Kekerasan Senjata Api
Amerika

6 Alasan Kronisnya Masalah Kekerasan Senjata Api di Amerika Serikat

Berita Internasional > 6 Alasan Kronisnya Masalah Kekerasan Senjata Api di Amerika Serikat

Publik Amerika Serikat dan berbagai penelitian telah mendukung upaya kontrol senjata api. Berikut ini berbagai upaya bagaimana kontrol senjata api dapat dilakukan dan mengapa selama ini masih menjadi sekadar wacana.

Baca juga: Penembakan Massal Terus Terjadi, Amerika Butuh Kontrol Senjata Api Lebih Ketat

Oleh: German Lopez (Vox)

Akhir pekan lalu, penembakan massal kembali terjadi di Amerika Serikat. Kali ini, para penyerang bersenjata mengamuk di Odessa dan Midland, Texas, sementara penembakan lainnya terjadi di Mobile, Alabama, melukai puluhan orang dengan setidaknya beberapa di antaranya dilaporkan tewas.

Penembakan massal telah menyebabkan tuntutan publik Amerika untuk mengambil tindakan. “Berapa banyak konstituen @JohnCornyn @tedcruz yang harus mati sebelum mereka melakukan sesuatu?” tulis Coalition to Stop Gun Violence di Twitter, merujuk pada Senator John Cornyn dan Ted Cruz dari Texas, keduanya dari Partai Republikan yang telah menentang undang-undang kontrol senjata api yang lebih tegas.

Tetapi jika ini terjadi seperti pasca-penembakan massal di masa lalu, mulai dari Sandy Hook Elementary School tahun 2012 hingga Las Vegas tahun 2017, hanya ada kemungkinan yang sangat rendah Kongres Amerika Serikat akan mengambil langkah signifikan terkait kontrol senjata api.

Situasi ini telah menjadi rutinitas bagi Amerika. Setelah setiap penembakan massal, perdebatan kontrol senjata api dan kekerasan senjata kembali dimulai. Mungkin beberapa rancangan undang-undang baru akan diperkenalkan. Para kritikus gagasan kontrol senjata api yang lebih tegas menanggapi dengan kekhawatiran bahwa pemerintah AS berusaha merebut senjata mereka. Perdebatan pun berhenti.

Jadi bahkan ketika Amerika terus mengalami tingkat kekerasan senjata yang tak tertandingi dibandingkan dengan berbagai negara maju, tidak ada perubahan bermakna yang akan terjadi. Tidak ada undang-undang yang disahkan oleh Kongres AS, tidak ada tindakan signifikan yang dilakukan untuk mencoba mencegah kengerian berikutnya.

Jadi mengapa setelah semua kemarahan dan penderitaan di setiap penembakan massal, sepertinya tidak ada yang berubah? Untuk memahami itu, penting untuk memahami tidak hanya statistik yang menakjubkan tentang kepemilikan senjata api dan kekerasan senjata di Amerika Serikat, tetapi hubungan unik Amerika dengan senjata, tidak seperti berbagai negara maju lainnya, dan bagaimana hal itu terjadi dalam politik Amerika untuk memastikan, tampaknya bertentangan dengan segala rintangan, bahwa budaya dan hukum Amerika terus mendorong kekerasan senjata rutin yang menandai kehidupan ala Amerika.

1) Masalah senjata api Amerika benar-benar unik

Tidak ada negara maju lain di dunia yang memiliki tingkat kekerasan senjata api yang sama dengan Amerika. AS memiliki hampir enam kali lipat tingkat pembunuhan dengan senjata dibandingkan dengan Kanada, lebih dari tujuh kali lipat Swedia, dan hampir 16 kali lipat Jerman, menurut data PBB yang dikumpulkan oleh The Guardian. Kematian akibat senjata adalah alasan utama Amerika memiliki tingkat pembunuhan keseluruhan yang jauh lebih tinggi, yang mencakup kematian akibat non-senjata api, daripada negara maju lainnya.

