Pada akhir 2019, pemerintah Indonesia memutuskan untuk membuat Hukum Platform Digital baru (PP PSTE No. 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE)). Akankah hukum baru ini menjadi titik terang bagi masa depan media sosial di Indonesia?
Hukum baru tersebut, yang merevisi undang-undang sebelumnya (PP PSTE No. 82/2012), memberlakukan sejumlah kewajiban pada perusahaan sistem elektronik, juga pada perusahaan media sosial. Ini membutuhkan bantuan perusahaan media sosial untuk mengontrol sirkulasi informasi pada platform mereka, serta melindungi data pengguna.
Namun, jika hanya menempatkan kewajiban pada perusahaan media sosial, itu tidak akan cukup. Hukum tersebut perlu ditindaklanjuti dalam beberapa bidang utama, dilansir dari The Diplomat.
Pertama, pemerintah dan perusahaan media sosial harus membangun pemahaman bersama tentang apa yang dianggap sebagai “konten terbatas”. Dalam pasal 5, PP PSTE memerintahkan perusahaan media sosial untuk memastikan bahwa platform mereka tidak mengandung atau mengakomodasi penyebaran konten terbatas.
Namun, perusahaan media sosial tidak selalu mematuhi kebijakan ini. Itu karena kedua belah pihak memahami istilah “konten terbatas” secara berbeda.
Menurut laporan The Diplomat, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 45 UU No. 19/2016, pemerintah Indonesia menggunakan istilah “konten terbatas” (“konten terlarang”). Istilah ini mencakup perjudian, pelanggaran kode moral, penistaan dan/atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau ancaman, dan ujaran kebencian serta berita palsu.
Definisi ini membawa aksen politik yang berat karena dua alasan, yaitu pertama karena istilah tersebut cenderung berkonotasi dengan apa yang dianggap oleh pemerintah Indonesia sebagai ancaman, dan kedua karena itu memberikan pemerintah Indonesia landasan hukum untuk benar-benar mengendalikan ancaman yang dirasakan dan memerintahkan penghapusannya.
Definisi ini berbeda dari definisi perusahaan konten media sosial. Perusahaan media sosial seperti Facebook dan Twitter tidak berbicara tentang konten terbatas tetapi “konten berbahaya”. Mereka menempatkan konten berbahaya, secara umum, ke dalam dua kategori, yaitu konten yang harus dihapus dan konten yang hanya boleh dibatasi.
Jumlah pengguna harian Facebook di Indonesia baru-baru ini mencapai sekitar 65 juta pengguna. (Foto: Shutterstock/Rawpixel)
Kategori pertama biasanya berlaku untuk konten yang dianggap melanggar kebijakan perusahaan, seperti bullying, konten kekerasan, pornografi, dll. Perusahaan media sosial dan pemerintah Indonesia sepakat dalam hal ini.
Namun, kategori kedua berbeda. Dilansir dari The Diplomat, perusahaan media sosial mendefinisikan “konten berbahaya” kategori kedua sebagai konten yang tidak melanggar kebijakan perusahaan namun menghambat pengguna untuk menerima informasi otentik. Salah satu contoh utama adalah berita palsu (disinformasi).
Facebook berpendapat bahwa disinformasi hanya boleh dikurangi, tidak dihilangkan, karena adanya interpretasi yang kabur tentang apa yang merupakan disinformasi versus opini. Twitter berpendapat bahwa disinformasi tidak boleh dilarang karena tidak merusak prinsip demokrasi, dalam arti bahwa hal itu tidak menekan partisipasi pemilih. Walau perusahaan media sosial berkeinginan untuk mengurangi “konten berbahaya” jenis ini, pemerintah Indonesia menuntut penghapusannya.
Dengan perbedaan-perbedaan ini, perusahaan media sosial tidak mungkin mematuhi perintah pemerintah Indonesia karena mereka merasakan risiko yang ditimbulkan oleh setiap jenis konten terbatas secara berbeda.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Indonesia, perusahaan media sosial, dan pengguna media sosial perlu berdiskusi lebih lanjut untuk mendefinisikan dan merespons konten yang dibatasi. Definisi dan respons yang disetujui harus memberikan perlindungan bagi masyarakat yang rentan, dinukil dari The Diplomat.
Kedua, pemerintah Indonesia harus mendorong pengguna media sosial untuk lebih proaktif. Mekanisme pelaporan Indonesia saat ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia akan secara proaktif menahan konten yang ditemukan melanggar hukum baru. Meskipun tidak ada keberatan yang diajukan kepada otoritas ini, hal itu tampaknya bukan model yang sangat baik untuk masa depan tata kelola konten di Indonesia, tulis The Diplomat.
Tentu saja ada beberapa masalah yang saling terkait yang menuntut keterlibatan proaktif dari pemerintah. Konten yang mempromosikan terorisme, misalnya, mengharuskan perusahaan media sosial dan pemerintah untuk berkolaborasi dalam bertukar informasi mengenai organisasi teroris.
Namun, responsnya harus berbeda dalam kasus lain, seperti disinformasi. Seperti yang dikemukakan sebelumnya, pendapat dan sindiran sering disalahartikan sebagai disinformasi. Terlepas dari tugas pemerintah Indonesia untuk mencegah potensi kerusuhan yang disebabkan oleh hoaks, kenetralannya terhadap konten yang tidak sesuai agendanya masih dipertanyakan.
Oleh karena itu, aktor utama dalam memerangi disinformasi tidak boleh pemerintah, melainkan para pengguna, baik individu maupun masyarakat.
Pemerintah Indonesia harus mulai mendorong individu dan masyarakat untuk memikul kewajiban membatasi penyebaran disinformasi pada platform media sosial, dengan secara aktif melaporkan konten yang dianggap melanggar kebijakan konten media sosial. Perusahaan media sosial juga harus melakukan tindakan dengan tujuan yang sama.
Selain itu, penting juga bagi perusahaan media sosial untuk menyediakan dan mempromosikan mekanisme pelaporan dalam platform yang mudah dilihat dan dipahami. Perusahaan media sosial harus memastikan bahwa konten yang dilaporkan oleh individu dan komunitas diakui dengan respons nyata, tanpa perusahaan harus ditekan oleh pemerintah, The Diplomat melaporkan.
Penerjemah: Desi Widiastuti
Editor: Aziza Fanny Larasati
Keterangan foto utama: Seorang pria melintas di depan kantor berlogo Facebook. (Foto: Associated Press/Thibault Camus)