mekanisme tata kelola yang sudah ada sebelumnya dianggap tidak memadai mengingat cepatnya penyebaran virus global.

Perubahan ad hoc dilakukan selama krisis pada 2003. WHO diberi wewenang untuk mengeluarkan peringatan perjalanan tanpa terlebih dahulu menerima persetujuan dari pemerintah terkait. Organisasi itu juga diizinkan untuk mencari informasi dari sumber-sumber non-resmi untuk menambah kapasitas pengawasan penyakitnya.

Pada 2005, Peraturan Kesehatan Internasional yang direvisi lahir. Kapasitas pengawasan penyakit independen WHO diformalkan dan diberi wewenang untuk mengeluarkan peringatan Darurat Kesehatan Masyarakat Internasional, berdasarkan informasi resmi dan tidak resmi.

Fokus utama lain dari Peraturan Kesehatan Internasional adalah mengubah sistem kesehatan dalam negeri dan menjalin jejaring lintas batas dalam memerangi penyakit menular. WHO juga diberi peran penting dalam bidang ini: menerbitkan pedoman “praktik terbaik” kepada otoritas nasional dan subnasional, serta memantau kesiapsiagaan pandemi sistem kesehatan nasional.

Karenanya, tata kelola kesehatan global beroperasi bukan melalui supranasionalisme, tetapi melalui pembentukan dan jejaring administrasi domestik lintas batas.

Dilansir dari The Interpreter, Shahar Hameiri, profesor politik internasional di Queensland University, berpendapat ada dua elemen utama dari sistem tata kelola kesehatan global ini digabungkan untuk menyebabkan kegagalan selanjutnya selama wabah COVID-19.

Pertama adalah peran utama WHO dalam pengawasan penyakit dan koordinasi respons. WHO sama sekali tidak cocok untuk tujuan ini. Ini berasal dari sikap tunduk kepada negara-negara yang kontribusi dananya besar.

Seperti banyak organisasi internasional dalam sistem PBB, WHO lahir sebelum gelombang besar dekolonisasi muncul dunia pada 1950-an dan 1960-an. Pada 1970-an negara-negara pasca-kolonial mulai melihat WHO sebagai jalan untuk mengejar klaim mereka akan Tata Ekonomi Internasional Baru yang lebih adil.

Pada September 1978, di Alma Ata (sekarang Almaty), Kazakhstan Soviet, negara-negara “dunia ketiga” dan negara-negara anggota komunis mendorong membuat deklarasi Majelis Kesehatan Dunia yang menyerukan agenda “kesehatan untuk semua orang”. Deklarasi Alma Ata mendefinisikan kesehatan sebagai hak asasi manusia dan masalah sosial-ekonomi. Deklarasi itu juga menarik perhatian pada kesenjangan kesehatan antara negara maju dan berkembang.

Meskipun negara-negara maju juga menandatangani deklarasi itu, mereka sangat prihatin tentang potensi tuntutan redistributif. Akibatnya, WHO sebagian besar didanai oleh penyandang dana utamanya, Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat. Mayoritas bantuan kesehatan untuk negara-negara berkembang dialihkan melalui Bank Dunia, di mana badan itu menjadi bagian dari agenda penyesuaian struktural Bank yang berkembang.

Anggaran operasional WHO dipotong rendah, dan negara-negara yang berkontribusi beralih ke pendanaan sukarela dan berbasis proyek untuk memastikan WHO mengejar tujuan yang mereka sukai. Pada 2000-an, pendonor secara langsung mengendalikan sekitar 80 persen dari anggaran WHO. Saat ini, total anggaran tahunan WHO sekitar US$5,6 miliar. Sebagai perbandingan, anggaran kesehatan federal Australia untuk 2019-20 adalah US$120 miliar, dan bahkan lebih besar jika anggaran negara bagian dimasukkan.