Pembunuhan menggunakan senjata api per 1 juta orang. (Sumber: UNCOC via The Guardian via Vox)

Untuk memahami alasannya, ada statistik penting lainnya: Amerika Serikat sejauh ini memiliki jumlah kepemilikan pribadi senjata api terbanyak di dunia. Diperkirakan untuk tahun 2017, jumlah senjata api milik sipil di AS adalah 120,5 senjata per 100 penduduk, yang berarti ada lebih banyak senjata api daripada orang. Negara peringkat kedua di dunia adalah Yaman, negara kuasi-gagal yang dirusak oleh perang saudara, di mana terdapat 52,8 senjata per 100 penduduk, menurut analisis dari Small Arms Survey.

Negara dan wilayah dengan jumlah kepemilikan senjata api tertinggi oleh sipil per 100 penduduk. (via Vox)

Cara lain untuk melihatnya: Rakyat Amerika membentuk kurang dari 5 persen dari populasi dunia, namun mereka memiliki sekitar 45 persen dari semua senjata api yang dimiliki secara pribadi di dunia.

Namun, itu tidak berarti bahwa setiap orang dewasa Amerika benar-benar memiliki senjata api. Faktanya, kepemilikan senjata terkonsentrasi di antara minoritas populasi AS, seperti yang ditunjukkan oleh survei dari Pew Research Center dan General Social Survey.

Tiga fakta dasar itu menunjukkan budaya senjata api yang unik di Amerika. Terdapat korelasi yang sangat kuat antara kepemilikan senjata api dan kekerasan senjata, suatu hubungan yang menurut para peneliti setidaknya sebagian bersifat sebab-akibat. Kepemilikan senjata api Amerika melampaui apa pun di dunia.

Pada saat yang sama, senjata-senjata itu terkonsentrasi di antara minoritas yang bersemangat, yang biasanya merupakan kritikus paling keras terhadap segala bentuk kontrol senjata api dan yang menakut-nakuti para anggota legislatif agar memberikan suara menentang langkah-langkah kontrol semacam itu.

Baca juga: Penembakan Massal di Amerika Bukan karena Senjata Api yang Mudah Didapat

2) Lebih banyak senjata berarti lebih banyak kematian akibat senjata api

Penelitian tentang hal itu sangat jelas: Tidak peduli bagaimana kita mengamati datanya, lebih banyak senjata berarti lebih banyak kematian akibat senjata api.

Hal ini terlihat ketika kita melihat data negara-per-negara untuk kepemilikan senjata api dan kematian akibat senjata api (termasuk pembunuhan dan bunuh diri) di Amerika Serikat, seperti yang diperlihatkan oleh bagan dari Mother Jones:

Tampak jelas ketika kita melihat data kepemilikan senjata api dan kematian akibat senjata api (termasuk pembunuhan dan bunuh diri) di negara-negara maju, seperti yang ditunjukkan bagan berdasarkan data dari GunPolicy.org:

Para penentang kontrol senjata api cenderung menunjukkan faktor-faktor lain untuk menjelaskan tingkat kekerasan senjata api di Amerika yang tidak biasa, khususnya penyakit mental. Tetapi orang-orang dengan penyakit mental lebih cenderung menjadi korban dari kekerasan, bukan pelaku.

Michael Stone, psikiater di Universitas Columbia yang menyusun basis data pelaku penembakan massal, menulis dalam analisis tahun 2015 bahwa hanya 52 dari 235 pembunuh dalam basis data atau sekitar 22 persen yang menderita penyakit mental. “Orang yang sakit mental seharusnya tidak memikul beban dianggap sebagai pelaku ‘pembunuhan massal’,” demikian kesimpulan Stone. Penelitian lain telah mendukung kesimpulan ini.

Argumen lain yang terkadang kita dengar adalah bahwa penembakan akan lebih jarang terjadi jika lebih banyak orang memiliki senjata, yang memungkinkan mereka untuk mempertahankan diri dari penembakan.

Namun tingginya tingkat kepemilikan senjata api tidak mengurangi kematian akibat senjata api dan cenderung terjadi bersamaan dengan peningkatan kematian akibat senjata api. Sementara beberapa orang dalam beberapa kasus mungkin menggunakan senjata api untuk dengan berhasil mempertahankan diri mereka sendiri atau orang lain, proliferasi senjata tampaknya menyebabkan kekerasan yang jauh lebih banyak daripada yang dapat dicegah.

