Kepresidenan Donald Trump selama 4 tahun terakhir telah meninggalkan kerusakan reputasi Amerika Serikat di mata negara-negara sekutu maupun musuh, yang dijhawatirkan tidak dapat dengan mudah dipulihkan.
Dibutuhkan lebih dari sekedar pemilihan umum bagi Amerika Serikat untuk mendapatkan kembali kepercayaan dari para sekutunya setelah empat tahun kepresidenan AS yang paling menghancurkan norma dalam sejarah.
Pemerintahan Presiden AS Donald Trump telah sedemikian rupa mengguncang kepercayaan pada tatanan internasional yang dipimpin AS, menurut analisis Luke McGee di CNN, sehingga para ahli khawatir bahwa kerusakan yang ditimbulkan terhadap norma-norma demokrasi global dapat membutuhkan waktu pemulihan selama puluhan tahun.
Mulai dari berteman dengan para pemimpin kuat otokratis hingga merongrong institusi multi-nasional dan bahkan mempertanyakan legitimasi demokrasi AS, Trump telah memimpin pergeseran yang disengaja atas daya keandalan Amerika sebagai “kota yang bersinar di atas bukit”, menurut kutipan mantan Presiden AS Ronald Reagan.
“Trump telah menormalisasi hal-hal yang tabu. Jika ada pemimpin Barat lainnya yang bertindak seperti Trump, mereka akan terpinggirkan,” tutur Nanjala Nyabola, analis politik yang berbasis di Nairobi, Kenya. “Sebagai pemimpin salah satu negara paling kuat di dunia, dia mampu berperilaku dengan sepenuhnya mengabaikan lembaga dan norma yang mengandalkan itikad baik dan kepercayaan dalam komunitas internasional. Meremehkan semua itu akan menjadi warisan abadi Trump.”
Mungkin contoh paling jelas dari penghinaan nyata Trump terhadap demokrasi dapat dilihat dari kekagumannya terhadap para otokrat dan otoriter di berbagai negara lain. Trump menyebut putra mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman sebagai “teman saya” yang melakukan “pekerjaan yang sangat spektakuler”. Faktanya, warga negara Saudi begitu tertindas sehingga tidak dapat memilih dan dipimpin oleh keluarga kerajaan yang selama beberapa dekade telah memimpin banyak upaya pelanggaran hak asasi manusia.
Trump menyebut diktator Korea Utara Kim Jong-un sebagai “pemimpin sejati”, yang dengannya Trump mengaku menjalin hubungan yang “sangat baik”. Korea Utara mungkin adalah contoh terburuk dari kediktatoran di dunia. Para pembangkang di negara itu konon dipenjarakan, sementara para lawan politik dieksekusi di hadapan publik oleh keluarga penguasa yang didewakan di media pemerintah.
Kecintaan Trump terhadap orang kuat tidak berhenti pada para diktator. Trump juga memuji para otoriter di negara demokrasi semu atau parsial. Dia memberikan ucapan selamat kepada Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan atas kemenangan elektoral yang menurut para pengamat pemilihan umum internasional menunjukkan kurangnya persaingan sejati dan masing-masing tidak berjuang dalam ajang pemilu secara adil. Dalam kasus Turki, pemungutan suara yang digelar merupakan referendum konstitusional yang memberi Erdoğan kekuatan baru yang luas.
“Ketika Presiden Amerika Serikat memberi selamat kepada pemimpin otoriter karena memenangkan pemilihan umum yang tidak adil atau menyebut diktator sejati sebagai temannya, langkah itu memberi para pemimpin tersebut kemenangan propaganda atas dukungan dari yang sosok Trump dianggap sebagai pemimpin moral dunia,” tegas Nic Cheeseman, profesor demokrasi di Universitas Birmingham, Inggris. “Ketika Anda menggabungkan dukungan ini dengan berkurangnya kehadiran Trump di panggung dunia, dia telah menciptakan ruang bagi para pemimpin kuat untuk berperilaku lebih agresif di dalam negeri masing-masing dan di dunia internasional.”
Luke McGee menyoroti dalam analisisnya di CNN, Trump telah menunjukkan sedikit minat dalam menuntut pertanggungjawaban para pemimpin otokrat, bahkan untuk pelanggaran yang menyedihkan. Ketika jurnalis Jamal Khashoggi dibunuh oleh kelompok pembunuh bayaran Saudi, Trump menolak mengecam pemerintahan Mohammed bin Salman dengan mengatakan Timur Tengah adalah “tempat yang kejam dan bermusuhan”. Setelah Rusia ikut campur dalam Pilpres AS 2016, Trump berulang kali menolak untuk mengecam Putin. Pada KTT G7 tahun lalu, Trump dilaporkan menyebut Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi, sekutu utama AS yang telah lama dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia, sebagai “diktator favorit saya”.
