Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe meninjau tentara Pasukan Pertahanan di Asaka pada 14 Oktober 2018. Pasukan militer Jepang kini merambah ke wilayah baru. (Foto: AFP/Kazuhiro Nogi)
Kebangkitan militer Jepang telah terjadi diam-diam, tetapi dengan kuat dan semakin terkonsentrasi pada ancaman yang dirasakan dari China.
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengatakan pada April 2020, pandemi COVID-19 adalah krisis nasional terbesar sejak Perang Dunia II. Saat itu, banyak yang secara luas mengabaikan fakta bahwa hanya beberapa minggu sebelumnya, pemerintahan Abe meloloskan anggaran pertahanan terbesar negara itu sejak akhir Perang Dunia II.
Japanese Diet atau parlemen Jepang menyetujui anggaran pertahanan sebesar US$46,3 miliar pada 27 Maret, yang dipenuhi dengan alokasi untuk rudal anti-kapal hipersonik baru dan peningkatan kapal induk yang akan memungkinkan untuk membawa pesawat tempur siluman Lockheed Martin F-35B.
Pengeluaran terkait pertahanan di Jepang secara tradisional bertujuan terutama untuk melindungi diri dari ancaman nuklir negara tetangganya Korea Utara. Namun, peningkatan pengeluaran baru jelas lebih mengarah pada ekspansionisme dan sikap asertif China, menurut orang dalam militer Jepang.
“China, bukan Korea Utara, yang menjadi kekhawatiran utama,” tutur pejabat anonim Jepang.
Seiring Amerika Serikat meningkatkan ancaman yang diilhami pandemi COVID-19 terhadap China dan terjadi peningkatan kekhawatiran kemungkinan konflik bersenjata, banyak analis strategis berspekulasi, keseimbangan strategis Asia-Pasifik mungkin telah bergeser dengan menguntungkan China karena kekuatan dan kemampuan militernya yang meningkat dengan cepat.
Namun, perhitungan itu seringkali mengabaikan kemajuan militer Jepang yang terjadi secara diam-diam dan dukungan yang dapat diberikannya kepada AS dalam skenario potensi konflik. Dukungan itu termasuk melalui sistem senjata baru yang dirancang khusus untuk melawan aset militer era baru China, termasuk kapal induk.
Bukti pertamanya adalah rudal anti-kapal hipersonik baru Jepang, yang secara khusus dirancang untuk menimbulkan ancaman bagi kapal induk China di Laut China Timur dan Selatan. Rudal tersebut, yang dianggap memenuhi syarat sebagai “pengubah permainan” oleh jajaran pejabat tinggi pertahanan Jepang, dapat meluncur dengan kecepatan tinggi dan mengikuti pola yang kompleks, sehingga sulit untuk dicegat dengan perisai anti-rudal yang telah ada.
Ketika rudal itu akhirnya mulai digunakan, Jepang akan menjadi negara keempat di dunia setelah Amerika Serikat, Rusia, dan China yang dipersenjatai dengan teknologi senjata luncur hipersonik.
Pengeluaran baru militer Jepang juga akan digunakan untuk mengerahkan kapal induk pertama Jepang sejak Perang Dunia II serta meningkatkan keamanan ruang angkasa, termasuk melalui penelitian untuk menggunakan gelombang elektronik untuk mengganggu “sistem komunikasi musuh”, yang kemungkinan merujuk pada China.
Kapasitas angkatan laut Jepang yang diperkuat akan memungkinkannya untuk memantau dari pulau-pulau utama dan terluarnya, bahkan melarang pasukan angkatan laut China untuk keluar dari Laut Kuning ke Samudera Pasifik dalam skenario potensi konflik.
Pada April 2018, Jepang meresmikan unit laut pertamanya sejak Perang Dunia II. Melayani di bawah Brigade Pengerahan Cepat Amfibi militer, ia siap beraksi di mana saja di wilayah maritim langsung. Beberapa pengamat percaya, Angkatan Laut Jepang sekarang memiliki kemampuan dan mungkin lebih unggul dari kekuatan mana pun di Pasifik, termasuk China.
Sementara itu, lebih banyak pengeluaran pertahanan berorientasi China sedang dalam perjalanan. Perkiraan Kementerian Pertahanan Jepang menunjukkan anggaran pertahanan akan meningkat menjadi US$48,4 miliar di tahun fiskal 2021 dan naik menjadi US$56,7 miliar pada 2024.
Hal itu akan tampak bertentangan dengan konstitusi damai Jepang pada 1947, yang dikenakan oleh Amerika Serikat setelah kekalahannya dalam Perang Dunia II untuk mencegah terulangnya invasi di seluruh kawasan.
