Penulis Cantik Itu Luka Eka Kurniawan berkisah, di Indonesia yang ideal, seorang lelaki Papua tinggal di Jakarta dan menjadi pegawai negeri. Dia menikahi seorang wanita Padang. Mereka membuka sebuah restoran kecil dan mempekerjakan seorang wanita muda Sunda. Pelanggan mereka termasuk orang-orang Jawa, Betawi, dan orang-orang dari suku lainnya.
Ini adalah skenario sitkom TV, “Keluarga Minus,” yang ditayangkan beberapa tahun yang lalu, yang ketua tim penulisnya adalah penulis artikel ini. Acara ini mencoba untuk menyulut obsesi Indonesia dengan keanekaragaman dan harmoni, yang dirangkum dalam moto negara, “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda tapi tetap satu. Obsesi dengan keragaman dan harmoni yang, pada kenyataannya, sering berakhir dengan kekerasan.
Ketika Indonesia merayakan Hari Kemerdekaan pada 17 Agustus lalu, sebuah foto muncul di media sosial, dan menjadi viral tak lama setelah kemunculannya. Foto itu menunjukkan seorang lelaki Papua di sebuah protes di Surabaya, mengangkat sebuah poster bertuliskan, “Jika kami monyet, jangan paksa monyet kibarkan Merah Putih.” Beberapa hari sebelumnya, bendera nasional di depan asrama mahasiswa Papua telah ditemukan robek, kenang Eka di The New York Times.
Polisi, tentara, dan beberapa kelompok nasionalis menyalahkan para mahasiswa, dan gerombolan massa menyerbu gedung asrama tersebut. Dalam rekaman video peristiwa itu, dapat terdengar sebagian besar orang berteriak, “Monyet.”
Ironinya: Pada saat itu, sebuah film yang diadaptasi dari novel Pramoedya Ananta Toer “Bumi Manusia” sedang diputar di bioskop-bioskop di seluruh Indonesia. Kisah ini, berlatar zaman kolonial Belanda, menampilkan tokoh protagonis muda Jawa yang diejek oleh guru Belanda dan dijuluki “Minke”―Monyet. Dalam novelnya, nama Minke melambangkan bagaimana kekuatan kolonial menaklukkan kesadaran orang pribumi Jawa. Saat ini, seorang anak muda Papua memegang poster bertuliskan “monyet” untuk mengecam penindasan terhadap orang Papua di bawah pemerintahan Indonesia.
Ejekan tersebut membawa ribuan orang turun ke jalan di beberapa kota di provinsi Papua dan Papua Barat selama beberapa hari pada bulan lalu. Polisi dan tentara merespons; terjadi bentrokan. Setidaknya 10 orang tewas, dan banyak lagi yang terluka oleh pisau dan panah.
Minggu ini, lebih dari 30 orang tewas dalam kekerasan terkait protes di kota-kota Papua, seperti Wamena dan Jayapura―lagi-lagi karena seorang warga non-Papua dilaporkan mengejek orang asli Papua “Monyet.”
Protes-protes ini, yang dipicu oleh rasisme yang diperkirakan telah dialami oleh tiga juta orang Papua selama puluhan tahun, membangkitkan kembali seruan untuk menentukan nasib sendiri. Beberapa demonstran mengibarkan bendera Bintang Kejora, simbol kemerdekaan Papua―termasuk di depan istana kepresidenan di Jakarta.
Wilayah Papua tetap di bawah kendali Belanda setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 1945. Namun, wilayah itu dimasukkan ke Indonesia pada 1969 setelah referendum kontroversial yang diorganisir oleh PBB, meskipun ada keberatan dari kelompok-kelompok pro-kemerdekaan lokal. Sentimen separatis telah bertahan sejak itu, sebagian karena wilayah itu, meskipun kaya sumber daya, adalah wilayah termiskin di Indonesia.
Keluhan lama ini muncul kembali, bahkan menjelang Presiden Joko Widodo―yang telah mengunjungi Papua sekitar dua kali setahun sejak menjabat pada 2014; dan yang diharapkan akan membawa keadilan bagi warga Papua―akan segera dilantik untuk masa jabatan kedua bulan depan.
Presiden Joko Widodo menjadi presiden sebagian karena ia sebelumnya merupakan seorang warga sipil dan, tidak seperti lawan-lawannya, tidak terbebani oleh dosa-dosa politik dari masa lalunya, termasuk pelanggaran hak asasi manusia. Dia berjanji, antara lain, untuk mencapai kesejahteraan bagi orang miskin dan menjauh dari masa lalu otoriter Indonesia. Tetapi sejak berkuasa, pemerintahannya tidak banyak melakukan banyak hal untuk memberantas pelanggaran dan prasangka.
Tidak ada seorang pun yang dimintai pertanggungjawaban atas pembantaian anggota PKI dan simpatisannya pada 1965 dan 1966. Penculikan massal dan pemerkosaan etnis Tionghoa pada 1998 tetap belum terselesaikan, meskipun kerabat korban masih berkumpul setiap minggu di depan istana presiden untuk menuntut keadilan. Selain itu, dalang yang diduga membunuh aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib pada 2004 telah dibiarkan tak terungkap.
