Untuk mengambil sikap atas apa yang terjadi di Myanmar, peran dan kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN harus dipupuk.
Kapasitas ASEAN untuk mempelopori tanggapan kolektif terhadap krisis regional diuji pada ASEAN Leaders Meeting (ALM) di Jakarta pada 24 April setelah kudeta Februari di Myanmar. Menghadapi protes atas keputusan untuk mengundang pemimpin junta militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing ke acara tersebut, taruhannya tinggi bagi ASEAN untuk menemukan sikap terpadu atas perilaku nakal Myanmar. Namun kepemimpinan Indonesia lah yang memungkinkan konsensus lima poin yang dihasilkan dari pertemuan tersebut.
Beberapa jam sebelum keluarnya pernyataan ALM, Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo menggelar jumpa pers yang menguraikan posisi Indonesia atas Myanmar, yang menyerupai draf final pernyataan kolektif ASEAN. Sebagaimana dilansir dari East Asia Forum, ada beberapa perbedaan antara pernyataan Indonesia dan ALM yang terlihat mencolok.
Pertama, Jokowi menyampaikan situasi di Myanmar ‘tidak bisa diterima dan tidak bisa dibiarkan terus’. Sedangkan pernyataan ALM menyatakan ‘keprihatinan yang mendalam atas situasi di negara ini, termasuk laporan korban jiwa dan eskalasi kekerasan’.
Kedua, Jokowi meminta pemerintah militer di Myanmar untuk menghentikan penggunaan kekerasannya, sedangkan pernyataan ALM tidak merujuk langsung ke junta.
Ketiga, Jokowi menyerukan pembebasan tahanan politik. Pernyataan ALM mengatakan hal ini dengan cara yang berbeda: ‘kami juga mendengar seruan untuk pembebasan semua tahanan politik termasuk orang asing’.
Salah satu kekurangan terbesar dari konsensus lima poin ASEAN adalah tidak adanya seruan bagi junta untuk menghormati hasil Pemilu 2020 yang dimenangkan Partai NLD secara telak. Sementara Jokowi menekankan rakyat Myanmar sebagai prioritas Indonesia, masuknya Jenderal Min Aung Hlaing dalam ALM menghapus harapan untuk memulihkan keadaan sebelum kudeta. Pernyataan ALM menegaskan hal ini.
ALM diadakan pada 19 Maret, lima minggu setelah Jokowi menyerukan KTT khusus ASEAN untuk membahas krisis politik di Myanmar. Sementara pertemuan itu sedang diatur, tindakan keras militer Myanmar terhadap pengunjuk rasa dan warga sipil terus berlanjut, dengan setidaknya 739 kematian dan 3331 penangkapan pada 21 April.
Sikap kolektif ASEAN terhadap krisis politik Myanmar berbeda dengan tanggapannya selama Revolusi Saffron Myanmar 2007. Ketika protes anti-pemerintah memanas di seluruh Myanmar pada September 2007, pemerintah militer menanggapi dengan keras, yang berpuncak pada pernyataan kepemimpinan ASEAN tiga minggu kemudian. Pernyataan tersebut menyebut pemerintah militer Myanmar dan menyatakan kecaman atas apa yang telah terjadi.
Terlepas dari upaya terbaik Indonesia, pernyataan ketua ALM tersebut kurang tegas dibandingkan pada 2007. Pelepasan Naypyidaw dari ASEAN setelah kehilangan posisi ketuanya pada tahun 2006 mendorong ASEAN dan negara-negara anggota utamanya pada saat itu (Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina) untuk memastikan Myanmar memperbaiki catatan hak asasi manusianya sebelum dipercaya dengan keterlibatan lebih lanjut dalam proses yang dipimpin ASEAN.
Selain kekurangan dalam pernyataan ALM, ada juga tantangan dalam implementasinya. Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi telah berhasil menemukan titik temu di antara negara-negara anggota ASEAN tentang krisis politik yang sedang berlangsung di Myanmar.
Malam sebelum ALM, Menteri Retno mengadakan jamuan kerja dengan rekan-rekan ASEAN dalam membuat persiapan akhir untuk pertemuan para pemimpin. Meskipun para pemimpin Thailand, Filipina, dan Laos tidak hadir dalam ALM, konsensus dicapai tentang bagaimana mencegah situasi di Myanmar dari destabilisasi kawasan yang lebih luas.
Sekarang ASEAN telah mengartikulasikan tanggapan regional terhadap situasi di Myanmar, dan perlu memastikan bahwa junta mematuhi dua poin pertama dari konsensus lima poinnya: menghentikan kekerasan dan memfasilitasi dialog konstruktif antara pihak-pihak terkait. Tiga poin lainnya juga membutuhkan komitmen berkelanjutan dari ASEAN termasuk Myanmar untuk menunjuk utusan khusus ASEAN, memfasilitasi bantuan kemanusiaan, dan memajukan dialog.
Sementara implementasi konsensus lima poin ASEAN masih terlalu dini untuk dinilai, ASEAN harus menunjukkan komitmen nyata terhadap kerangka kerjanya untuk perdamaian dan stabilitas di kawasan. Di sinilah peran dan kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN harus dipupuk, catat East Asia Forum.
Sebagai kekuatan regional di Asia Tenggara, Indonesia sudah tidak asing lagi dengan inisiatif untuk memperkuat stabilitas politik di kawasan. Ini termasuk kepemimpinan mantan presiden Megawati Sukarnoputri untuk menyelesaikan Komunitas Politik-Keamanan ASEAN, penerapan prinsip-prinsip demokrasi dalam hubungan luar negeri Indonesia oleh mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Bali Democracy Forum dan adopsi Outlook ASEAN tentang Indo-Pasifik oleh Presiden Jokowi.
Dalam iklim di mana Indonesia dan ASEAN saling bergantung untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di Asia Tenggara, ASEAN perlu tetap menjadi landasan kebijakan luar negeri Indonesia, tidak peduli siapa presidennya.
Penerjemah: Nur Hidayati
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Orang-orang menghadiri pemakaman seorang perempuan yang tertembak mati ketika polisi berusaha membubarkan demonstrasi anti-kudeta di Mandalay, Myanmar, 1 Maret 2021. (Foto: Stringer/Reuters)