Presiden Amerika Serikat Donald Trump enggan menerima tawaran perpanjangan Rusia karena ia fokus untuk menyertakan China dalam kesepakatan baru. Satu-satunya perjanjian kendali senjata nuklir terakhir antara AS dan Rusia kini di ambang kehancuran, sehingga dunia berisiko menjadi tempat yang jauh lebih berbahaya.
Ketika banyak hal yang berubah kacau, Amerika Serikat gemar menyalahkan orang lain. Kehancuran dan perang saudara di Suriah? Menurut AS, semua salah Rusia. Korea Utara tidak menyerahkan senjata nuklirnya? AS yakin, China harus berusaha lebih banyak untuk menegakkan sanksi.
Kali ini situasinya berbeda. Pemerintahan Presiden AS Donald Trump diam-diam membiarkan Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis Baru (New Start) mati sia-sia. Jika benar demikian, Amerika tidak bisa menyalahkan siapa pun kecuali dirinya sendiri karena telah menjadikan dunia sebagai tempat yang jauh lebih berbahaya.
Di luar perjanjian kontrol senjata antara Amerika dan Rusia, New Start adalah perjanjian dengan konsekuensi global. Kedua negara memiliki cukup senjata nuklir untuk menghancurkan tidak hanya satu sama lain tetapi juga semua umat manusia jika mereka memulai perang.
New Start merupakan perlindungan utama yang akan mencegah skenario itu. Ditandatangani pada 2010, perjanjian tersebut membatasi Rusia dan AS untuk mengerahkan masing-masing 1.550 hulu ledak nuklir strategis. Batasan ini diberlakukan melalui inspeksi, pertukaran data, dan pernyataan persyaratan yang ketat.
Ketika salah satu pihak mengerahkan, menonaktifkan, atau mengubah posisi senjata nuklirnya, pihak satunya akan mengetahui lebih awal.
Kepastian ini akan menciptakan stabilitas. Tidak ada pihak yang merasa ketakutan, berbahagia, atau membuat kesalahan perhitungan yang mengerikan tentang niat pihak lain. Dengan demikian, peluang peradaban terorganisir akan dipertahankan pada tingkat yang dapat diterima.
Menurut pendapat Will Saetren dari South China Morning Post, jika New Start dibiarkan berakhir pada 5 Februari 2021, semua kemungkinan terbaik akan musnah. Untuk pertama kalinya sejak 1972, tidak akan ada kendali yang tersisa pada persenjataan strategis AS atau Rusia.
Selama bertahun-tahun, Rusia telah menawarkan untuk memperpanjang New Start tanpa prasyarat, tetapi AS sejauh ini menolak untuk menandatangani. Trump mengecam perjanjian itu sebagai memihak satu sisi. Ia mengklaim Rusia telah “mengakali” AS selama negosiasi dan bahwa perjanjian itu memungkinkan Rusia untuk terus memproduksi hulu ledak nuklir sementara AS tidak dapat melakukannya, yang jelas merupakan klaim palsu.
Meskipun Trump tidak menawarkan bukti konkret untuk mendukung klaimnya, argumen ini hanya melukiskan setengah gambaran. Setengah gambaran lainnya berfokus tepat pada China.
Berbagai suara di dalam pemerintahan AS percaya, perjanjian tindak lanjut untuk New Start harus melibatkan China. Awal Februari 2020, Penasihat Keamanan Nasional Trump Robert O’Brien mengatakan kepada wartawan, “Kami berpikir China perlu terlibat dalam negosiasi kontrol senjata yang serius, jadi kami akan bekerja pada pembicaraan itu dalam beberapa bulan dan tahun mendatang.”
Di permukaan, argumen ini masuk akal. Rusia bukan lagi negara adidaya seperti dulu. China terus meningkat dan menurut kebanyakan perhitungan telah menjadi musuh yang jauh lebih kuat daripada Rusia, kecuali untuk gudang nuklirnya.
Peluncur Rusia ICBM di Moskow, April 2017. (Foto: Maksim Blinov/Sputnik/AP)
Sebagian besar pakar menilai, China memiliki kurang dari 300 senjata nuklir, sekitar seperlima dari apa yang dapat digunakan AS dan Rusia di bawah New Start. Tidak ada senjata nuklir China yang dikerahkan karena kendaraan pengiriman disimpan secara terpisah dari hulu ledak.
Hulu ledak akan dipasang hanya pada saat krisis ekstrem. Dari perspektif China, sangat tidak masuk akal untuk memaksakan batasan pada dirinya sendiri sementara setuju untuk memungkinkan musuh potensial memiliki persenjataan yang jauh lebih besar daripada miliknya sendiri.
Ukuran senjata Amerika Serikat dan Rusia yang berbeda tipis menjadikan transparansi sebagai hal yang positif. Kedua negara memiliki kepentingan untuk mengetahui apa yang dilakukan pihak lain untuk menghindari pengiriman sinyal yang salah dan secara tidak sengaja memicu perang nuklir. Dalam kasus China, yang terjadi adalah sebaliknya.
Dengan menyimpan erat rahasia mengenai persenjataannya, China dapat memiliki keyakinan bahwa Gudang senjatanya akan selamat dari serangan nuklir yang mengejutkan dan menjamin serangan balik yang dahsyat. Menginvestasikan sumber daya berharga dalam senjata nuklir untuk tujuan bersaing dalam permainan angka tidak lebih dari sebuah pembunuhan besar-besaran yang mahal.
Bagi China untuk mempertimbangkan dengan serius bergabung dengan New Start, negara itu harus menyamakan kedudukan dengan AS dan Rusia. Kecuali jika negara-negara tersebut bersedia menyerahkan ribuan senjata nuklir (yang tidak mungkin terjadi), China perlu lebih banyak mempersenjatai, bukan mengurangi jumlah senjatanya. Skenario itu tidak akan menguntungkan siapa pun.
Ketika Trump mengklaim telah berbicara dengan para pejabat China tahun lalu untuk bergabung dengan New Start, sambutannya disambut dengan skeptisisme yang besar.
Trump berujar, “Kami membahas kemungkinan kesepakatan tiga arah, bukan kesepakatan dua arah. Mengenai China, saya sudah berbicara dengan mereka. Mereka sangat ingin menjadi bagian dari kesepakatan itu.”
Faktanya, China tidak pernah mengonfirmasi (atau menolak) pembicaraan itu. Mengingat hubungan buruk Trump dengan kebenaran, kecil kemungkinan pembicaraan semacam itu benar-benar pernah terjadi.
Amerika Serikat harus menyerah dengan anggapan bahwa negara itu harus membatasi China di setiap kesempatan. Intinya, dunia adalah tempat yang lebih aman dengan New Start daripada tanpa kesepakatan itu. Trump harus menerima tawaran Rusia dan segera memperpanjang perjanjian, yang tidak membutuhkan usaha lebih besar daripada sekadar goresan pena.
Will Saetren dari South China Morning Post menyimpulkan, meskipun gagasan membatasi persenjataan nuklir China mungkin terlihat menguntungkan bagi presiden Amerika Serikat, hal itu tidak masuk akal. Trump memiliki risiko yang sangat nyata berupa kehilangan kesepakatan fenomenal dalam mengejar mimpi kosong.
Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Presiden Rusia Vladimir Putin dan mantan Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton bertemu di Kremlin pada Selasa, 23 Oktober 2018. (Foto: AP/Alexander Zemlianichenko)
Mengapa Trump Harus Perpanjang Perjanjian Nuklir dengan Rusia?