Lika-liku Pencarian Resolusi Bermartabat untuk Papua Barat
Para siswa Papua menuntut kebebasan Provinsi Papua Barat selama unjuk rasa di Surabaya, Provinsi Jawa Timur, pada 2 Desember 2013. Papua menyatakan kemerdekaan dari Belanda pada tahun 1961, tetapi Indonesia mengambil alih wilayah tersebut pada tahun 1963. (Foto: AFP/Getty/Juni Kriswanto)
Berita Internasional > Lika-liku Pencarian Resolusi Bermartabat untuk Papua Barat
Melihat konflik yang tiada akhir, bagaimana Indonesia dapat menemukan resolusi bermartabat untuk Papua Barat?
Pada Mei 2016, polisi Indonesia menangkap hampir 1.500 pengunjuk rasa di Jayapura, Papua. Mereka berunjuk rasa mendukung koalisi kelompok yang mewakili aspirasi Papua Barat untuk kemerdekaan.
Polisi menghentikan para pengunjuk rasa yang sedang menuju ke DPRD, memaksa mereka naik truk militer, dan membawa mereka ke kompleks Brimob.
Para pengunjuk rasa menunjukkan dukungan mereka terhadap upaya United Liberation Movement of West Papua (ULMWP) untuk mendapatkan keanggotaan penuh dalam kelompok negara-negara Melanesia, Melanesian Spearhead Group (MSG).
ULMWP memegang status pengamat dalam grup yang terdiri dari Fiji, Papua Nugini, Vanuatu, dan Kepulauan Solomon itu. Pada 2015, Indonesia diberikan keanggotaan asosiasi.
Untuk mencegah kekerasan lebih lanjut terhadap pengunjuk rasa, bersama dengan beberapa anggota dewan Papua dan pemimpin gereja, hari itu aktivis Benny Giay pergi ke kompleks Brimob untuk bernegosiasi dengan aparat keamanan untuk membebaskan para tahanan dengan damai.
Mengapa ribuan orang di Papua turun ke jalan untuk mendukung ULMWP?
Ketidakpuasan publik di Papua Barat adalah akibat dari masa lalu yang rumit. Ini adalah produk dari manipulasi sejarah dan penindasan hak untuk menentukan nasib sendiri orang Papua Barat, tulis Benny Giay di The Conversation pada 2016.
Selama lima dekade terakhir, orang Papua tidak beranjak dari posisinya dalam hubungannya dengan Indonesia. Mereka telah berjuang untuk membuat kemajuan dalam kesulitan mereka sebagai orang yang tertindas. Mereka terpinggirkan, menderita berbagai bentuk kekerasan, dan terusir dari tanahnya sendiri.
Menyelesaikan masalah Papua Barat dengan cara yang bermartabat harus melibatkan tidak hanya pihak berwenang Indonesia, tetapi juga masyarakat Papua dan komunitas internasional. Dalam hal ini, ULMWP dan dukungan populer untuk ULMWP di Papua Barat adalah bagian dari solusi dan tidak boleh ditekan, lanjut Benny Giay.
Seorang aktivis Papua Barat memegang papan selama unjuk rasa di sebuah jalan utama di Jakarta, Indonesia, pada Desember 2018. (Foto: EPA/Adi Weda)
Sejak Papua Barat dipindahkan ke tangan Indonesia pada awal 1960-an dari pos terdepan Belanda, Papua Barat telah menjadi tanah “kesedihan dan duka”.
Pelanggaran berat hak asasi manusia telah terjadi di Papua Barat sejak Indonesia (yang didukung oleh PBB), mencaplok bagian barat pulau Papua pada 1963. Pada 1969, Indonesia memperoleh kekuasaan penuh atas Papua Barat melalui referendum.
Orang Papua Barat telah melihat saudara-saudara Melanesia mereka membantu dalam mencari penyelesaian pelanggaran masa lalu oleh pemerintah Indonesia dan untuk membangun Papua baru. Namun mereka masih dihadapkan pada banyak tantangan.
