Asia

Kisah Biarawati AS Bangun Timor Leste dari Nol

Berita Internasional > Kisah Biarawati AS Bangun Timor Leste dari Nol
Advertisements

Susan Gubbins, Suster Maryknoll dari Chicago, Amerika, membagi kisahnya membangun kota dan penduduk di laman Global Sister Report. Dia menceritakan pengalamannya berada di Indonesia pada 1975 dan ke Timor Leste pada 1991. Berikut terjemahan redaksi Mata Mata Politik.

Sesampainya di Timor Leste dari Indonesia pada Februari 1991, kami lima suster Maryknoll harus menetap, menghitung kebutuhan, dan membangun rumah. Pasalnya, kami adalah suster pertama di paroki Aileu, yang belum pernah ada paroki sebelumnya. Saya masih ingat, Suster Dorothy McGowan dan saya memilih untuk membangun kesehatan masyarakat di Timor Leste, termasuk memikirkan peningkatan nutrisi anak-anak setempat.

Baca juga: Bencana Ganda Timor Leste: Hikmah yang Bisa Dipetik

Duduk di beranda gereja atas bukit, kami membayangkan desa-desa yang sangat jauh. Kami sadar betul membutuhkan pendekatan berbasis komunitas karena paroki itu meliputi dua dari empat kecamatan di Distrik Aileu, dengan 16 desa pegunungan. Kami mulai menawarkan kursus kami sendiri, dengan memanfaatkan ahli kesehatan setempat.

Kami mengundang tiga atau empat orang dari setiap desa untuk menjadi “motivator kesehatan”, dan mendapatkan dana untuk membangun klinik kecil di halaman gereja - ini akan menjadi pusat penjangkauan kami. Tak hanya itu, kami juga bisa melayani mereka yang tinggal di sekitar lokasi. Para motivator harus menjadi “mata dan telinga” kami kemudian melapor pada pertemuan bulanan.

Seorang teman yang bekerja dengan Helen Keller Foundation datang berkunjung, dan kami mengadakan pemeriksaan untuk kebutaan atau kerusakan mata. Ujian ini memberikan keterampilan baru kepada para motivator kami, dan mengakibatkan saya membawa seorang gadis kecil ke Jakarta untuk dioperasi.

Suatu hari, saat berjalan ke pasar, saya melihat seorang anak laki-laki di atas pohon, yang berusia sekitar 10 tahun dan selamat dari polio. Ibunya telah mengadu ke Departemen Kesejahteraan Sosial tetapi tidak berhasil. Untuk anak laki-laki dan perempuan, saya menggunakan kontak kami di Indonesia. Melalui pengalaman ini, saya tahu kami harus terus mencari sumber daya untuk membantu komunitas kami, apa pun masalahnya. Jadi, kami memulai pekerjaan rehabilitasi fisik tanpa menyadarinya.

Saya sedang berada di ibu kota, Dili, makan siang dengan dua perawat Misi Kusta, ketika salah satu dari mereka, Philippa, bertanya kepada saya apakah ada orang cacat fisik di Aileu. Sekembalinya saya, saya bertanya kepada motivator kami. Ketika saya melaporkan jumlah yang besar kepada Philippa, dia berkata, dengan kelompok yang begitu banyak, akan lebih baik jika Dr. John Hargrave pergi ke sana untuk memeriksanya. Dia datang dan begitulah program dimulai!

Hari pertama Dr. Hargrave menemukan Sister Dorothy dan saya, ditambah 70 orang warga Timor Leste yang cacat fisik - masing-masing dengan seorang anggota keluarga dan seorang motivator kesehatan desa. Setelah berjam-jam pemeriksaan awal, John menyelesaikan daftar langkah-langkah selanjutnya untuk setiap pasien yang harus kami lakukan sebelum kami mengunjungi bulan berikutnya dari Australia.

Saat program dimulai, John menunjukkan perlunya terapi fisik pasca-bedah, pembuatan kawat gigi, dan prostesis untuk membantu pasien meningkatkan mobilitas mereka, pun kebutuhan khusus lainnya. Karena dia kadang-kadang menjalani operasi untuk pasien di rumah sakit para suster Darah Berharga di Cancar di pulau Flores, kami mengirim seorang perawat dan motivator kesehatan berbakat ke rumah sakit itu untuk pelatihan rehabilitasi.

Kembali ke Aileu, kami harus mencari dana dan membangun bengkel rehabilitasi untuk pembuatan semua hal khusus yang diperlukan: sepatu, gips, dan bahkan sepeda roda tiga karena penduduk pegunungan tidak memiliki transportasi.