Selama 4 tahun terakhir, Trump juga telah menarik diri dari sejumlah perjanjian internasional dan mempertanyakan relevansi lembaga internasional yang secara historis mengandalkan dukungan politik dan keuangan Amerika. Berbagai tindakannya memiliki dampak langsung dan segera dalam mengurangi efektivitas multilateralisme.
“Ketika Trump menarik diri dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di tengah pandemi COVID-19 dan menuduh organisasi itu bekerja dengan China, Trump berisiko menghancurkan kredibilitas jangka panjang badan-badan internasional dalam menangani krisis global,” keluh Cheeseman. “Ketika dia menarik diri dari perjanjian seperti kesepakatan iklim Paris, dia mengurangi kemampuan komunitas internasional untuk meminta suatu negara berhenti menebang pohon. Jika AS tidak lagi menjadi pemangku kepentingan, mengapa negara lain harus melakukannya?”
Nyabola berpendapat bahwa dampak jangka panjang dari unilateralisme Trump menghadirkan dua risiko yang signifikan. Pertama, kritiknya terhadap institusi seperti NATO dan PBB dapat “meruntuhkan kerja puluhan tahun yang menghasilkan forum yang dibangun atas dasar kepercayaan dan kejujuran”. Kedua, dia percaya bahwa gaya kepemimpinannya yang tidak terkendali telah “mengubah ekspektasi internasional terhadap jabatan presiden”. Harapan tersebut mungkin termasuk mendukung negara-negara demokratis ketika kebebasan mereka terancam atau melindungi kepentingan keamanan Barat dan mempromosikan stabilitas, alih-alih berteman dan memberi ucapan selamat kepada aktor-aktor musuh yang berusaha merusak prinsip-prinsip tersebut.
Kandidat presiden dari Partai Demokrat Joe Biden mengacungkan tinjunya saat menjawab pertanyaan dari wartawan saat acara kampanye di Wilmington, Delaware, 30 Juni 2020. (Foto: Kevin Lamarque/Reuters)
Semua ini menimbulkan masalah bagi para calon pengganti Trump, entah akhir tahun ini atau dalam empat tahun mendatang, menurut analisis Luke McGee di CNN, yang ingin menampilkan kepresidenan Trump sebagai sebuah penyimpangan.
“Retorika dan perilaku Trump telah mengubah apa yang diklaim oleh para negara teman dan musuh dapat mereka harapkan dari seorang presiden AS,” ujar Jennifer Cassidy, peneliti diplomatik di Universitas Oxford, Inggris. “Ini berarti negara-negara seperti Iran sekarang memiliki izin bebas untuk mengatakan bahwa mereka tidak akan pernah bernegosiasi dengan AS lagi. Mereka dapat mengklaim secara kredibel, apa gunanya jika seseorang seperti Trump akan memimpin lagi dan meruntuhkan semuanya?”
Transformasi Trump terhadap posisi global Amerika akan membayangi siapa pun yang pada akhirnya akan menggantikannya sebagai presiden. Jika Trump digantikan oleh capres Partai Demokrat Joe Biden pada Januari 2021, kemungkinan Biden akan mencoba memulihkan beberapa hubungan internasional Amerika sejak hari pertama menjabat. Kesulitan yang akan dihadapi Biden kelak, tidak peduli seberapa keras Biden mengembalikan semuanya ke keadaan normal, Trump terbukti pernah memimpin sekali dan seluruh dunia sadar sosok presiden AS sepertinya bisa muncul lagi.
“Trump 2.0 bisa menjadi prospek pemimpin yang lebih muda dan lebih koheren secara intelektual. Trump 2.0 bisa memiliki keinginan yang lebih terbuka untuk menghancurkan tatanan dunia pasca-perang,” tandas Cheeseman.
Tidak peduli berapa banyak pihak-pihak yang menghormati tatanan dunia yang dipimpin Amerika Serikat mungkin menginginkan pemerintahan baru di AS untuk membatalkan empat tahun terakhir kepresidenan Trump, akan butuh waktu bagi AS untuk kembali dipercaya sepenuhnya oleh para sekutu. Sementara kepresidenan baru AS membangun kembali kepercayaan itu, Luke McGee menyimpulkan di CNN, banyak sosok yang menentang demokrasi Barat akan terus menempati ruang yang diberikan Trump kepada mereka ketika dia meninggalkan jabatannya sebagai pemimpin dunia bebas.
Penerjemah dan editor: Fadhila Eka Ratnasari
Keterangan foto utama: Presiden Amerika Serikat Donald Trump memegang masker saat bersiap berpose untuk pemotretan di Balkon Truman Gedung Putih usai kembali dari rawat inap COVID-19 di Walter Reed Medical Center, Senin, 5 Oktober 2020. (Foto: Erin Scott/Reuters)
Kepresidenan Trump Buat Dunia Kurang Aman, Bisakah Diperbaiki?