Perusahaan yang terlibat dalam konflik agraria dengan rakyat pedesaan mencuri kesempatan untuk memperkuat klaim mereka di tengah wabah COVID-19, menurut laporan para aktivis. Sejak kasus virus corona dikonfirmasi pertama kali pada 2 Maret, dua orang telah tewas dan empat ditangkap sehubungan dengan sengketa lahan.
Para aktivis telah mengecam peningkatan konflik, dengan mengatakan perusahaan-perusahaan tidak boleh mencuri kesempatan untuk memajukan kepentingan mereka sendiri (yang seringkali ilegal), di saat negara berfokus untuk menangani pandemi COVID-19.
Pada 21 Maret, personel keamanan dari perusahaan kelapa sawit PT Artha Prigel bentrok dengan para petani di Kabupaten Lahat, Sumatra Selatan, menewaskan dua orang. Warga setempat menuduh perusahaan tersebut, yang merupakan anak perusahaan Sawit Mas Group pemasok oleokimia ke Procter & Gamble (P&G), telah mencuri tanah mereka.
Membalas pencurian tanah itu, pada September 2018 penduduk setempat mengambil alih hampir sepersepuluh dari 2.000 hektar perkebunan perusahaan dan menanam tanaman mereka sendiri di sana.
Bentrokan bulan lalu meletus ketika penjaga keamanan menuntut penduduk setempat meninggalkan daerah yang telah mereka ambil alih. Dua petani, Suryadi dan Putra, meninggal karena luka tusuk.
“Ini menunjukkan perusahaan tidak punya perikemanusiaan,” kata Muhammad Hairul Sobri, direktur Forum Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Selatan, dilansir dari Mongabay.
“Selama keadaan darurat seperti ini, alih-alih fokus menangani COVID-19, mereka memanfaatkan situasi untuk merebut tanah rakyat.”
Sandrayati Moniaga, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), mengatakan pemerintah harus melarang perusahaan beroperasi selama situasi darurat pandemi.
“Dalam situasi seperti ini seharusnya tidak ada kegiatan di daerah dengan konflik yang sedang berlangsung. Harus ada status quo,” ujarnya, seperti yang dikutip Mongabay.
Memanfaatkan pandemi
Indonesia telah mencatat 5.136 infeksi COVID-19 dan 469 kematian pada 15 April, jumlah kematian tertinggi di Asia di luar China. Perusahaan-perusahaan yang tidak penting telah ditutup di Jakarta, pusat penyebaran nasional, dan daerah-daerah lain akan menyusul pada minggu mendatang.
Namun, di banyak daerah pedesaan dan terpencil, kehidupan sehari-hari masih berjalan seperti biasa. Di Gunung Tumpang Pitu, Jawa Timur, penduduk setempat mendirikan tenda untuk memprotes kegiatan penambangan oleh PT Bumi Suksesindo dan PT Damai Suksesindo. Mereka juga memprotes rencana untuk memperluas operasi penambangan emas ke Gunung Salakan di dekatnya, di mana PT Damai Suksesindo telah memiliki izin.
Protes warga mendesak dilakukannya reforma agraria di Indonesia. (Foto: Pusaka)
Rere Jambore Christanto, direktur cabang Walhi di Jawa Timur, mengatakan pemerintah telah mengimbau agar protes dibubarkan dan tenda-tenda dirubuhkan, mengutip langkah-langkah pencegahan penyebaran virus corona.
“Namun ancaman terbesar sebenarnya berasal dari orang luar daerah, bukan dari penduduk setempat,” ucap Rere kepada Mongabay, menambahkan penduduk setempat telah melaporkan peningkatan aktivitas perusahaan.
“Sampai saat ini, belum ada warga lokal yang terindikasi dengan gejala COVID-19.”
Warga menolak untuk membongkar tenda mereka, mempertanyakan mengapa pemerintah tidak memerintahkan perusahaan untuk menunda operasi selama pandemi. Pada 26 Maret, mereka memblokade jalan menuju area pertambangan. Polisi membubarkan blokade itu pada hari berikutnya, dan kemudian terjadi bentrokan antara pemrotes dan sekelompok orang yang mengaku mendukung perusahaan itu.
