Membumikan Gagasan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme
Belajar Politik

Membumikan Gagasan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme

Berita Internasional > Membumikan Gagasan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme

Apakah gagasan soal persatuan tiga identitas ala Soekarno masih relevan dewasa ini? Saat masyarakat mengalami polarisasi yang makin curam akibat momentum pemilu, misalnya. Agama pun bisa jadi alat ampuh untuk pecah sekaligus bersatu.

Bagaimana cara menggambarkan kompleksitas pemikiran Soekarno? Silakan baca Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I artikel pertama soal ‘Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme’. Artikel yang bisa dibilang menjadi magnum opus dan paling terkenal dari Soekarno itu disebut-sebut menjadi cikal bakal ide persatuan bangsa. Namun, apakah demikian adanya?

Baca Juga: [INFOGRAFIK] 10 Negara dengan Startup Terbanyak, Indonesia Termasuk?

Jika Marx dan Engels membuka manifestonya dengan kata-kata “a spectre is haunting Europe—the spectre of Communism”, (ada hantu yang menggerayangi Eropa, hantu komunisme). Maka Soekarno juga meluapkan gairah mudanya di tulisan ini dengan sebuah pernyataan keras:

Sebagai Aria Bima-Putera, jang lahirnja dalam zaman perdjoangan, maka Indonesia-Muda inilah melihat tjahaja hari pertama-tama dalam zaman jang rakjat-rakjat Asia, lagi berada dalam perasaan tak senang dengan nasibnja. Tak senang dengan nasib-ekonominja, tak senang dengan nasib-politiknja, tak senang dengan segala nasib jang lain-lainnja…

Di bagian selanjutnya, Soekarno bercerita soal kolonialisme sebagai wajah yang mengancam Indonesia sebagai nation-state. Sementara di lain sisi, Indonesia juga diguncang bahaya perpecahan kolektif yang terjadi di masyarakat. Di antaranya konflik yang sempat mencuat di Serikat Islam Putih pimpinan Agus Salim dan Serikat Islam Merah (Sarekat Rakyat) pimpinan Semaun dkk.

Pertikaian itu ditengarai menjadi penghambat utama perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme Belanda. “Tetapi kita yakin, bahwa dengan terang-benderang menunjukkan, kemauan kita menjadi satu. Kita yakin, bahwa pemimpin Indonesia semuanya insaf, persatuanlah yang membawa kita ke arah kebesaran dan kemerdekaan,” demikian Soekarno menulis.

Gagasan soal persatuan lagi-lagi muncul, tapi apa bisa masyarakat dengan berbagai ideologi: Islam sebagai perwakilan agama, Nasionalisme yang mementingkan bangsa, dan Marxisme yang mengejar perbendaan atau materi (materialistik) itu bisa bersatu? Soekarno dengan optimis menjawabnya “bisa”.

Ia mencontohkan, Boedi Oetomo mampu membuat ide soal persatuan Jawa. Demikian pula kalangan revolusioner-nasionalis yang menyepakati soal kehendak bersama Hindia besar atau Indonesia merdeka. Di negara lain, Mahatma Ghandi pun bisa mempersatukan kalangan Hindu, Parsi, Jain, dan Sikh yang jumlahnya lebih dari 300 juta orang saat itu, enam kali lipat jumlah warga Indonesia.

Kelompok ekstremis Islam Indonesia yang bertujuan memerangi kelompok minoritas Muslim yang dianggap para pengunjuk rasa sebagai kaum sesat.

Kelompok ekstremis Islam Indonesia yang bertujuan memerangi kelompok minoritas Muslim yang dianggap para pengunjuk rasa sebagai kaum sesat. (Foto: Facebook)

Baca Juga: Militer dan Tradisi Kekerasan di Indonesia

Jadi, menurutnya, Nasionalisme seperti halnya Marxisme dan Islamisme ditilik dari sejarahnya, selalu punya keinginan untuk hidup menjadi satu: satu golongan dan satu bangsa. Itu bahkan sudah terjadi ratusan tahun lalu, sejak Indonesia masih berada dalam kungkungan penjajah.

Sekilas, gagasan ini menunjukkan pola pikir yang mengarah pada persatuan bangsa. Namun, artikel yang dimuat dalam Suluh Indonesia Muda pada 1926 ini sebenarnya justru membelah tiga kelompok. Max Lane, menyebut dinamika pembelahan itu lantas dipertahankan seterusnya sampai 1968 ketika Soekarno “dibungkam” oleh Soeharto. Basis pembelahan ini pula yang menjadi kunci keberhasilannya menjadi pemimpin anti-kolonialisme yang membentuk Indonesia merdeka.

Pembelahan antara siapa dan siapa? Itu dijelaskan secara terperinci oleh Soekarno, dalam artikelnya ini.

Kepada kaum nasionalis: ‘Nasionalis jang segan berdekatan dan bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis – Nasionalis sematjam itu menundjukkan ketiadaan jang sangat, atas pengetahuan tentang berputarnja roda-politik dunia dan riwajat. Ia lupa, bahwa asal pergerakan Marxis di Indonesia atau Asia itu, djuga merupakan tempat asal pergerakan mereka. Ia lupa, bahwa arah pergerakannya sendiri atjap kali sesuai dengan arah pergerakan bangsanja jang Marxistis tadi.’