Pada September 2015, negara-negara di Pacific Island Forum (yang terdiri dari 14 negara yang mencakup Australia dan Selandia Baru), setuju untuk mengirim misi pencari fakta untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat. Pemerintah Indonesia menolak menerima tim semacam itu.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia Luhut Pandjaitan, pada saat itu malah mengadakan dua diskusi kelompok terfokus di sebuah hotel mewah di Jayapura untuk apa yang disebut “penyelesaian masalah hak asasi manusia”.
Tapi Papua Barat adalah bangsa yang tumbuh dan dibentuk oleh pengalaman hidup di bawah operasi militer Indonesia. Ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan diskusi kelompok terfokus, Benny Giay mencatat.
Operasi Sadar (1962, 1965-1967), Operasi Wisnumurti (1963), Operasi Wibawa (1969), Operasi Pamungkas (1970-1971), operasi militer di Jayawijaya (1977-80), Operasi Sapu Bersih (1979-82), dan Operasi Tumpas (1983-84) hanyalah segelintir dari rangkaian tindak kekerasan penindasan yang dihadapi rakyat Papua biasa.
Saat ini, pendekatan militeristik Indonesia di Papua Barat tetap ada.
Pendekatan ini mengakibatkan serangkaian tindakan intimidasi dan teror yang dilakukan oleh aparat keamanan. Mereka terlibat dalam perampasan tanah dan ekstraksi sumber daya alam di bawah bendera pembangunan dan investasi, atas nama kesejahteraan Papua, tulis Benny Giay.
Tekanan diplomatik dari Indonesia
Menyusul meningkatnya kepedulian dan solidaritas dari kawasan Pasifik dan dukungan dari MSG untuk penyelesaian masalah Papua Barat, pemerintah Indonesia secara agresif melobi negara-negara dan para pemimpin politik di Pasifik.
Sekembalinya dari kunjungan ke PNG dan Fiji pada April 2016, Luhut Pandjaitan sesumbar bahwa Indonesia mendapat dukungan dari kedua negara itu dan mampu menangani MSG. Di saat yang sama, ia berpesan agar negara asing tidak ikut campur dalam urusan hak asasi manusia di Papua Barat.
Sementara itu, kerusakan lingkungan dan maraknya militerisme berjalan seiring di Papua Barat, lanjut Benny Giay. Orang Papua terus menerus diberi stigma sebagai terbelakang, bodoh, dan miskin. Hal ini menjadi dalih untuk apa yang disebut oleh pihak berwenang Indonesia sebagai “percepatan dan perluasan pembangunan”.
Ditekan oleh gelombang migrasi Indonesia, orang Papua sama sekali tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan diri. Mereka adalah minoritas di tanah mereka sendiri, tidak hanya dari segi jumlah, tetapi juga dari segi kekuasaan. Setiap upaya protes dan negosiasi oleh masyarakat adat disambut dengan tanggapan brutal dan operasi keamanan.
Berbicara tentang Papua Barat, pemerintah Indonesia sering menggunakan bahasa yang mengaburkan pelanggaran masa lalu. Hubungan Papua dengan dunia luar sangat terkontrol. Pemerintah Indonesia mempersulit jurnalis internasional untuk meliput Papua, dan melarang peneliti internasional mempelajari wilayah tersebut.
Solusi Indonesia untuk Papua Barat didasarkan pada refleksi dangkal dan ketakutan rakyat Papua Barat, tulis Benny Giay.
Resolusi asli untuk masalah Papua Barat hanya akan datang dari kesediaan Indonesia untuk mendengarkan dan menghentikan penindasan terhadap orang Papua Barat.
Indonesia harus menyambut baik dukungan dari komunitas internasional, seperti MSG dan PBB, sebagai mediator dalam mencari resolusi Papua Barat, Benny Giay menyimpulkan.
Penerjemah dan editor: Aziza Larasati
Keterangan foto utama: Para siswa Papua menuntut kebebasan Provinsi Papua Barat selama unjuk rasa di Surabaya, Provinsi Jawa Timur, pada 2 Desember 2013. Papua menyatakan kemerdekaan dari Belanda pada tahun 1961, tetapi Indonesia mengambil alih wilayah tersebut pada tahun 1963. (Foto: AFP/Getty/Juni Kriswanto)
Lika-liku Pencarian Resolusi Bermartabat untuk Papua Barat