Anggota Pasukan Bela Diri Darat Jepang ikut serta dalam sesi latihan tahunan di dekat Gunung Fuji di lapangan pelatihan Higashifuji di Gotemba, Jepang, tanggal 23 Agustus 2018. (Foto: Reuters/Kim Kyung-Hoon)
Anggaran pertahanan Jepang masih dipertahankan pada 1 persen dari produk domestik bruto (PDB), aturan yang diberlakukan pada akhir 1950-an untuk mencegah Jepang menjadi negara adikuasa militer. Saat itu merupakan era ketika ingatan akan kekejaman perang negara itu masih segar.
Namun, dengan kebangkitan kuat China baru-baru ini sebagai kekuatan militer, menurut analisis Bertil Lintner dari Asia Times, batas anggaran itu terlihat semakin ketinggalan zaman dan dapat segera dicabut jika tokoh agresif pertahanan di Jepang mewujudkan peningkatan anggaran tersebut.
Secara hukum, Pasukan Bela Diri Jepang (SDF) masih tidak diizinkan untuk mempertahankan angkatan bersenjata dengan potensi perang. Namun, sejak dibentuk pada 1954, SDF diam-diam tumbuh menjadi salah satu militer paling kuat di dunia.
Jepang sekarang memiliki anggaran militer terbesar kedelapan di dunia, hanya tertinggal dari Amerika Serikat, China, India, Rusia, Arab Saudi, Prancis, Jerman, dan Inggris, menurut wadah pemikir Stockholm International Peace Research Institute.
SDF kini memiliki hampir 250.000 personel aktif, serta dilengkapi dengan persenjataan dan teknologi terbaru yang diperoleh terutama dari Amerika Serikat. Persenjataan itu termasuk berbagai macam rudal, pesawat tempur, dan helikopter, serta beberapa kapal selam diesel listrik paling canggih di dunia dan tank tempur buatan sendiri.
Jepang juga memiliki pangkalan angkatan laut permanen di Djibouti di Tanduk Afrika, di mana Amerika Serikat dan China juga menempatkan pangkalan militer.
Jepang mendapat tekanan dari Presiden AS Donald Trump untuk meningkatkan anggarannya dan memikul lebih banyak tanggung jawab finansial atas perlindungan pertahanan yang disediakan AS di pangkalan-pangkalan yang berlokasi di Jepang. Desakan itu telah memicu pertikaian antara kedua sekutu.
Pada April 2019, Menteri Pertahanan jepang Takeshi Iwaya menyatakan negara itu telah membelanjakan 1,3 persen dari PDB untuk pertahanan, ketika operasi pemeliharaan perdamaian, penjaga pantai, dan biaya keamanan lainnya turut dihitung.
Jepang telah meningkatkan pengeluaran pertahanan setiap tahun di bawah Abe. Selain itu, Pasal 9 konstitusi Jepang yang melarang perang sebagai cara untuk menyelesaikan perselisihan internasional, telah ditafsirkan kembali pada 2014 untuk memungkinkan SDF membela sekutu-sekutunya, termasuk AS, jika mereka terseret dalam perang.
Ketentuan itu telah memungkinkan Jepang untuk berpartisipasi di masa depan secara lebih aktif dalam operasi militer di luar perbatasannya sendiri. Tren itu sebenarnya dimulai pada awal 1990-an melalui partisipasi SDF dalam intervensi PBB untuk membangun perdamaian di Kamboja yang dilanda perang.
Meskipun misi SDF disebut “non-tempur”, itu adalah pertama kalinya sejak Perang Dunia II pasukan Jepang terlihat di luar negeri. Pengerahan itu diikuti dengan partisipasi dalam berbagai operasi penjaga perdamaian PBB lainnya di Afrika dan Timor Timur. Pada 2004, Jepang mengirim pasukan ke Irak untuk membantu rekonstruksi negara itu yang dipimpin Amerika Serikat.
Pengerahan itu kontroversial bahkan di dalam negeri di Jepang, karena ini adalah pertama kalinya Jepang sejak Perang Dunia II mengirim pasukan ke luar negeri kecuali untuk partisipasi dalam misi penjaga perdamaian PBB.
Namun, Jepang sejak saat itu semakin mengoordinasikan kebijakan pertahanannya dengan Amerika Serikat dan India, dua negara yang sama-sama khawatir tentang pengaruh China yang terus meningkat di kawasan Indo-Pasifik.
Partisipasi Jepang dalam Latihan Malabar telah menunjukkan kecakapan lautnya jauh dari dalam negeri dan mengirim pesan ancaman militer ke China. Latihan angkatan laut tripartit tahunan itu melibatkan kemitraan dengan AS dan India sejak 2015. Hal itu secara signifikan terjadi pada saat China memperluas jangkauan angkatan lautnya lebih dalam ke Samudra Hindia.