“Ketika bentrokan terjadi, tidak ada satu pun polisi di sana, meskipun beberapa jam sebelumnya ada ratusan polisi,” kata Rere. Lusinan kendaraan dan rumah rusak dalam bentrokan itu, dan pada 1 April, polisi menangkap salah satu pemrotes.
“Ada upaya untuk memanfaatkan pandemi untuk menghentikan protes terhadap perusahaan yang merusak lingkungan,” kata Rere.
“Di sisi lain, perusahaan diizinkan untuk melanjutkan kegiatan mereka,” imbuhnya.
Di Sumatera Utara, warga menuduh perusahaan kelapa sawit PT Karatia telah membakar hutan bakau untuk membuka lahan.
Warga setempat memiliki izin perhutanan sosial, yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup untuk pemanfaatan lestari hutan bakau seluas 442 hektar. Sedangkan PT Karatia memiliki perkebunan seluas 64 hektar di dalam wilayah itu. Sebelumnya, kedua pihak dapat beroperasi tanpa melanggar batas lahan masing-masing, menurut Dana Tarigan, direktur eksekutif Walhi Sumatra Utara.
Namun sejak wabah COVID-19, pemantauan independen atas wilayah tersebut telah ditangguhkan, dan PT Karatia telah mulai membakar bagian-bagian hutan yang dikelola oleh penduduk setempat, kata Dana. Dia menambahkan insiden itu hampir memicu bentrokan antara perusahaan dan warga.
Proses hukum dibatasi
Pandemi juga memengaruhi proses hukum untuk tiga petani di provinsi Kalimantan Tengah.
Dilik Bin Asap, Hermanus Bin Bison, dan James Watt baru-baru ini ditangkap karena diduga mencuri buah kelapa sawit dari perusahaan perkebunan PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP). Perusahaan itu sendiri dituduh mencuri lahan mereka. Pemerintah daerah dan kelompok hak asasi manusia sejak 2010 telah menyatakan perusahaan itu beroperasi secara ilegal di lahan warga.
Para petani mengajukan mosi praperadilan agar polisi membatalkan kasus ini. Sidang praperadilan seharusnya diadakan pada 30 Maret, tetapi polisi tidak hadir, mengatakan mereka sibuk dengan tanggapan COVID-19 pemerintah.
Sidang praperadilan ditunda hingga 6 April, tanggal yang sama dengan dimulainya persidangan kasus mereka. Hasilnya, mosi praperadilan dinyatakan batal, menurut Dimas Hartono, direktur eksekutif cabang Walhi Kalimantan Tengah.
“Pandemi tersebut digunakan sebagai alasan untuk menunda … sidang praperadilan,” tuturnya, dilansir dari Mongabay.
Dia mencatat polisi tampaknya tidak peduli untuk melakukan penyelidikan dan menggunakan pandemi sebagai alasan untuk tidak menghadiri sidang praperadilan. “Polisi hanya beralasan untuk mempercepat proses hukum mengenai pencurian itu, tetapi mosi praperadilan diabaikan.”
Komnas HAM menyatakan pandemi itu juga memengaruhi mediasi konflik di seluruh negeri. Pertemuan tatap muka tidak bisa dilakukan, sementara pertemuan online tidak memungkinkan untuk konflik di daerah yang terpencil dan tidak ada listrik.
“Bahkan jika kita bertemu langsung, mediasi sulit untuk dilakukan,” kata Sandrayati, “apalagi menggunakan platform virtual atau online. Aksesnya sulit, terutama bagi mereka yang tinggal di desa.”
Penerjemah: Nur Hidayati
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Kekerasan aparat kerap mewarnai proses penggusuran lahan warga di Yogyakarta. (Foto: Facebook Triyo)
Konflik Agraria Meningkat di Tengah Wabah COVID-19