Mimpi Buruk India, Krisis COVID-19 Terparah di Dunia Saat Ini
Sejumlah kerabat mengenakan alat pelindung diri (APD) saat menghadiri prosesi pembakaran jenazah seorang pria yang meninggal akibat COVID-19, di sebuah krematorium di New Delhi, India, 21 April 2021. (Foto: Reuters/Adnan Abidi)
Berita Internasional > Mimpi Buruk India, Krisis COVID-19 Terparah di Dunia Saat Ini
Seiring India menderita krisis COVID-19 terparah di dunia, kepala biro New Delhi The New York Times Jeffrey Gettleman menggambarkan ketakutan hidup di tengah penyakit yang menyebar dengan skala dan kecepatan yang luar biasa.
Krematorium penuh dengan mayat, seolah-olah perang baru saja terjadi. Api menyala sepanjang waktu. Banyak tempat mengadakan kremasi massal, puluhan sekaligus, dan pada malam hari, di daerah tertentu di New Delhi, langit bersinar.
Puluhan rumah di lingkungan Jeffrey Gettleman ada orang yang sakit.
Salah satu rekannya sakit.
Salah satu guru putranya sakit.
Tetangga dua pintu di bawah, di sebelah kanan mereka: sakit.
Dua pintu ke kiri: sakit.
“Saya tidak tahu bagaimana saya tertular,” ujar seorang teman baik Jeffrey Gettleman yang sekarang di rumah sakit. “Anda hanya mencium bau ini…” dan kemudian suaranya menghilang, terlalu sakit untuk menyelesaikannya.
Dia hampir tidak mendapat tempat tidur. Obat yang menurut dokternya dia butuhkan tidak ditemukan di mana pun di India.
Jeffrey Gettleman duduk di apartemennya, tinggal menunggu waktu untuk tertular. Seperti itulah rasanya saat ini di New Delhi dengan krisis virus corona terparah di dunia, yang terus meningkat.
India sekarang mencatat lebih banyak infeksi per hari (sebanyak 350.000) dibandingkan negara lain mana pun sejak pandemi dimulai, dan itu hanya angka resmi, yang menurut sebagian besar ahli sangat dikecilkan.
Corona di India meroket, rumah sakit ambruk, krematorium menerima pembakaran jenazah hingga 70 kali tiap harinya. (Foto: Liputan6)
New Delhi (ibu kota India yang berpenduduk 20 juta jiwa) sedang mengalami gelombang bencana. Beberapa hari yang lalu, tingkat kepositifan mencapai 36 persen, yang berarti lebih dari satu dari tiga orang yang dites terinfeksi. Sebulan lalu, kurang dari 3 persen.
Infeksi telah menyebar begitu cepat sehingga rumah sakit benar-benar kebanjiran. Ribuan orang ditolak. Obat sudah habis. Begitu juga dengan oksigen yang bisa menyelamatkan nyawa. Orang sakit dibiarkan terlantar dalam antrean yang tak berkesudahan di gerbang rumah sakit atau di rumah, secara harfiah terengah-engah.
Meski New Delhi ditutup, penyakitnya masih merajalela. Dokter di seluruh kota ini dan beberapa politisi ternama Delhi mengeluarkan panggilan SOS yang putus asa kepada Perdana Menteri India Narendra Modi, di media sosial dan TV, memohon oksigen, obat-obatan, bantuan.
Para ahli selalu memperingatkan, COVID-19 dapat mendatangkan malapetaka nyata di India. Negara ini sangat besar, 1,4 miliar orang. Berpenduduk padat. Di banyak tempat, sangat miskin.
Apa yang kita saksikan sangat berbeda dari tahun lalu, selama gelombang pertama India. Kemudian, itu adalah ketakutan akan hal yang tidak diketahui. Sekarang kita tahu. Kita tahu totalitas penyakitnya, skalanya, kecepatannya. Kita tahu kekuatan mengerikan dari gelombang kedua ini, menghantam semua orang pada saat yang bersamaan.
Apa yang kita takuti selama gelombang pertama tahun lalu, dan yang tidak pernah benar-benar terwujud, kini terjadi di depan mata: kehancuran, kesadaran bahwa begitu banyak orang akan mati.
Sebagai koresponden asing selama hampir 20 tahun, Jeffrey Gettleman telah meliput zona pertempuran, diculik di Irak, dan dijebloskan ke penjara di lebih dari beberapa tempat.