Masih belum jelas apakah Latihan Malabar akan dilakukan tahun ini karena krisis COVID-19. Namun, hubungan pertahanan Jepang dengan India semakin meningkat sejak Narendra Modi menjadi perdana menteri pada 2014.
Duta Besar Jepang untuk India Kenji Hiramatsu, berbicara kepada media setelah kunjungan ke Jepang oleh Menteri Pertahanan India Rajnath Singh pada September 2019, jelas optimis tentang kemitraan tersebut.
Hiramatsu menyatakan kunjungan tersebut “sangat penting untuk membandingkan catatan tentang berbagai aspek kerja sama pertahanan India-Jepang, termasuk beberapa latihan bersama dan kerja sama peralatan pertahanan. Kami sangat bersemangat untuk berdiskusi tentang pembukaan Pasifik juga. Kami berada di halaman yang sama pada beragam aspek urusan internasional.”
Kerja sama itu tidak hanya melibatkan Latihan Malabar, tetapi juga manuver darat. Pada Oktober dan November 2019, latihan bersama yang disebut “Dharma Guardian-2019” antara India dan Jepang dilakukan di Insurgency and Jungle Warfare School di Vairangte di negara bagian Mizoram, India timur laut.
Menurut pernyataan resmi India pada saat itu, tujuan latihan itu adalah untuk melakukan “pelatihan pasukan bersama dalam operasi kontra-pemberontakan dan kontra-terorisme di medan pegunungan”.
Tidak dijelaskan mengapa Jepang akan tertarik pada operasi kontra-pemberontakan di India, tetapi pernyataan itu juga mengatakan, “Latihan Dharma Guardian-2019 akan semakin memperkuat hubungan strategis lama antara India dan Jepang.”
India Timur Laut adalah wilayah yang bergejolak, di mana perbatasan dengan China masih dalam perselisihan.
China dengan cepat merespons apa yang dianggapnya sebagai poros anti-China yang dipimpin oleh Amerika Serikat di kawasan tersebut. China memiliki dua kapal induk siap tempur, Liaoning dan Shandong, sementara yang ketiga sedang dibangun. Menurut International Institute for Strategic Studies yang berbasis di AS, China berencana untuk memiliki lima atau enam kapal induk pada 2030.
Pemimpin redaksi Global Times Hu Xijin (surat kabar berbahasa Inggris di bawah corong Partai Komunis China People’s Daily) menulis dalam editorial pada Jumat (8/5) bahwa China perlu memperluas persediaan hulu ledak nuklirnya dari 260 saat ini menjadi 1.000.
“Beberapa orang mungkin menyebut saya menyulut perang,” tulis Hu, “tetapi mereka seharusnya memberikan label ini kepada para politisi AS yang secara terbuka memusuhi China. Hal ini terutama benar karena kita menghadapi Amerika yang semakin tidak rasional.”
Rasional atau tidak, Amerika Serikat telah meningkatkan serangan verbal terhadap China selama krisis COVID-19. Trump bahkan mengatakan virus corona baru, yang berasal dari China dan hingga Minggu (10/5) telah menewaskan 279.345 korban jiwa secara global dan 78.794 di Amerika Serikat, adalah “serangan terburuk” di negaranya.
Menurut Trump, wabah kali ini bahkan lebih parah daripada pengeboman Jepang di Pearl Harbor selama Perang Dunia II dan serangan teroris 11 September 2001.
Abe, di sisi lain, telah menahan diri untuk tidak secara terbuka menyalahkan China atas krisis virus. Pemerintah Jepang bahkan menyumbangkan pasokan medis ke China ketika negara itu kehabisan masker, sarung tangan, dan alat pelindung diri lainnya. Ketika kapal pesiar Diamond Princess dikarantina di Yokohama, China mengirim alat uji corona ke Jepang, sementara miliarder China Jack Ma menyumbangkan sejuta masker.
Namun, Bertil Lintner dari Asia Times menyimpulkan, itikad baik seperti itu tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa garis pertempuran baru sedang ditarik dengan cepat di Indo-Pasifik, dan Jepang akan memainkan peran yang semakin penting dalam kontes geo-strategis pasca-pandemi COVID-19 di kawasan tersebut. Hal itu terlepas dari apakah Amerika Serikat menjadi lebih atau kurang berkomitmen pada keamanan kawasan.
Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari
Editor: Aziza Larasati
Keterangan foto utama: Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe meninjau tentara Pasukan Pertahanan di Asaka pada 14 Oktober 2018. Pasukan militer Jepang kini merambah ke wilayah baru. (Foto: AFP/Kazuhiro Nogi)