Berita Politik Indonesia Hari Ini

Memahami Akar Masalah Papua dan Kemungkinan Solusinya

Berita Internasional > Memahami Akar Masalah Papua dan Kemungkinan Solusinya

Media menelusuri laporan bahwa TNI dan Polri telah menyelamatkan sekitar 300 orang non-penduduk asli Papua pada 2017. Namun, Komite Nasional Papua Barat menyebut berita tentang penyanderaan itu tidak benar.

Pada awal November 2017, polisi melaporkan 1.300 orang “disandera” oleh “sekelompok penjahat bersenjata” di desa-desa dekat Tembagapura, Papua. Kecamatan di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua itu memiliki salah satu tambang emas dan tembaga terbesar di dunia yang turut dimiliki oleh perusahaan pertambangan Amerika Serikat Freeport Mc-Moran.

Media menelusuri laporan TNI dan Polri telah menyelamatkan sekitar 300 orang non-penduduk asli Papua. Namun, Komite Nasional Papua Barat (KNPB), kelompok politik lokal yang mendukung hak orang Papua untuk menentukan nasib sendiri, menyebut berita tentang penyanderaan itu tidak benar.

Berita itu memicu spekulasi publik tentang tersangka pelaku penyanderaan, motif mereka, dan konflik kepentingan dalam peristiwa tersebut. Banyak spekulasi tentang sumber ketegangan yang meningkat mulai dari alasan ideologis serangan terhadap nasionalisme, alasan politik terkait gerakan pro-kemerdekaan, hingga alasan pragmatis terkait bisnis keamanan bagi perusahaan di sana, yang melibatkan banyak aktor.

Baca Juga: Nestapa Perempuan Papua dan Mangkirnya Jokowi

Reaksi dari masyarakat sebagian dipicu oleh sejarah Papua. Sejak 1970-an, di Papua telah ada gerakan pro-kemerdekaan yang meminta referendum lain. Hasil referendum Penentuan Pendapat Rakyat/Pepera (Act of Free Choice) pada 1969 yang dihadiri oleh 1.022 perwakilan penduduk Papua yang dipilih pemerintah menyatakan Papua sebagai bagian dari Indonesia. Namun, ada banyak pendukung kemerdekaan Papua yang merasa Pepera dilakukan di bawah tekanan militer.

Akar konflik Papua

Memutuskan strategi terbaik untuk mengatasi masalah keamanan di Papua dengan mengakhiri tindakan kekerasan dari siapa pun dengan motif apa pun adalah tugas yang sulit.

Buku Papua Road Map yang diterbitkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2009 telah menguraikan akar konflik Papua sebagai berikut:

  • Marginalisasi, diskriminasi, termasuk kurangnya pengakuan atas kontribusi Papua untuk Indonesia;
  • Kurangnya pembangunan infrastruktur sosial di Papua, terutama pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, dan rendahnya tingkat partisipasi untuk penduduk asli Papua;
  • Proses yang belum selesai dalam ekonomi politik dan integrasi sosial-budaya;
  • Kekerasan politik secara luas yang belum pernah benar-benar diatasi; dan
  • Pelanggaran hak asasi manusia yang tidak terselesaikan, terutama kasus Wasior, Wamena, dan Paniai.

Jangan tergesa meluncurkan operasi militer

Tentara Indonesia di hadapan para demonstran Papua di Jayapura, Minggu, 1 September 2019. (Foto: AFP/Handout/Militer Indonesia)

Peristiwa “penyanderaan” di Tembagapura mungkin menunjukkan hubungan antara sektor bisnis dan keamanan di Papua, yang melibatkan berbagai aktor yang cenderung saling memanfaatkan. Perusahaan seperti Freeport seringkali mengalokasikan dana khusus untuk memastikan operasi mereka aman, terkadang dengan meminta perlindungan dari TNI dan Polri.

Kasus “sandera” Tembagapura (Banti dan Kimbeli) masih belum jelas. Namun, ada kemungkinan hal itu tidak hanya didorong oleh motif ekonomi seperti persaingan antara penambang lokal, tetapi juga motif politik yang melibatkan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Polisi telah melaporkan “sandera” terkait dengan kompetisi antara pendatang dan penduduk asli Papua. Jika ini benar, polisi harus menanganinya menggunakan pendekatan penegakan hukum.

Namun, jika para prajurit Organisasi Papua Merdeka bertanggung jawab atas penyanderaan seperti yang diklaim oleh militer, itu adalah domain militer Indonesia.

Dalam analisisnya di The Conversation, peneliti LIPI Adriana Elisabeth menyebutkan, strategi untuk memastikan keamanan di Papua harus dipikirkan dengan cermat karena terdapat kombinasi antara kepentingan politik dan ekonomi di Papua.

