Keinginan Presiden AS Donald Trump untuk membawa kembali Rusia bergabung dengan kelompok negara demokrasi industri, G7, jelas tidak masuk akal. Rusia ditendang dari G7 karena melakukan pelanggaran berat dengan menganeksasi Krimea dari Ukraina. Selain itu, Vladimir Putin juga bertanggung jawab atas kematian ribuan warga sipil di Suriah karena campur tangannya membantu rezim Bashar al-Assad.
David J. Kramer menulis dalam The Washington Post, untuk tahun kedua berturut-turut, Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Agustus tahun lalu, menyerukan untuk menyambut kembali Rusia ke klub negara demokrasi industri terkemuka dunia.
“Saya pikir akan lebih baik untuk memiliki Rusia di dalam daripada di luar,” kata Trump pada konferensi pers hari Senin (26/8) di akhir pertemuan G7 di Biarritz, Prancis, setelah melontarkan gagasan itu sebelumnya.
Saran Trump itu jelas tidak masuk akal.
Bertentangan dengan klaim Trump bahwa membiarkan Rusia masuk kembali merupakan tindakan yang “pantas,” langkah semacam itu akan sepenuhnya bertentangan dengan kepentingan keamanan nasional Amerika Serikat. Para pemimpin G7 lainnya dengan bijaksana telah menolak memberikan tawaran semacam itu ke Rusia.
Selama akhir pekan, Presiden Dewan Eropa Donald Tusk, mantan perdana menteri Polandia, menyatakannya dengan baik: “Ketika Rusia diundang ke G7 untuk pertama kalinya, Rusia diyakini akan mewujudkan jalur demokrasi liberal, aturan hukum, dan hak asasi manusia. Apakah ada di antara kita yang bisa mengatakan dengan keyakinan penuh, bukan dari perhitungan bisnis, bahwa Rusia telah berada di jalur itu?”
Alasan Rusia diusir dari G8 tahun 2014 adalah karena invasi dan aneksasi ilegal Presiden Rusia Vladimir Putin terhadap Semenanjung Ukraina dan serangan Rusia lebih lanjut terhadap Ukraina di wilayah Donbas. Rusia ditendang dari G8 bukan karena Putin “mengakali” mantan Presiden AS Barack Obama, seperti yang telah berulang kali dituduhkan Trump. Para pemimpin G7 lima tahun lalu dengan suara bulat menyimpulkan bahwa pelanggaran mencolok Putin atas kedaulatan dan integritas wilayah Ukraina menuntut pengusiran Rusia dari klub eksklusif itu.
Kecuali dan sampai pasukan Putin menarik diri dari Ukraina timur dan kecuali dan sampai Rusia mengembalikan Krimea kepada kekuasaan Ukraina, Rusia tidak berhak kembali ke G8. Bahkan kemudian ada alasan untuk menunjukkan keraguan.
“Tidak ada yang berubah sejak Maret 2014, ketika partisipasi Rusia dalam G8 dihentikan,” kata Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky setelah Trump menyuarakan gagasannya minggu lalu. “Krimea Ukraina masih diduduki seperti sebelumnya, Donbas Ukraina masih menderita perang.”
Putin bertanggung jawab tidak hanya karena melanggar kedaulatan dan integritas wilayah Ukraina, tetapi juga atas lebih dari 13.000 orang yang tewas dalam pertempuran di Donbas, bersama dengan gelombang pengungsian hampir 2 juta orang lebih. Putin juga bertanggung jawab atas kematian 298 penumpang yang terbunuh setelah penerbangan Malaysia Airlines MH17 ditembak jatuh oleh rudal Rusia bulan Juli 2014.
Putin menyangkal bahwa pasukan Rusia bertempur di Ukraina, sama seperti ia menyangkal bahwa Rusia ikut campur dalam pemilihan presiden AS 2016 atau dalam pemilihan manapun di Eropa. Hal itu tentu saja secara terang-terangan tidak benar, tetapi menggarisbawahi kesia-siaan dalam menerima perkataan Putin. Jadi, tidak ada gunanya mengajaknya bergabung dengan para pemimpin G7 untuk memelintir kebohongannya di depan mereka.