Sementara itu, kami mengundang satu perawat dari masing-masing empat kecamatan untuk menjalankan program dan menjadi penghubung ke pasien di wilayah mereka. Saat ini, kami telah menggunakan Klinik Centro di Dili - untuk operasi dan beberapa pemeriksaan pertama, dengan peluang bagus untuk pelatihan; rumah sakit Cancar di Flores untuk beberapa operasi dan pelatihan khusus seperti pembuatan sepatu dan pertukangan kayu; sebuah rumah sakit di Jawa dan bahkan beberapa lokasi di Australia untuk operasi yang sangat terspesialisasi - berkat koneksi John.

Ada beberapa kisah sukses yang luar biasa! Seorang gadis praremaja di desa terpencil kehilangan separuh dagunya akibat infeksi masa kanak-kanak. Atas rekomendasi John, kami mengirimnya ke Australia, di mana ahli bedah plastik Dr. Mark Moore melakukan pekerjaan dengan baik. Sekembalinya, dia membutuhkan terapi wicara - untungnya kami telah mengirim salah satu staf klinik untuk pelatihan terapi wicara di Jawa.

Pasien lain masih lekat dalam ingatan saya. Saya melihatnya di gereja pada suatu Minggu pagi dengan topeng menutupi mulutnya. Penasaran, saya menanyakan alasan topeng itu. Jawabannya teredam dan dia tidak melepaskan topengnya, jadi saya mengundangnya ke pertemuan kita berikutnya demi bertemu dengan Dr. John. Sekarang, mungkin saya bisa melihat di bawah topeng! Namun, pemeriksaan itu terjadi terlalu cepat untuk saya lihat. John merujuknya ke Australia, dan dia membutuhkan foto paspor.

“Ini kesempatanku,” pikirku, “Aku akan meminta dua foto!” (Namun saat itu, saya tahu dia telah ditembak di pipinya.) Setelah operasi dia mendapat pekerjaan sebagai guru dan sekarang tanpa topeng. Akan tetapi, kami masih tidak punya foto - klinik itu terbakar habis pada 1999.

Philippa membawa kami ke kota lain, Baucau, di mana kami memulai dengan pasien kustanya. Kemudian berbagai suster mengundang kami untuk membantu di tempat mereka. Saat ini, program tersebut melayani seluruh negeri, kecuali bagian barat. Sampai saat ini kami tidak diperbolehkan menggunakan Rumah Sakit Nasional di Dili.

Gereja Katolik di Timor Leste. (Foto: Asia Pacific Report)

Baca juga: Selepas Banjir Timor Leste: Nyaris 5 Ribu Orang Masih Mengungsi

Konon, telah terjadi pergolakan besar di akhir tahun 90-an; salah satu pegawai klinik kami dipenjara dan disiksa. Ketegangan terus meningkat, dengan Indonesia mengambil kendali penuh di Dili dan jam malam tidak resmi diberlakukan. Saat itulah kami tiba-tiba diizinkan menjalani operasi di Rumah Sakit Nasional. Sebagian besar, semuanya berjalan lancar sampai suatu hari, seorang anak laki-laki meninggal di meja operasi, setelah operasi selesai. Sekitar waktu ini, pasien yang dijadwalkan untuk operasi mulai menolak, karena mengira itu tidak aman. Namun, program tersebut kemudian ditunda hingga upaya pengambilalihan berdarah oleh Indonesia menghasilkan kemerdekaan bagi Timor Timur pada September 1999.

Sekarang, dalam kebebasan, kami memulai pelayanan rehabilitasi kami lagi. Kali ini dengan Dr. Mark Moore, tetapi tanpa koneksi di luar Timor Leste. Kami membangun kembali bengkel kami, yang telah terbakar habis, mengumpulkan tim kami dan melanjutkan. Pada satu titik, kami diminta untuk memeriksa seluruh kelompok pemimpin gerilya yang sekarang berbasis di kota kami. Orang-orang ini semuanya ditembak selama perjuangan. John dan saya pergi ke klinik pemerintah tempat dia melakukan rontgen. Hanya satu dari kelompok yang disarankan untuk menjalani operasi. Yang lain diberi tahu bahwa peluru di dalamnya sebaiknya dibiarkan saja.

Saya sedih mendengar tentang kematian Dr. John Hargrave pada 2020, tetapi itu membawa kembali kenangan indah tentang hari-hari komunitas kami memulai pelayanan “dari awal” di Timor Leste.

 

Penerjemah: Anastacia Patricia

Editor: Purnama Ayu Rizky

Keterangan foto utama: Ilustrasi Warga Timor Leste. (Foto: AP/VOA/VoaNews)

Kisah Biarawati AS Bangun Timor Leste dari Nol

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top