Saat-Saat Sulit bagi Maskapai Asia Tenggara, Termasuk Garuda Indonesia
Maskapai penerbangan Garuda Indonesia mengalami kerugian US$723 juta pada paruh pertama tahun 2020 ketika pandemi COVID-19 menimbulkan penurunan dalam perjalanan udara. (Foto: Reuters)
Berita Internasional > Saat-Saat Sulit bagi Maskapai Asia Tenggara, Termasuk Garuda Indonesia
Sejak pandemi COVID-19 membuat perjalanan internasional nyaris terhenti, berbagai maskapai penerbangan di kawasan Asia Tenggara telah berada di ambang kehancuran.
Melihat laporan tahunan maskapai nasional Indonesia Garuda Airlines, terdapat penyebutan anak perusahaan bernama PT Garuda Indonesia Holiday France. Menurut situs perusahaan, GIH France dimaksudkan untuk “menyediakan berbagai pilihan liburan terbaik dari berbagai penyedia layanan perjalanan yang dipilih untuk wisatawan dan perusahaan yang berdomisili di Paris, Prancis”.
Hal yang mengejutkan adalah bahwa pada 2019, perusahaan membukukan pendapatan US$763,8 juta dan memiliki aset US$1 miliar. Ternyata, orang Prancis sangat suka liburan ke Bali dan berbagai destinasi lainnya di Tanah Air.
Meskipun disebutkan di banyak materi perusahaan sebagai biro perjalanan, The Diplomat mencatat, fungsi utama anak perusahaan itu adalah untuk menyewa pesawat. GIH France kemungkinan besar didirikan di Prancis karena di situlah kantor pusat perusahaan dirgantara Airbus.
Pada 2019, GIH France telah menyewa 140 pesawat, dua pertiga dari seluruh armada Garuda yang berjumlah 210. Hal ini biasa terjadi di dunia penerbangan. Pesawat lebih sering disewa daripada dibeli, dan ada alasan khusus untuk itu.
Pesawat AirAsia. (Foto: istimewa)
Berdasarkan aturan akuntansi Indonesia, beberapa jenis sewa dapat diperlakukan sebagai beban daripada kewajiban jangka panjang. Artinya, pembayaran sewa dibebankan pada saat terjadinya, sementara total nilai sewa yang belum dibayar tidak muncul sebagai kewajiban di neraca.
Misalnya ketika melihat kewajiban Garuda pada 2019 sebesar US$3,26 miliar, itu belum termasuk US$6,7 miliar yang harus dibayarkan untuk 189 pesawat sewaannya. Perusahaan hanya berkewajiban untuk mencatat pembayaran minimum saat ini yang dilakukannya, bukan jumlah total utangnya.
Ini mungkin tampak seperti upaya untuk menyembunyikan skala sebenarnya dari kewajiban perusahaan, tetapi ini adalah praktik industri yang cukup standar yang didasarkan pada satu asumsi utama bahwa perusahaan akan mampu mempertahankan arus kas yang konsisten.
Dalam beberapa tahun terakhir ini sepertinya sudah pasti. Bersama maskapai Lion, Garuda mendominasi pasar domestik, sementara lalu lintas maskapai penerbangan di Indonesia meningkat pesat. Garuda Group (termasuk maskapai bertarif rendah Citilink) menyaksikan peningkatan jumlah penumpang dari 32,96 juta pada 2015 menjadi 38,44 juta pada 2018. Namun, dengan pemberhentian mendadak dalam penerbangan karena pandemi COVID-19, Garuda bersama dengan setiap maskapai lain di dunia menghadapi masalah berarti.
Maskapai penerbangan Indonesia tidak sendirian dalam menyusun operasionalnya seperti ini. Banyak maskapai penerbangan membutuhkan aliran uang tunai yang konstan untuk tetap bertahan hidup, menggunakan pendapatan tiket untuk membayar pinjaman modal kerja jangka pendek, atau tetap mempertahankan pembayaran minimum untuk kewajiban sewa multi-miliaran dolar. Itulah mengapa maskai penerbangan menjadi domino pertama yang jatuh dalam krisis pandemi global kali ini. Banyak maskapai tidak bisa bertahan tanpa uang tunai.
Hampir tidak ada maskapai penerbangan di Asia Tenggara yang selamat. Thai Airways telah mengajukan kebangkrutan pada Mei 2020. Associated Press melaporkan perusahaan memiliki utang US$9,6 miliar setelah mencatat kerugian tiga tahun berturut-turut.
Maskapai andalan Vietnam, Vietnam Airlines, harus menyangkal rumor bahwa mereka berada di ambang kehancuran finansial. Sementara itu, Malaysia Airlines, yang dimiliki oleh dana kekayaan negara dan sudah bergulat kesulitan sebelum pandemi COVID-19, dilaporkan hampir kehabisan dana.
Tidak mengherankan jika pandemi yang telah menghentikan perjalanan udara menyebabkan maskapai penerbangan menderita. Namun, ada cara tertentu agar maskapai penerbangan milik negara lebih siap menghadapi masa-masa sulit seperti itu.
Maskapai penerbangan milik swasta bertanggung jawab kepada pemegang saham mereka yang menuntut dividen dan keamanan untuk investasi mereka. Itulah salah satu alasan Air Asia saat ini melikuidasi beberapa cabang regionalnya dan bergulat dengan kreditor atas utangnya yang sebesar US$15,3 miliar, menurut laporan The Diplomat.
Sebagai perbandingan, struktur kepemilikan Garuda agak mengisolasinya dari tekanan tersebut. Sekitar 86 persen Garuda dimiliki oleh negara atau taipan bisnis Indonesia Chairul Tanjung. Oleh karena itu, kecil kemungkinan akan ada banyak tekanan dari pemegang saham tentang kerugian yang diambil maskapai saat ini. Chairul, yang menurut laporan Forbes adalah orang terkaya ke-9 di Indonesia tahun lalu dengan kekayaan sekitar US$3,7 miliar, mungkin bisa bertahan jika Garuda tidak membayar dividen.
Menggali lebih dalam pembukuan Garuda mengungkapkan bahwa US$540 juta pinjaman jangka pendek dikeluarkan oleh tiga bank milik negara terbesar di Indonesia itu. Mengingat keadaannya, para pemberi pinjaman tersebut cenderung cukup fleksibel dalam merestrukturisasi atau menggulirkan pinjaman tersebut sampai krisis selesai. Inilah pengalaman Garuda pada Juni 2020, saat jatuh tempo obligasi sukuk senilai US$500 juta. Lebih dari 90 persen pemegang obligasi setuju untuk memperpanjangnya selama 3 tahun lagi.
Dilansir dari The Diplomat, inilah yang terjadi ketika kepemilikan negara secara langsung di sektor maskapai penerbangan dapat memberikan sedikit lebih banyak fleksibilitas kepada maskapai penerbangan Indonesia dalam menangani COVID-19.
Namun, kenyataannya, sebagian besar industri beroperasi dengan campuran utang jangka pendek dan uang tunai yang mudah dibakar, sehingga rentan terhadap penghentian mendadak. Itulah masalah yang harus dihadapi oleh regulator dan pemerintah negara-negara di kawasan ini, jauh setelah wabah virus mereda.
Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari
Editor: Aziza Larasati
Keterangan foto utama: Maskapai penerbangan Garuda Indonesia mengalami kerugian US$723 juta pada paruh pertama tahun 2020 ketika pandemi COVID-19 menimbulkan penurunan dalam perjalanan udara. (Foto: Reuters)
Saat-Saat Sulit bagi Maskapai Asia Tenggara, Termasuk Garuda Indonesia