Menggunakan perspektif negara, kasus Tembagapura harus dikelola secara menyeluruh untuk memulihkan stabilitas dan keamanan. Namun, jika pemerintah berlebihan dalam memulihkan keamanan melalui operasi militer, Indonesia akan dianggap tidak konsisten dalam komitmennya terhadap pembangunan Papua, terutama jika keamanan ditegakkan dengan mengorbankan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Dinamika di Papua terkait erat dengan kepentingan politik. Kepentingan yang bertentangan antara pemerintah dan rakyat Papua telah menciptakan rasa saling ketidakpercayaan yang mendalam di antara keduanya.

Saling ketidakpercayaan antara pemerintah dan rakyat Papua ini memperkuat klaim sepihak oleh kalangan nasionalis Indonesia maupun aktivis pro-kemerdekaan. Hal ini terwujud dalam, misalnya, aktivis pro-kemerdekaan mengklaim Papua adalah “jajahan Indonesia” dan membalikkan stigmatisasi orang Papua sebagai separatis oleh kaum nasionalis.

Aktivis hak asasi manusia dan beberapa orang Papua kerap menggambarkan upaya pemerintah untuk meningkatkan kondisi di Papua sebagai cara untuk memarginalkan masyarakat setempat. Pemerintah dan investor telah dikritik karena merampas tanah adat penduduk asli Papua.

Di sisi lain, kaum nasionalis Indonesia yang menentang hak penentuan nasib sendiri Papua sering melihat ketidakpuasan penduduk asli Papua sebagai indikasi perlawanan terhadap pemerintah dan bukti gerakan separatisme mereka.

Pendekatan non-militer untuk keamanan Papua

Apa yang harus dilakukan pemerintah untuk memastikan keamanan dan stabilitas di Papua?

Pertama, tidak perlu bereaksi berlebihan. Kasus seperti penyanderaan Tembagapura kemungkinan didorong oleh kepentingan pragmatis pihak-pihak yang terlibat.

Kedua, Adriana Elisabeth berpendapat dalam analisisnya di The Conversation, pemerintah Indonesia harus menyeimbangkan pendekatan keamanan negara dengan keamanan manusia. Keselamatan dan kesejahteraan orang-orang yang tidak terlibat langsung dalam konflik harus menjadi prioritas, terlepas dari perbedaan suku dan ras antara pendatang atau penduduk asli Papua.

Ketiga, pemerintah harus membangun jalur dialog dan negosiasi menuju rekonsiliasi dalam jangka panjang. Secara bertahap atau simultan harus ada ruang untuk dialog demi mencegah meningkatnya ketidakpercayaan antara pendatang dan penduduk asli Papua serta antara pihak berwenang dan masyarakat setempat.

Pada 15 Agustus 2017, Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo, para pemimpin agama dan suku serta aktivis hak asasi manusia Papua bertemu di istana presiden di Jakarta. Setelah pertemuan tersebut, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, kepala staf presiden, dan koordinator Jaringan Damai Papua ditunjuk sebagai penanggung jawab untuk menyiapkan dialog tentang hak asasi manusia dan masalah keamanan di Papua.

Keempat, pemerintah daerah harus proaktif dan bekerja sama dengan polisi untuk memulihkan keamanan di wilayah Papua.

Kelima, tiga pilar Papua yakni pemerintah daerah, badan legislatif, dan Majelis Rakyat Papua harus bekerja sama untuk meningkatkan kesejahteraan dan kehidupan semua orang Papua.

Baca Juga: Saat Dunia Jegal Kampanye Kemerdekaan Papua

Dialog masih relevan dan mendesak

Meskipun tidak ada pendekatan “baru” untuk menciptakan perdamaian di Papua dan ada perbedaan pandangan tentang urgensi dialog, itu tidak berarti dialog tidak lagi relevan untuk masa depan Papua.

Hal terpenting untuk memastikan keberhasilan proses dialog adalah memulai dengan landasan bersama untuk menciptakan Papua yang lebih demokratis dan sejahtera. Ini bukan hanya untuk mempertahankan integritas teritorial Indonesia, Adriana Elisabeth menyimpulkan di The Conversation, tetapi juga untuk menghargai dan menghormati martabat masyarakat Papua dalam bingkai keberagaman masyarakat Indonesia.

 

Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari

Editor: Purnama Ayu Rizky

Keterangan foto utama: Pemerintah Indonesia telah menurunkan 6.000 pasukan keamanan ke Papua menanggapi kerusuhan yang tengah terjadi beberapa waktu lalu. (Foto: AP/Dita Alangkara)

Memahami Akar Masalah Papua dan Kemungkinan Solusinya

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top