Namun, ada banyak alasan lain mengapa Putin tidak layak berada dalam G8. Dia memikul tanggung jawab atas kematian ribuan warga sipil Suriah yang tidak bersalah setelah keputusannya untuk mengirimkan pasukan Rusia untuk campur tangan di sana untuk mendukung rezim pembantaian Bashar al-Assad. Dalam pelanggaran perjanjian gencatan senjata tahun 2008, ia mempertahankan pasukan yang menempati 20 persen wilayah Georgia setelah Rusia menyerbu negara itu.
Putin juga mendukung rezim Iran maupun rezim Maduro di Venezuela. Pemerintah Rusia telah dikaitkan dengan upaya kudeta di Montenegro untuk mencoba menggagalkan negara itu bergabung dengan NATO. Rusia secara konsisten melanggar sanksi PBB terhadap Korea Utara. Layanan keamanan Rusia telah terlibat dalam penggunaan bahan radioaktif untuk meracuni lawan-lawan Putin seperti Alexander Litvinenko tahun 2006 dan Sergei Skripal tahun 2018 di Inggris. Putin telah melanggar dan meninggalkan banyak perjanjian, termasuk pakta Angkatan Bersenjata Konvensional di Eropa (CFE) dan Traktat Angkatan Nuklir Jangka Menengah (INF). Putin menggunakan pemutusan energi ke negara-negara tetangga sebagai senjata.
Dilansir dari The Washington Post, Rabu (28/8), Putin telah berupaya mengacaukan negara-negara tetangganya sehingga mereka tidak menjadi model alternatif yang berhasil bagi sistem busuk yang ia pimpin di Rusia dan untuk mencegah mereka berintegrasi lebih dekat, atas pilihan mereka sendiri, dengan Uni Eropa dan NATO. Putin telah melontarkan ancaman penggunaan senjata nuklir dan mendorong militernya untuk terlibat dalam pencegatan sembrono terhadap pesawat dan kapal militer NATO.
Baru-baru ini, Putin telah meluncurkan tindakan keras terhadap rakyat Rusia yang memprotes pemerintahannya. Para antek Putin telah membunuh para pemimpin oposisi seperti Boris Nemtsov tahun 2015 dan meracuni orang lain seperti Vladimir Kara-Murza (dua kali). Mereka telah menangkap, memukuli, dan bahkan membunuh jurnalis dan aktivis masyarakat sipil yang menantang rezimnya dan mengungkapkan betapa korup pemerintahannya. Para antek Putin juga telah melecehkan diplomat Amerika dan Barat yang bertugas di Rusia.
Barat harus meningkatkan tekanan terhadap rezim Putin sampai dampak melanjutkan perilaku mengerikan seperti itu lebih besar daripada manfaatnya bagi Kremlin. Tidak ada lagi yang harus bekerja dengan Putin. Amerika juga harus membersihkan sistem di dalam negeri untuk memblokir impor kerusakan pemerintahan Putin.
Ada beberapa masalah tertentu, senjata nuklir dan mengurangi operasi militer di Suriah dan berbagai tempat lain, misalnya, yang mengharuskan Amerika untuk berbicara dengan rekan-rekan Rusia. Tetapi pembicaraan itu tidak harus dilakukan dalam konteks G8. Selama Putin terlibat dalam jenis tindakan yang tidak dapat diterima yang diuraikan di atas, tidak ada pemimpin Barat yang harus membuka pintu G8 kepadanya.
Jadi, apakah Trump akan gamang lagi untuk ketiga kalinya mengajak Rusia di G7 tahun ini? Kita tunggu saja.
Penerjemah: Fadhila Eka
Editor: Purnama Ayu
Keterangan foto utama: Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden AS Donald Trump menghadiri pertemuan di sela-sela KTT G20 di Osaka, Jepang, 28 Juni 2019. (Foto: Sputnik/Mikhail Klimentyev/Kremlin via Reuters)
Dua Kali Gulirkan Ide Buruk, Trump Ingin Gandeng Rusia ke G7