Jelang Asean Summit, Pentingnya Filipina Jaga Hubungan Baik dengan AS
Presiden Donald Trump (kiri) berjabat tangan dengan Presiden Filipina Rodrigo Duterte pada acara makan malam ASEAN Summit di SMX Convention Center, Minggu, 12 November 2017, di Manila, Filipina. Trump sedang dalam perjalanan lima negara melalui Asia melakukan perjalanan ke Jepang, Korea Selatan, China, Vietnam dan Filipina. (Foto: AP Photo/Andrew Harnik)
Berita Internasional > Jelang Asean Summit, Pentingnya Filipina Jaga Hubungan Baik dengan AS
Asean Summit sebentar lagi bakal dilangsungkan. Menurut analisis pengamat, hubungan baik antara AS dan Filipina-salah satu peserta Asean Summit-menjadi kunci yang memengaruhi relasi negara-negara lain di Asia Tenggara. Untuk hubungan dua negara ini sendiri, diwujudkan dengan intervensi Washington dalam perang obat terlarang di Manila pada 2017 dan andilnya mereka dalam sengketa Laut China Selatan—langkah yang berisiko memicu ketegangan lebih intens di Asia-Pasifik. Langkah tersebut merupakan bagian dari upaya Presiden Donald Trump untuk meningkatkan aliansi AS-Filipina.
Nyshka Chandran dalam CNBC menulis, di saat Presiden Amerika Serikat Donald Trump berusaha untuk memperkuat persekutuan Amerika Serikat (AS)-Filipina, pemerintahannya pada 2017 justru memulai dua tindakan kontroversial yang berisiko menciptakan ketegangan di Asia-Pasifik.
Pertama, Washington membantu Manila dengan memberikan dana untuk kampanye mematikan anti-narkobanya. Kedua, AS berusaha mempertahankan kehadiran militer di Laut China Selatan untuk mencegah Beijing melakukan perluasan teritori lebih lanjut.
Pentagon dan tentara Filipina mendiskusikan pembangunan fasilitas AS di pangkalan udara Filipina di dekat kepulauan yang disengketakan di jalur air internasional, ujar Richard Heydarian, penulis dan profesor ilmu politik di Universitas De La Salle di Manilla kepada CNBC.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri AS juga telah memberikan dana kepada Badan Anti-Narkoba Filipina untuk operasi anti-narkoba, ujar Heydarian.
Kedua langkah tersebut dilihat sangat menguntungkan bagi Manila, yang telah melawan klaim sejarah Beijing atas 90 persen Laut China Selatan, dan memicu kritik internasional karena perang terhadap narkobanya yang kontroversial.
Trump, yang bertemu dengan Presiden Filipina Rodrigo Duterte pada Senin (13/11), telah mengambil langkah-langkah untuk menyalakan kembali hubungan bilateral selama 70 tahun, yang telah meredup di bawah pemerintahan mantan Presiden Barack Obama.
Namun tindakan Gedung Putih itu berisiko memicu masalah: aktivitas Amerika di Laut China Selatan dapat memicu kemarahan Beijing, sementara pendanaan untuk perang terhadap narkoba dengan dugaan pembunuhan di luar hukum, terlihat sebagai dukungan AS terhadap pelanggaran hak asasi manusia.
Kehadiran Amerika di Laut China Selatan
Di bawah Perjanjian Peningkatan Kerjasama antara AS dan Filipina, Manila memperbolehkan pasukan Amerika untuk mengakses lima pangkalan udaranya, termasuk pangkalan Antonio Bautista di Kepulauan Spratly dan pangkalan Basa di dekat Dangkalan Scarborough—keduanya adalah area yang dipersengketakan, yang diklaim oleh Beijing dan Manila.
Washington saat ini berusaha membangun fasilitas untuk pasukan dan peralatan Amerika di kedua pangkalan tersebut.
Hal ini dapat “membuat AS mempertahankan kehadiran strategisnya dan menunjukkan ancaman di Laut China Selatan melawan perluasan maritim China, dan dapat memfasilitasi penyebaran aset AS di saat-saat krisis,” ujar Analis Senior Asia Timur Stratfor, Zhixing Zhang.
Walau Manila dan Beijing memiliki kesepakatan untuk secara damai menyelesaikan sengketa dan menahan diri untuk tidak menduduki pulau baru di wilayah yang disengketakan, Filipina “harus mempertahankan persekutuan dengan AS sebagai kekuatan negosiasi di Laut China Selatan,” ujar Zhang.
Pada awal tahun ini, Duterte menyetujui permintaan pembangunan Washington untuk Pangkalan Udara Basa, namun menolak pengajuan pembangunan di pangkalan Bautista. Namun begitu, diskusi di belakang layar menunjukkan bahwa itu bukanlah cerita utuhnya, menurut Heydarian.
Walau Duterte berperan sebagai “polisi yang baik” dengan menolak gagasan intervensi Amerika di Laut China Selatan yang kaya akan sumber daya, militer Filipina dan Pentagon berharap untuk “melakukan hal buruk dalam membangun pencegahan terhadap perluasan wilayah China,” ujar Heydarian.
Dalam sebuah pernyataan gabungan yang dirilis pada Senin (13/11), Trump dan Duterte tidak menyebutkan dua pangkalan udara tersebut, namun menegaskan komitmen mereka untuk menegakkan kebebasan navigasi di laut strategis itu dan setuju untuk menahan diri dari tindakan yang akan meningkatkan ketegangan, termasuk militerisasi.
Pada Minggu (12/11), Trump mengatakan bahwa ia siap untuk memediasi antara negara-negara yang mengklaim Laut China Selatan, termasuk Vietnam, Brunei, dan Malaysia. Sebagai tanggapannya, media propaganda milik pemerintah China, The Global Times, mengatakan bahwa negara eksternal tidak seharusnya terlibat di dalam Laut China Selatan.
Pendanaan AS untuk Perang Narkoba Manila
Kedua negara telah menyetujui perjanjian bersama dalam pengendalian dan penegakan hukum narkoba, dimana Washington memberikan jutaan dolar kepada Manila sebagai dana untuk program pencegahan narkoba, penegakan hukum, dan pelatihan polisi.
AS memiliki kepentingan dalam perang Filipina terhadap sabu kristal, karena Amerika tidak ingin negara Asia tersebut menjadi pusat kartel internasional, ujar Heydarian menjelaskan.
“Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa sindikat transnasional besar seperti Kartel Sinaloa dan Triad, secara aktif berada di Filipina,” ujarnya. “Jika Filipina terus menjadi pusat pengiriman, hal ini akan menyakiti AS dan sekutu-sekutunya.”
Namun begitu, laporan brutalitas dan pembunuhan tidak berdasarkan hukum oleh polisi, telah mendominasi judul berita dalam kampanye pemberantasan kejahatan Duterte, yang meningkatkan kekhawatiran mengenai bagaimana Washington harus mengatur bantuannya terhadap program tersebut.
Terdapat pertanyaan mengenai “bagaimana AS harus mengimbangi kekhawatirannya untuk melindungi hak asasi manusia, dan keinginannya untuk mempertahankan persekutuan bilateral,” ujar Tom Lantos Komisi Hak Asasi Manusia—sebuah bipartisan dari Dewan Perwakilan AS—dalam sebuah pernyataan pada bulan Juli.
Penerjemah: Aziza Larasati
Editor: Purnama Ayu
Keterangan foto utama: Presiden Donald Trump (kiri) berjabat tangan dengan Presiden Filipina Rodrigo Duterte pada acara makan malam ASEAN