Asia

20 Tahun Merdeka, Timor Leste Tetap Tunduk pada Indonesia

Berita Internasional > 20 Tahun Merdeka, Timor Leste Tetap Tunduk pada Indonesia

Dili merayakan pemungutan suara yang memicu pembantaian berdarah. Ada daftar 400 orang (yang disusun oleh satu lembaga penegak hukum Barat) yang seharusnya dituntut atas kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur 20 tahun yang lalu. Tidak ada yang terjadi dan banyak orang dalam daftar itu telah dipindahtugaskan ke Papua.

Baca juga: Setelah Merdeka, Kini Timor Leste Harus Bersatu Lawan Kemiskinan

Luke Hunt menulis di UCA News, di seluruh ibu kota Timor Leste, Dili, bendera merah, kuning, dan hitam berkibar, jalan-jalan dibersihkan, dan gedung-gedung publik dicat pada minggu lalu, sebelum ratusan pejabat asing tiba untuk peringatan 20 tahun pemungutan suara yang memicu pembantaian berdarah.

Kembali pada 1999, kekerasan meletus empat hari setelah pemungutan suara kemerdekaan tanggal 30 Agustus. Selama tiga minggu berikutnya, 1.500 orang terbunuh dan setengah juta lainnya terpaksa mengungsi, sebelum pasukan penjaga perdamaian PBB mendarat, memulihkan ketertiban, dan memastikan kemerdekaan.

Kemegahan dan upacara adalah agenda pada hari peringatan itu. Di seluruh negara Katolik yang kecil ini, orang-orang mengenakan pakaian terbaik mereka dan dengan bangga melambaikan bendera negara mereka, seiring medali diberikan kepada orang-orang yang membantu mengakhiri pendudukan Indonesia selama 24 tahun.

Tetapi di balik perayaan itu, ada kondisi yang buruk.

Timor Leste dirusak oleh korupsi dan kemiskinan dengan pengangguran nyata di atas 70 persen. Tidak ada seorang pun yang dimintai pertanggungjawaban atas pembantaian tersebut—termasuk PBB—dan tanggapan Dili terhadap pertanyaan ​​tentang masalah sulit itu, hampir tidak sesuai dengan demokrasi yang masih baru.

Para jurnalis diberi tahu untuk tidak bertanya atau menulis tentang provinsi Papua yang bermasalah di Indonesia, yang meletus menjadi kekerasan—beberapa orang mengatakan perang—seiring para veteran PBB di Timor Leste sedang minum sampanye dan bersulang tentang keberhasilan mereka dua dekade lalu dalam memberikan kedaulatan kepada Dili.

Namun, kepala-kepala yang lebih ‘waras’ akan lebih terbuka. Militer, polisi, pengacara, dan birokrat dari berbagai negara sangat tumpul dalam penilaian mereka, meningkatnya konflik yang mendidih di Papua—yang berujung pada tuntutan untuk penentuan nasib sendiri—dimulai setahun yang lalu.

Di Jayapura, kerusuhan mencapai puncaknya dalam dua minggu kekerasan yang bertepatan dengan hari jadi Timor Leste, yang dipicu oleh hinaan rasis.

Video-video tentang Indonesia yang mengerahkan helikopter dan memburu suku setempat (yang bersenjatakan busur dan anak panah) dan meledakkan mereka dengan granat berpeluncur roket, tersebar secara online.

“Apa yang terjadi di sini sekarang terjadi di sana,” kata seorang pejabat Timor Leste, yang menolak menyebutkan namanya, dari balkon Esplanade di tepi sungai Dili yang sekarang damai.

Dan apa yang terjadi di sini dua dekade lalu adalah pemerkosaan, penyiksaan, dan pembunuhan. Orang-orang disembelih dengan parang secara massal, dan PBB tidak berbuat banyak setelah mengirim sekelompok pengamat yang tidak bersenjata, yang tidak siap untuk berurusan dengan akibat dan pembalasan yang diperkirakan.

Dibantai oleh milisi

Salah satunya adalah pengamat PBB Zelda Grimshaw. Dia telah mengawasi angkutan umum dan jalan-jalan di sekitar Dili, yang kosong dengan cepat begitu hasil pemungutan suara diketahui. Milisi pro-Jakarta—yang geram oleh keberhasilan gerakan kemerdekaan—telah memulai pembantaian.

“Masih ada banyak kesedihan di sana tentang apa yang terjadi, dan kemarahan terhadap PBB karena mereka berjanji untuk tetap tinggal,” kata Grimshaw.

Semua orang tahu, kemerdekaan akan menang dan PBB tahu akan ada pembalasan, tetapi mereka tidak memiliki rencana darurat,” sambungnya.