Berbagai simulasi juga menunjukkan bahwa kebanyakan orang, jika ditempatkan dalam situasi penembak aktif saat mereka bersenjata, tidak akan dapat menghentikan situasi dan mungkin sebenarnya hanya menimbulkan kemungkinan terbunuh dalam proses itu.

Video dari ABC News menunjukkan simulasi seperti itu, ketika orang-orang berulang kali gagal menembak seorang penembak aktif sebelum mereka tertembak:

Sementara itu, hubungan antara tingkat kepemilikan senjata api dan tingkat kekerasan senjata berbanding lurus. Ulasan dari bukti yang dikumpulkan oleh Injury Control Research Center dari Harvard School of Public Health mendukung gagasan itu. Setelah menyingkirkan variabel seperti faktor sosial-ekonomi dan kejahatan lainnya, tempat-tempat dengan lebih banyak senjata memiliki lebih banyak kematian akibat senjata api, tidak hanya pembunuhan tetapi juga bunuh diri, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap polisi, dan penembakan massal.

Sebagai contoh, sebuah studi tahun 2013 yang dipimpin oleh seorang peneliti Boston University School of Public Health menemukan bahwa, setelah menyingkirkan beberapa variabel, setiap peningkatan persentase kepemilikan senjata api berkorelasi dengan kenaikan sekitar 0,9 persen dalam tingkat pembunuhan dengan senjata api.

Analisis terobosan oleh Franklin Zimring dan Gordon Hawkins dari UC Berkeley tahun 1990-an menemukan bahwa bukan berarti Amerika Serikat memiliki lebih banyak kejahatan daripada negara-negara maju lainnya. Bagan berdasarkan data dari Jeffrey Swanson di Universitas Duke menunjukkan bahwa AS bukan merupakan kasus ekstrem dalam hal kejahatan secara keseluruhan:

Sebaliknya, Amerika Serikat tampaknya memiliki lebih banyak kekerasan mematikan dan itu sebagian besar didorong oleh prevalensi senjata.

“Serangkaian perbandingan spesifik tingkat kematian dari kejahatan properti dan penyerangan di New York City dan London menunjukkan bagaimana perbedaan besar dalam risiko kematian dapat dijelaskan bahkan ketika pola umumnya serupa,” tulis Zimring dan Hawkins. “Preferensi untuk kejahatan kekuatan pribadi kesediaan dan kemampuan untuk menggunakan senjata dalam perampokan membuat tingkat kejahatan properti yang sama 54 kali lebih mematikan di New York City dibandingkan di London.”

Senjata api bukan satu-satunya kontributor kekerasan. Faktor-faktor lain misalnya termasuk kemiskinan, urbanisasi, dan konsumsi alkohol. Tetapi ketika para peneliti menyingkirkan variabel lainnya, mereka telah berkali-kali menemukan bahwa tingkat kepemilikan senjata api yang tinggi di Amerika adalah alasan utama mengapa AS jauh lebih buruk dalam hal kekerasan senjata daripada sesama negara maju.

Untuk mengatasi masalah ini, Amerika Serikat bukan hanya harus membatasi akses senjata api, tetapi kemungkinan juga harus mengurangi jumlah senjata di AS.

Tinjauan tahun 2016 terhadap 130 studi di 10 negara, yang diterbitkan dalam Epidemiologic Reviews, menemukan bahwa pembatasan hukum baru untuk memiliki dan membeli senjata api cenderung diikuti oleh penurunan kekerasan senjata, indikator kuat bahwa membatasi akses senjata bisa menurunkan jumlah korban jiwa.

Tetapi bahkan dengan kemarahan publik dan perasaan muak atas kekerasan senjata api serta bukti nyata bahwa masalahnya adalah tingginya tingkat kepemilikan senjata api di Amerika, belum ada undang-undang yang signifikan untuk membantu memecahkan masalah tersebut.