COVID-19

Pekerja medis yang mengenakan pakaian pelindung menari bersama para pasien di dalam Wuhan Parlor Convention Center yang telah diubah menjadi rumah sakit darurat setelah wabah virus corona baru di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, 15 Februari 2020. (Foto: Reuters/China Daily)

Baca Juga: Pandemi COVID-19 Bikin WTO Makin Lemah

Tidak mengherankan, ini menyebabkan kapasitas WHO menjadi terbatas, dan membuat organisasi itu sangat responsif terhadap negara-negara pendonor utamanya. Hal itu membahayakan independensinya.

Namun, komposisi donor utama WHO telah berubah sejak 1978. China, yang pada saat itu baru memulai kebangkitan ekonominya, saat ini merupakan penyedia kontribusi wajib “terbesar” ke-3 bagi WHO, dan akan menjadi terbesar kedua setelah AS menarik kontribusinya. Meskipun China bukan penyumbang utama pendanaan sukarela pada saat ini, China memiliki peran yang semakin penting dalam sistem PBB yang lebih luas.

Aspek penting kedua dari tata kelola kesehatan global pra-COVID-19 adalah operasinya melalui lembaga-lembaga negara dalam negeri. Asumsi yang mendasarinya adalah penyakit menular kemungkinan muncul di negara-negara berkembang, karena sanitasi yang buruk dan kapasitas tata kelola, kemudian menyebar ke bagian lain dunia.

Meskipun dukungan finansial yang sangat terbatas tersedia untuk membantu negara-negara berkembang membangun sistem kesehatan domestik mereka, mereka menjadi sasaran pengawasan berkelanjutan oleh WHO dan negara-negara maju.

Ketika wabah penyakit terjadi, negara-negara maju menyediakan dana dan melakukan intervensi sementara untuk mengatasi masalahnya segera. Dana ini pada akhirnya akan mengering seiring wabah dianggap telah dikendalikan.

Selain intervensi intermiten seperti itu, yang tidak banyak membantu pembangunan kapasitas kesehatan primer di negara-negara penerima, sebagian besar negara seharusnya menggunakan sumber dayanya sendiri untuk mewaspadai pandemi. Dengan demikian, kapasitas kolektif yang sangat terbatas telah muncul, bahkan di dalam Uni Eropa.

Faktor-faktor tersebut bergabung untuk menciptakan kegagalan tata kelola kesehatan global yang spektakuler setelah munculnya COVID-19.

Alih-alih muncul di negara berkembang yang miskin, yang dapat dengan mudah menjadi sasaran pengawasan dan tanggapan internasional, virus corona muncul di China. China menutup-nutupi awal merebaknya wabah di Wuhan, dan tunduknya WHO pada pemerintah China telah banyak dikritik. Namun, perilaku ini tergolong tipikal untuk organisasi yang lemah, yang lama terbiasa bersujud kepada penyandang dana utamanya.

Dari China, penyakit ini menyebar ke negara maju. Terbiasa membiayai dan mengimplementasikan intervensi terbatas jauh dari negerinya, pemerintah negara-negara maju tiba-tiba memerangi penularan besar-besaran di dalam negeri. Jelas, banyak dari mereka yang tidak siap.

Selain itu, karena kapasitas kolektif yang telah dikembangkan sebelumnya sangat terbatas, fokus penuh mereka segera beralih ke dalam negeri, sehingga respons globalnya sangat terfragmentasi. Seperti yang telah ditekankan Hameiri dalam tulisannya, sistem global untuk mengatasi wabah penyakit menular yang muncul sebelum COVID-19 jelas tidak memadai.

Meski tata kelola global dalam beberapa tahun terakhir telah dianggap remeh, tidak bisa disangkal dunia membutuhkan pengembangan kerja sama lintas-batas yang lebih tahan lama, adil, dan didanai dengan lebih baik demi mengatasi ancaman pandemi yang selalu ada. Mungkin, peninjauan kembali agenda “kesehatan untuk semua orang” pada 1970-an bisa jadi pertimbangan.

 

Penerjemah: Nur Hidayati

Editor: Purnama Ayu Rizky

Keterangan foto utama: Salah satu ilustrasi tenaga medis di India selama corona. (Foto: RFI)

Kenapa Sistem Kesehatan Global Gagal Tangani COVID-19?

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top