Sebaliknya, para pengamat pemilu PBB dievakuasi ke Darwin, sementara PBB dan negara-negara seperti Australia mengumpulkan pasukan penjaga perdamaian yang kembali pada 20 September dan memulihkan ketertiban.

Baca juga: 20 Tahun Masa Kemerdekaan, Timor-Leste Bangkit dari Kehancuran

“Pada saat pasukan penjaga perdamaian tiba, milisi pro-Indonesia telah mendapatkan apa yang mereka inginkan: deportasi massal dan kebijakan pembumihangusan,” tambah Grimshaw.

Ada daftar 400 orang—yang disusun oleh satu lembaga penegak hukum Barat—yang seharusnya dituntut atas kejahatan terhadap kemanusiaan di Den Haag. Tidak ada yang terjadi dan banyak orang dalam daftar itu telah dipindahtugaskan ke Papua.

Ekonomi kepatuhan

Timor Leste melakukan yang terbaik untuk menyenangkan mantan tuannya di Jakarta. Itu karena Timor Leste masih sangat miskin. Secara umum, orang-orang di sini jauh lebih bahagia daripada mereka lima, 10, atau 15 tahun yang lalu. Tetapi dibandingkan dengan negara-negara yang memiliki sejarah yang sama baru-baru ini—seperti Kamboja—Timor-Leste belum maju dalam urusan ekonomi.

Korupsi sering disalahkan pada kelompok-kelompok pro-Indonesia yang tidak pergi setelah 1999 dan pada orang-orang Timor yang melarikan diri tetapi kemudian kembali dari diaspora di Mozambik.

Kelompok-kelompok pimpinan pahlawan kemerdekaan seperti Xanana Gusmao—yang dipilih untuk menjabat setelah perang mereka dimenangkan—terkenal karena taktik gerilya dan keberanian mereka di hutan pegunungan terdekat, tetapi masalah ekonomi, bisnis, dan keuangan kota yang kurang lancar, bukan keahlian terkuat mereka.

Ini masalah yang diperburuk oleh isolasi. Kamboja telah berbagi perbatasan dengan ekonomi yang relatif berkembang di Thailand dan Vietnam, memiliki keanggotaan ASEAN dan perdagangan bebas di seluruh wilayah tersebut, dan posisi strategis yang telah menarik China dengan pengeluaran besar.

Timor-Leste tidak memiliki itu semua, yang menambah ketergantungannya pada Indonesia dan mengkompromikan hak-hak kedaulatannya atas apa yang dapat dan tidak dapat mereka katakan.

Itu termasuk kerusuhan Papua di mana, pada saat upacara dilakukan, mungkin delapan orang, termasuk seorang tentara Indonesia, tewas dan 28 lainnya ditangkap di Jayapura, di mana dua minggu protes hanya menggarisbawahi konflik yang sedang berlangsung di hutan terpencil itu.

Putaran perayaan berikutnya di Timor-Leste dijadwalkan pada tanggal 20 September, yang menandai 20 tahun sejak kavaleri tiba—pasukan internasional yang dipimpin oleh Australia dengan izin untuk menembak terlebih dahulu dan menyelamatkan orang-orang yang percaya pada PBB dan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri.

Ini adalah skenario yang tidak mungkin dinikmati oleh orang Papua. Mengenakan kemeja bertuliskan bendera Bintang Kejora—simbol kebangsaan Papua—bisa membuat seseorang ditangkap.

Mengingat pengalaman Timor Leste, upayanya untuk menutup isu sensitif Papua adalah hal yang sangat memalukan, terutama ketika mengingat keberanian orang-orang yang merenggang nyawa ketika memberikan suara yang akan memberikan kemerdekaan Timor Leste.

Kurangnya sensitivitas moral ini telah memberi kesan tersendiri tentang apa yang seharusnya menjadi perayaan kebangsaan Timor Timur.

Baca juga: Tren Migrasi Timor-Leste: Menguntungkan atau Menghambat Pembangunan?

Tragedi yang lebih besar adalah bahwa tidak akan ada kavaleri untuk orang Papua; tidak ada pemungutan suara untuk penentuan nasib sendiri, atau pasukan penjaga perdamaian PBB, hanya konflik sipil yang panjang dan jahat tanpa akhir yang terlihat. Orang akan berharap para pejabat di Dili akan mengingat itu, ketika perayaan berikutnya berlangsung.

 

Penerjemah: Aziza Larasati

Editor: Purnama Ayu Rizky

Keterangan foto utama: Presiden RI Joko Widodo dan Presiden Republik Demokratik Timor Leste, Francisco Guterres Lú Olo di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat. (Merdeka.com/Titin Suprihatin)

20 Tahun Merdeka, Timor Leste Tetap Tunduk pada Indonesia

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top