3) Rakyat Amerika cenderung mendukung langkah-langkah kontrol senjata api, tetapi itu tidak diwujudkan dalam undang-undang

Jika kita bertanya kepada rakyat Amerika bagaimana perasaan mereka tentang tindakan pengendalian senjata tertentu, mereka seringkali akan mengatakan bahwa mereka mendukungnya. Menurut survei Pew Research Center, kebanyakan orang di AS mendukung pemeriksaan latar belakang universal, basis data federal untuk melacak penjualan senjata, larangan senjata serbu, dan larangan magasin berkapasitas tinggi. Beberapa survei juga menemukan dukungan kuat terhadap syarat lisensi untuk membeli dan memiliki senjata, proposal lainnya yang didukung kuat oleh hasil penelitian.

Jadi mengapa tindakan kontrol senjata api semacam itu tidak pernah diwujudkan dalam undang-undang? Hal itu sebagian karena adanya masalah politik lain: Amerika dalam beberapa tahun terakhir cenderung kian mendukung gagasan abstrak berupa hak untuk memiliki senjata.

Ini adalah bagian dari bagaimana para penentang gagasan kontrol senjata api dapat mengagalkan undang-undang yang akan memperkenalkan tindakan paling populer, seperti pemeriksaan latar belakang yang mencakup penjualan pribadi (yang memiliki dukungan lebih dari 80 persen, menurut Pew). Para penentang kontrol senjata api dapat menggambarkan hukum yang bertentangan dengan hak untuk memiliki senjata, dan membangkitkan reaksi penolakan terhadapnya.

Masalah seperti ini tidak hanya ditemukan pada kontrol senjata api. Misalnya, meskipun banyak orang Amerika mengatakan mereka tidak menyukai Undang-Undang Perawatan Terjangkau (yang juga dikenal sebagai Obamacare), kebanyakan dari mereka sebenarnya menyukai kebijakan khusus dalam undang-undang perawatan kesehatan. Masalahnya adalah kebijakan khusus ini telah ditutupi oleh retorika tentang “pengambilalihan pemerintah atas perawatan kesehatan” dan panel kematian.”

Kebanyakan orang Amerika tidak punya waktu untuk memverifikasi klaim ini, terutama ketika melibatkan tagihan besar-besaran dengan banyak perpindahan bagian, sehingga cukup banyak orang yang akhirnya percaya pada slogan dan argumen menakutkan untuk menggagalkan undang-undang tersebut.

Tentu saja, beberapa orang Amerika secara sederhana menentang hukum kontrol senjata apa pun. Sementara kelompok itu umumnya kalah jumlah dari orang-orang yang mendukung kontrol senjata api, lawan cenderung lebih bersemangat tentang masalah ini daripada para pendukung, dan mereka didukung oleh lobi politik yang sangat kuat.

4) Lobi senjata api merupakan hal yang relatif baru tetapi sangat kuat

Satu-satunya organisasi politik paling kuat dalam hal senjata tidak diragukan lagi adalah National Rifle Association (NRA). NRA memiliki cengkeraman yang sangat luas atas politik konservatif di Amerika Serikat. NRA sendiri merupakan organisasi yang belum lama berdiri.

NRA, untuk sebagian besar sejarah awal, sekadar klub olahraga dan bukan kekuatan politik yang serius terhadap kontrol senjata. NRA awalnya bahkan mendukung beberapa aspek pembatasan senjata. Tahun 1934, presiden NRA Karl Frederick mengatakan, “Saya tidak mendukung kepemilikan senjata sembarangan secara umum. Saya pikir itu harus dibatasi dengan kuat dan hanya di bawah lisensi.”

Revolusi organisasi tahun 1977 telah mengubah segalanya. Ketika kejahatan meningkat tahun 1960-an dan 70-an, seruan untuk lebih banyak kontrol senjata api juga turut tumbuh. Para anggota NRA khawatir pembatasan baru pada senjata akan mengubah undang-undang Gun Control Act yang bersejarah tahun 1968, yang mereka khawatirkan akan berakhir dengan penyitaan pemerintah atas semua senjata api di Amerika. Jadi para anggota NRA pun dimobilisasi, menempatkan tokoh garis keras Harlon Carter di kepemimpinan, yang selamanya mengubah NRA menjadi lobi senjata yang kita kenal saat ini di Amerika.