Pemerintahan Joko Widodo juga lemah dalam menangani kasus-kasus intoleransi, terutama terhadap kaum minoritas. Indonesia adalah negara demokrasi mayoritas Muslim tetapi juga negara sekuler dengan banyak kelompok etnis dan agama. Orang-orang Kristen dan Hindu kesulitan mendapatkan izin pembangunan untuk gereja dan pura. Pengungsi dari sekte Ahmadiyah, gerakan reformis Muslim yang dipandang sesat oleh Muslim konservatif, tidak dapat kembali ke rumah mereka, yang dihancurkan oleh massa.
“Pemerintahan saya menjunjung tinggi keharmonisan dan menentang ekstremisme,” kata Presiden Joko Widodo, dilansir dari tulisan Eka di The New York Times. Namun, ketika tiba saatnya mencalonkan diri kembali pada pemilu tahun ini, ia memilih Ma’ruf Amin, seorang ulama Islam, yang homofobia dan tidak toleran, sebagai pasangannya.
Ledakan rasisme terhadap orang Papua baru-baru ini menunjukkan kegagalan dan karakter sejati pemerintahan Joko Widodo. Dia memenangkan 78 persen suara di Papua tahun ini. Dia tampaknya telah memberi kesan yang baik di antara para pemilih dengan janji proyek pembangunan infrastruktur besar-besaran. Dia telah menurunkan harga bahan bakar di sana, setidaknya di dipo resmi. Dia juga telah meresmikan pasar tradisional untuk wanita Papua.
Setelah kerusuhan “monyet” pertama beberapa waktu lalu, lebih banyak polisi dan pasukan militer dikerahkan di Papua. Akses internet sempat terputus di sejumlah kota di Papua. Wartawan asing dilarang masuk. Presiden juga menunjuk Wiranto, Menko Polhukam, untuk menangani situasi ini―Wiranto telah didakwa oleh badan PBB karena memimpin kejahatan massal di Timor Timur pada 1999, ketika ia menjadi kepala militer dan menteri pertahanan. (Dia menyangkal tuduhan itu, dan pemerintahan Indonesia telah mengabaikan tuduhan tersebut.)
Agustus lalu di Jakarta, beberapa mahasiswa Papua ditangkap di penginapan mereka, dituduh mengibarkan bendera Bintang Kejora. Beberapa hari kemudian di Jayapura, polisi dan tentara menyerbu rumah Buchtar Tabuni, seorang aktivis terkemuka Papua, dan menangkapnya karena diduga makar.
Penumpasan menargetkan tidak hanya orang Papua, tetapi siapa saja yang bersimpati dengan perjuangan mereka. Surya Anta Ginting, juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk Papua Barat, ditangkap bersama para mahasiswa, juga atas tuduhan pengkhianatan. Saat ditahan, dia dilaporkan ditahan di ruang isolasi dan disuruh mendengarkan lagu-lagu nasionalis.
Veronica Koman, seorang pengacara untuk Komite Nasional Papua Barat, sebuah kelompok pro-kemerdekaan, telah dituduh memprovokasi protes dan menyebarkan berita palsu, hanya karena dia berbagi informasi tentang Papua di Twitter. Dia diduga berada di Australia, dan polisi Indonesia telah meminta Interpol untuk menangkapnya dan mengancam akan mencabut paspornya.
Sekali lagi, krisis di Papua mengungkapkan wajah sebenarnya dari pemerintah Indonesia. Ini adalah pemerintah Indonesia yang―alih-alih mendengarkan seruan rakyat Papua untuk martabat dan kesetaraan―mencoba menenangkan mereka dengan militer dan uang. Ini adalah pemerintah Indonesia yang memungkinkan orang Papua diejek monyet dan kemudian meminta mereka untuk memaafkan pengejek.
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan kebijakan editorial Mata Mata Politik.
Penulis ulang: Nur Hidayati
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Diskriminasi ras dan etnis terhadap orang Papua telah memotori protes dan kerusuhan yang tengah terjadi di Papua Barat. (Foto: AP/Tatan Syufiana)
Jangan dramalah semua juga butuh proses! ini itu negara besar dan lebih kompleks dibanding negara manapun untuk dikelola di dunia! apalagi ini sudah jaman reformasi! aksi kemaren itu ditunggangi provokator! masa ‘keras’ jadi ‘kera’?
Sik J.Liem
September 30, 2019 at 11:21 am
Mengapa anda memojokkan pak Jokowi, lihatlah apa yg sudah dicapai olehnya dan bandingkanlah hasilnya dgn hasil Jendral Bambang Yudiyono( SBY) selama 10 tahun pemerintahannya? atau dgn presiden2 sebelumnya pak Jokowi !! Be fair
Editorizal
October 1, 2019 at 12:44 am
Jangan dramalah semua juga butuh proses! ini itu negara besar dan lebih kompleks dibanding negara manapun untuk dikelola di dunia! apalagi ini sudah jaman reformasi! aksi kemaren itu ditunggangi provokator! masa ‘keras’ jadi ‘kera’?
Sik J.Liem
September 30, 2019 at 11:21 am
Mengapa anda memojokkan pak Jokowi, lihatlah apa yg sudah dicapai olehnya dan bandingkanlah hasilnya dgn hasil Jendral Bambang Yudiyono( SBY) selama 10 tahun pemerintahannya? atau dgn presiden2 sebelumnya pak Jokowi !! Be fair