Kepada kaum Islam: ‘Hendaklah kaum Islam jang tak mau merapatkan diri dengan kaum Marxis, sama ingat, bahwa pergerakannya itu, sebagai pergerakan Marxis, adalah suatu gaung atau kumandangnya djerit dan tangis rakjat Indonesia jang makin lama makin sempat kehidupannja, makin lama makin pahit rumah tangganya.’

‘Untuk Islamis sedjati, maka dengan lekas sahadja teranglah baginja, bahwa tak layak dia memusuhi faham Marxisme jang melawan peraturan meerwardenja [nilai lebih], sebab dia tak lupa, bahwa Islam sejati djuga memerangi peraturan itu: ia tak lupa Islam yang sejati melarang keras memakan riba dan memungut bunga.’

Kepada kaum Marxis: ‘Demikian pula, tak pantaslah kaum Marxis itu bermusuhan dan berbenturan dengan pergerakan Islam yang sungguh-sungguh. Tak pantas mereka memerangi pergerakan jang, sebagaimana sudah kita uraikan di atas, dengan seterang-terangnja bersikap anti-kapitalisme; tak pantas mereka memerangi pergerakan jang, sebagaimana kita uraikan di atas jang dengan sikapnya anti-riba dan anti-bunga jalah seterang-terangja jalah anti-meerwaarde.’

Aliran yang beragam dalam tiga kelompok itu kemudian dihadapkan pada satu pilihan: mau bersatu atau tidak. Kalau pun bersatu, ada basis-basis yang ia perjuangkan, tak sekadar Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat, tapi juga sikap yang lebih global: anti-kapitalistik. Terkait ini, ia mencontohkan fenomena riba dan bunga dalam Islam, lengkap dengan dalilnya di Quran. Ia memberi pemahaman, bahwa Islam sama saja seperti Marxis yang menentang seseorang memakan hak orang lainnya.

Militer Indonesia

Pawai TNI pada bulan Juli 2016 di Jakarta. (Foto: AP)

Ia menambahi pula dengan kelebihan Marxisme yang menjadi jalan menyejahterakan banyak orang, alih-alih kapitalisme yang disetir segelintir pengusaha atau elit pemilik modal. Juga bagaimana peran nasionalisme untuk mendukung persatuan bangsa.

Masalahnya, saat itu dinamika yang terjadi, sudah ada pertikaian antara Sarekat Islam yang terbelah saat dihadapkan pada pilihan kapital (modal) dan modal asing (kolonialis). Mana di anatara kedua itu yang halal dan haram. Tulisan Soekarno ini salah satu tujuannya, menjadi ikhtiar untuk menurunkan tensi di kelompok Islam itu.

Terkait persatuan, gagasan Soekarno bahwa bangsa Indonesia sebagai suatu kesatuan, juga memiliki kelemahan. Persamaan tujuan dan persamaan harapan yang menjadi dasar persatuan bangsa itu tak sepenuhnya benar. Yang ada hanyalah satu pihak mengorbankan keinginan sendiri, demi meraih keinginan pihak lain, atau keinginan yang lebih besar. Ini pula yang terjadi ketika Indonesia yang tersusun atas banyak nation dengan ide otonomi dan kemajuan masing-masing, harus dilebur jadi satu menjadi nation-state di awal revolusi dulu.

Lalu, apakah gagasan soal persatuan Soekarno masih relevan dewasa ini? Saat masyarakat mengalami polarisasi yang makin curam akibat momentum pemilu, misalnya. Agama pun bisa jadi alat ampuh untuk pecah sekaligus bersatu. Atas dasar agama, ribuan massa aksi mendorong pemidanaan atas Ahok. Atas dasar agama pula, masyarakat berang ketika bendera berlafal tauhid dibakar—lepas dari konspirasi apa yang menyertainya di belakang layar.

Agama juga membuat warga jadi reaktif ketika diseret ke blantika politik, dalam identitas calon politik tertentu. Tak heran jika kemudian pemilu sarat dengan identitas agama. Data lembaga survei ISS membuktikan, sebanyak 85,3% responden di Jawa Barat menyatakan kesamaan agama sebagai dasar pertimbangan dalam pemilihan Gubernur Jawa Barat beberapa tempo lalu.

Tak hanya agama, perbedaan ideologi partai, entah marhaenis-nasionalis, partai Islam, dan partai berideologi lain pun bisa menyulut pertikaian satu sama lain. Meski mereka sama-sama ingin menaruh orang-orangnya di pemerintahan Indonesia, dan tujuan naifnya membuat kemajuan buat negara, namun perbedaan ideologi tak ayal turut menyumbang persoalan.

Contohnya kasus yang terjadi saat partai tiba-tiba jadi bertengkar pasca-pernyataan Amien Rais yang menyebut Indonesia cuma diisi dua partai: Islam dan Setan. Jangankan beda partai, satu ideologi partai pun bisa berkonflik. Misalnya, konflik abadi yang terjadi di Partai Keadilan Sejahtera, antara pihak konformis dan mereka yang cenderung lebih konvensional dalam masalah kaderisasi.

Melihat beberapa contoh fenomena itu, penting melihat cara Soekarno membuat basis persatuan seperti yang ia lakukan pada 1926. Bahwa, mereka yang berselisih punya pilihan untuk bersatu, membentuk basis massa baru dengan tujuan (semu?) bersama.

Penulis dan editor: Purnama Ayu Rizky

Keterangan foto utama: Dwitunggal, Moh Hatta dan Soekarno. (Foto: Istimewa)

Membumikan Gagasan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top