Kisah pondasi ini sangat penting untuk memahami mengapa NRA saat ini hampir secara kategoris menentang peraturan senjata api pribadi. NRA khawatir bahwa peraturan yang populer dan tampaknya masuk akal, seperti melarang senjata serbu atau basis data federal pembelian senjata, tidaklah benar-benar tentang upaya menyelamatkan nyawa tetapi sebenarnya merupakan langkah awal yang potensial untuk mengakhiri semua kepemilikan senjata pribadi di Amerika, yang dipandang NRA (secara salah, menurut beberapa ahli hukum) sebagai pelanggaran terhadap Amandemen Kedua Konstitusi Amerika Serikat.

Jadi, setiap kali ada upaya untuk memaksakan bentuk kontrol senjata baru, NRA menggalang para pemilik senjata dan penentang kontrol senjata lainnya untuk membunuh rancangan undang-undang ini. Para pemilik senjata tersebut merupakan minoritas populasi: sekitar 30-40 persen rumah tangga, tergantung pada survei mana yang digunakan. Tetapi populasi itu adalah konstituen yang cukup besar dan aktif, khususnya di dalam basis Partai Republikan, untuk membuat banyak anggota legislatif takut bahwa penilaian yang buruk dari NRA akan mengakhiri karir politik mereka.

Akibatnya, media dan politisi konservatif Amerika merangkul dukungan NRA, terutama peringkat yang diberikan organisasi itu, dengan sangat serius. Para politisi terkadang berusaha keras untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap hak kepemilikan senjata api. Tahun 2015, misalnya, Senator Ted Cruz (Republikan-Texas) membintangi sebuah video dari IJ Review di mana ia memasak daging asap dengan senapan mesin.

Meskipun beberapa kampanye telah muncul selama bertahun-tahun untuk mencoba menangkal NRA, tidak ada yang mendekati keberhasilan untuk meraih jenis pengaruh yang dimiliki organisasi tersebut.

Situasi ini mungkin tengah berubah. Antara gerakan March for Our Lives yang berasal dari Parkland, Florida, penembakan dan berbagai kelompok lain seperti Everytown dan Giffords, kelompok-kelompok pendukung kontrol senjata api umumnya lebih terorganisir, memiliki pendanan lebih baik, dan lebih besar daripada organisasi-organisasi serupa di AS. Akibatnya, Partai Demokrat di tingkat negara bagian dan federal tampaknya jauh lebih bersedia untuk membahas kontrol senjata api.

Tetapi pendukung kontrol senjata api menghadapi kendala besar, yakni lawan yang sangat bersemangat. Seperti yang dikatakan ahli strategi Partai Republikan Grover Norquist tahun 2000, “Pertanyaannya adalah intensitas versus preferensi. Anda selalu bisa mendapatkan persentase tertentu untuk mengatakan mereka mendukung beberapa aspek kontrol senjata. Tetapi apakah mereka akan memberikan suara atas posisi ‘kontrol’ mereka?” Mungkin tidak, menurut Norquist, “tetapi untuk 4-5 persen yang peduli dengan senjata, mereka akan memilih ini.”

Apa yang ada di balik semangat itu? Kristin Goss, penulis The Gun Debate: What Everyone Needs to Know, menyarankan bahwa itu adalah perasaan kehilangan yang nyata. Para pemilik senjata merasa bahwa pemerintah AS akan mengambil senjata dan hak mereka. Sebagai perbandingan, para pendukung pengendalian senjata dimotivasi oleh gagasan yang lebih abstrak tentang pengurangan kekerasan senjata, meskipun Goss mencatat bahwa para korban penembakan massal dan keluarga mereka telah mulai mempersonalisasi kebijakan-kebijakan tersebut dengan terlibat secara lebih aktif dalam upaya advokasi, yang dapat membuat gerakan kontrol senjata api lebih terasa merangkul publik secara luas. (Misalnya: #NeverAgain.)

Ada juga pengecualian di tingkat negara bagian, di mana anggota parlemen dan pemilih telah meloloskan undang-undang yang memberlakukan (dan melonggarkan) pembatasan senjata. Dalam beberapa tahun terakhir, misalnya, Vermont, negara bagian Washington, dan Oregon mengesahkan undang-undang yang memperluas pemeriksaan latar belakang. “Ada banyak hal yang terjadi daripada di Kongres AS,” kata Goss. “Di negara bagian basis Partai Demokrat, undang-undang senjata semakin ketat. Sementara itu, di negara-negara bagian basis Partai Republikan, dalam beberapa kasus, undang-undang senjata semakin longgar.”