Ini mengganggu dengan cara yang berbeda. Tidak ada cara untuk mengetahui apakah kedua anaknya, istrinya, atau ia sendiri akan termasuk di antara mereka yang terkena kasus ringan dan kemudian pulih kembali ke kesehatan yang baik, atau apakah mereka akan benar-benar sakit. Jika mereka benar-benar sakit, ke mana mereka akan pergi? ICU penuh. Gerbang ke banyak rumah sakit telah ditutup.
Varian baru yang dikenal sebagai “mutan ganda” mungkin menyebabkan banyak kerusakan. Ilmu pengetahuan masih awal tetapi dari apa yang kita ketahui, varian ini mengandung satu mutasi yang dapat membuat virus lebih menular, dan mutasi lainnya yang mungkin membuatnya kebal sebagian terhadap vaksin. Dokter sangat takut. Beberapa orang yang telah Jeffrey Gettleman ajak bicara mengatakan, mereka telah divaksinasi dua kali dan masih sakit parah, pertanda yang sangat buruk.
Jadi apa yang bisa dilakukan?
Jeffrey Gettleman mencoba untuk tetap positif, percaya itu adalah salah satu pendorong kekebalan terbaik, tetapi ia mendapati dirinya terbawa arus melalui kamar-kamar apartemen mereka, dengan lesu membuka kaleng makanan dan membuat makanan untuk anak-anaknya.
Jeffrey Gettleman takut untuk memeriksa ponsel dan mendapatkan pesan lain tentang seorang teman yang memburuk. Atau lebih buruk. Ia yakin jutaan orang pernah merasakan hal ini, tetapi ia mulai membayangkan gejalanya: Apakah tenggorokannya sakit? Bagaimana dengan riwayat sakit kepala? Apakah hari ini lebih buruk?
Bagian kota Jeffrey Gettleman, Delhi Selatan, sekarang sunyi. Seperti banyak tempat lain, mereka melakukan penguncian yang ketat tahun lalu. Tapi sekarang para dokter di sini memperingatkan bahwa virus itu lebih menular, dan kemungkinan mendapatkan pertolongan jauh lebih sulit daripada saat gelombang pertama. Begitu banyak yang takut untuk keluar, seperti ada gas beracun di mana orang-orang takut untuk bernapas.
Betapapun sulit dan berbahayanya rasanya di Delhi, itu mungkin akan menjadi lebih buruk. Ahli epidemiologi mengatakan jumlahnya akan terus meningkat, menjadi 500.000 kasus yang dilaporkan setiap hari secara nasional, dan sebanyak satu juta orang India meninggal akibat COVID-19 pada Agustus.
Tidak harus seperti ini.
India baik-baik saja sampai beberapa minggu yang lalu, setidaknya di permukaan. India mempertahankan tingkat kematian yang rendah (setidaknya menurut statistik resmi). Menjelang musim dingin, kehidupan dalam banyak hal telah kembali ke keadaan yang mendekati normal.
Modi tetap populer di antara basisnya, tetapi lebih banyak orang menyalahkan dia karena gagal mempersiapkan India untuk gelombang ini, dan karena mengadakan kampanye politik dalam beberapa pekan terakhir di mana sedikit tindakan pencegahan diberlakuka.
“Norma-norma jarak sosial telah gagal total,” ujar seorang penyiar Delhi tempo hari, selama siaran salah satu aksi unjuk rasa Modi.
Banyak orang di India juga kecewa dengan kecepatan kampanye vaksinasi, di mana kurang dari 10 persen penduduk yang menerima satu dosis, dan hanya 1,6 persen yang divaksinasi penuh, meskipun dua vaksin telah diproduksi di sana.
Di India, seperti di tempat lain, orang kaya bisa mengatasi banyak krisis. Tapi kali ini berbeda. Pengaruh dan uang sebanyak apa pun tidak bisa membawa orang kaya ke rumah sakit. Ada terlalu banyak orang sakit lainnya, catat Jeffrey Gettleman.
Penerjemah dan editor: Aziza Larasati
Keterangan foto utama: Sejumlah kerabat mengenakan alat pelindung diri (APD) saat menghadiri prosesi pembakaran jenazah seorang pria yang meninggal akibat COVID-19, di sebuah krematorium di New Delhi, India, 21 April 2021. (Foto: Reuters/Adnan Abidi)
Mimpi Buruk India, Krisis COVID-19 Terparah di Dunia Saat Ini