Tetapi undang-undang negara bagian tidaklah cukup. Seseorang dapat melewati batas negara bagian untuk membeli senjata api di bawah aturan yang lebih longgar, standar federal yang lebih lemah memudahkan seseorang untuk melakukan perjalanan ke negara bagian dengan undang-undang senjata yang lebih longgar untuk mendapatkan senjata api dan mengirimkannya ke negara lain.

Ini adalah kejadian yang biasa terjadi sehingga rute pengiriman senjata dari Selatan, di mana undang-undang senjata cukup longgar, ke New York, di mana undang-undang senjata sangat ketat, telah mendapatkan julukan “Iron Pipeline.” Tapi itu juga terjadi di seluruh penjuru Amerika, mulai dari New York hingga Chicago dan California. Hanya undang-undang federal yang dapat mengatasi masalah ini, dengan menetapkan dasar seberapa longgar hukum dapat diterapkan di setiap negara bagian. Hingga undang-undang federal seperti itu disahkan, akan selalu ada celah besar untuk hukum kontrol senjata api di negara bagian mana pun di Amerika.

Namun pengaruh NRA dan para pendukungnya telah mendorong banyak anggota legislatif Amerika, terutama di tingkat federal dan negara-negara bagian basis Partai Republikan, untuk menjauh dari langkah-langkah pengendalian senjata, meskipun beberapa negara bagian yang meloloskan kebijakan itu telah mengalami banyak keberhasilan.

5) Negara-negara maju lainnya telah sukses besar dengan kontrol senjata api

Tahun 1996, seorang pria berusia 28 tahun yang dipersenjatai dengan senapan semi-otomatis mengamuk di Port Arthur, Australia, menewaskan 35 orang dan melukai 23 orang lainnya. Itu adalah penembakan massal terburuk dalam sejarah Australia.

Para anggota parlemen Australia menanggapi dengan undang-undang yang, di antara berbagai ketentuan lainnya, melarang beberapa jenis senjata api, seperti senapan dan senapan serbu semi-otomatis dan shotgun. Pemerintah Australia telah menyita 650.000 senjata tersebut melalui program wajib pembelian kembali senjata, di mana program itu akan membeli senjata api dari para pemilik senjata.

Program itu akan menyusun daftar semua senjata yang dimiliki di Australia dan memerlukan izin untuk semua pembelian senjata api baru. (Langkah ini memiliki jangkauan dampak yang lebih jauh daripada rancangan undang-undang yang biasanya diusulkan di AS, yang hampir tidak pernah melakukan upaya serius untuk segera mengurangi jumlah senjata di Amerika.)

Hasilnya, tingkat pembunuhan senjata api Australia turun sekitar 42 persen dalam tujuh tahun setelah undang-undang disahkan, sementara tingkat bunuh diri senjata api turun 57 persen, menurut sebuah ulasan dari bukti oleh para peneliti Harvard.

Sulit untuk mengetahui dengan pasti berapa banyak penurunan kasus pembunuhan dan bunuh diri yang disebabkan oleh program pembelian kembali senjata dan perubahan hukum lainnya. Misalnya, kematian akibat senjata api di Australia sudah menurun sebelum undang-undang disahkan. Tetapi peneliti David Hemenway dan Mary Vriniotis berpendapat bahwa program pembelian kembali senjata sangat mungkin memainkan peran: “Pertama, penurunan kematian akibat senjata api merupakan yang terbesar di antara jenis senjata api yang paling dipengaruhi oleh pembelian kembali. Kedua, kematian senjata api di negara-negara bagian dengan tingkat pembelian kembali yang lebih tinggi per kapita turun secara proporsional lebih banyak daripada di negara-negara bagian dengan tingkat pembelian kembali yang lebih rendah.”

Sebuah studi oleh para peneliti Australia menemukan bahwa membeli kembali 3.500 senjata per 100.000 orang berkorelasi dengan penurunan hingga 50 persen dalam kasus pembunuhan senjata api, dan penurunan 74 persen dalam kasus bunuh diri dengan senjata. Seperti yang dicatat oleh Dylan Matthews untuk Vox, penurunan kasus pembunuhan tidak signifikan secara statistik karena Australia memiliki jumlah pembunuhan yang cukup rendah. Tapi penurunan bunuh diri secara pasti cukup signifikan dan hasilnya mengejutkan:

Sebuah fakta lain, yang dicatat oleh Hemenway dan Vriniotis tahun 2011: “Meski 13 pembantaian senjata api (pembunuhan terhadap 4 orang atau lebih pada satu waktu) terjadi di Australia dalam 18 tahun sebelum undang-undang kontrol senjata Australia telah menimbulkan lebih dari satu ratusan kematian, dalam 14 tahun berikutnya (dan sampai sekarang) tidak ada kasus pembantaian senjata api.”

6) Meskipun mendapatkan banyak fokus, penembakan massal adalah bagian kecil dari kekerasan senjata

Tergantung pada definisi penembakan massal yang digunakan, terdapat sekitar selusin hingga ratusan penembakan massal di Amerika Serikat setiap tahun. Kejadian-kejadian itu tentu saja merupakan tragedi yang menghancurkan bagi bangsa Amerika, terutama para korban dan keluarga mereka.

Namun, jenis-jenis lain dari kekerasan senjata api membunuh lebih banyak orang Amerika daripada penembakan massal. Di bawah definisi luas penembakan massal, insiden semacam itu menewaskan kurang dari 500 orang di AS tahun 2016. Angka itu mewakili kurang dari 2 persen dari hampir 39.000 kematian akibat senjata api tahun itu, yang sebagian besar adalah bunuh diri, bukan pembunuhan.

Mencegah bunuh diri biasanya tidak disebutkan dalam diskusi pengendalian senjata, tetapi pengalaman negara lain menunjukkan bahwa hal itu dapat menyelamatkan nyawa. Di Israel, di mana dinas militer diwajibkan bagi sebagian besar penduduk, para pembuat kebijakan menyadari jumlah mengkhawatirkan tentara yang bunuh diri ketika mereka pulang pada akhir pekan. Jadi para pejabat Israel, sebagai bagian dari solusi mereka, memutuskan untuk mencoba memaksa para prajurit untuk menyimpan senjata mereka di pangkalan sebelum pulang. Langkah itu pun berhasil. Sebuah penelitian dari para peneliti Israel menemukan bahwa bunuh diri di antara tentara Israel lantas turun hingga 40 persen.

Baca juga: Penembakan Parkland: Trump Sebut Pelaku ‘Terganggu Mentalnya,’ Tak Menyinggung Kontrol Senjata Api

Jadi sementara para politisi seringkali menunggu terjadinya penembakan massal sebelum menyerukan kontrol senjata api, masalahnya jauh melampaui berbagai insiden itu. Meskipun sulit untuk menyalahkan para politisi yang telah berusaha, penembakan massal akhirnya tetap memaksa rakyat Amerika untuk menghadapi dampak yang ditimbulkan oleh undang-undang dan budaya senjata api di Amerika.

Tetapi tampaknya Amerika Serikat tidak mau melihat atau tidak cukup peduli dengan apa yang telah disaksikan ketika peristiwa semacam itu terjadi. Bahkan penembakan massal tahun 2012 di Sandy Hook Elementary School di Newtown, Connecticut, ketika seorang pria bersenjata membunuh 20 anak-anak, enam personel sekolah, dan akhirnya bunuh diri, telah memicu perubahan besar di tingkat federal dan sebagian besar negara bagian. Sejak saat itu, menurut beberapa perkiraan, telah terjadi ribuan penembakan massal. Masih ada banyak alasan untuk percaya bahwa akan ada lebih banyak lagi penembakan massal di masa mendatang.

Keterangan foto utama: Masyarakat yang berkabung berdiri saat menyalakan lilin untuk korban penembakan di Marjory Stoneman Douglas High School di Parkland, Florida, pada tanggal 15 Februari 2018. (Foto: AFP/Getty Images/Rhona Wise)

6 Alasan Kronisnya Masalah Kekerasan Senjata Api di Amerika Serikat

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top