
Konflik berdarah antara militer Indonesia dan Papua tak benar-benar berakhir. Yang teranyar, kontak senjata antara pasukan Brimob versus Kelompok Kriminal Bersenjata (KBB) Papua terjadi pada malam pergantian tahun, Rabu (1/1) sekitar pukul 00.10 WIT.Pasukan Brimob yang menurut Tribun, merupakan perbantuan dari Nusa Tenggara Timur (NTT) terlibat baku tembak dengan KBB dari kelompok Kali Kopi.
Kendati tak ada laporan korban, peristiwa yang terjadi di Kampung Banti, Distrik Tembagapura, Mimika, Papua ini menambah daftar panjang kekerasan dengan senjata di Bumi Cenderawasih.Sebelumnya, penembakan seorang warga sipil Papua Hendrik Lokbere juga terjadi di Nduga. Korban yang merupakan sopir sekaligus ajudan dari Wakil Bupati Nduga Wentius Nemiangge, tertembak saat melintas di Kampung Yosema, Distrik Kenyam, Nduga, Papua pada 20 Desember 2019.
Meninggalnya Hendrik itu tak hanya membuat keluarga terpukul, tapi juga menjadi penyebab mundurnya Wakil Bupati Nduga. Melansir Kompas, pemimpin daerah yang mengaku telah merasakan kekecewaan bertubi-tubi pada pemerintah Indonesia, spontan melepaskan seragam wakil bupati yang dikenakannya, lalu ditaruh di samping jenazah korban.
“Saya kecewa terus, lebih baik saya (jadi) masyarakat biasa dari pada saya pusing terus,” sebut Wentius.
Alasan Wentius relatif masuk akal, mengingat selama konflik berdarah 2019 di Nduga, Papua, sebanyak 37.000 orang telah mengungsi, dan 241 tewas terbunuh. Kekerasan yang meningkat tajam ini terjadi usai Jokowi mengirim lebih banyak pasukan ke Papua. Tepatnya, setelah kekerasan bersenjata oleh TPNPB/OPM pimpinan Ekianus Kogoya menewaskan 16 pekerja PT Istaka Karya pada 2 Desember 2018.
Mengutip Tirto, operasi aparat gabungan TNI/Polri tanpa batas waktu itu berujung nestapa tak berkesudahan. Statistik yang dirilis Tim Kemanusiaan Kabupaten Nduga di atas baru yang terbaca secara kasat mata, belum termasuk trauma psikis dan “luka lebam” lainnya.
Sayangnya, meski korban terus berjatuhan, pemerintah Indonesia tetap kukuh mempertahankan pasukan militer di Papua. Bahkan, elit militer Hendropriyono baru-baru ini justru mengeluarkan pernyataan yang nirsensitif: menyebut kelompok OPM adalah teroris internasional, alih-alih Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Apa yang diinginkan orang Papua?

Human Rights Watch mengatakan telah menerima laporan pelanggaran oleh pasukan keamanan Indonesia di Papua Barat. (Foto: Antara/Sevianto Pakiding via Reuters)
Amsal Sama, tokoh pemuda dan pengamat hukum mengkritik keras pernyataan Hendropriyono soal OPM. Kepada Suara Papua, Senin (30/12), ia menjelaskan, pernyataan itu hanya cara mencuri panggung.
“Pernyataan kontroversi Hendropriyono ini hanya mencari popularitas,” tegasnya.
Selain dianggap mengada-ada, pernyataan Hendropriyono juga ia nilai tak sensitif. Menurutnya, dalam dua tahun terakhir, berbagai pasukan tempur yang terlatih diturunkan, namun tidak ada tanda pemulihan. Sebaliknya, gangguan keamanan justru semakin meningkat.
“Konflik mengakibatkan banyak warga masyarakat Nduga telah mengungsi ke kabupaten-kabupaten terdekat, ada yang meninggal dunia karena sakit, ditembak aparat dalam upaya penegakkan hukum terhadap Egianus Kogoya,” tutur Amsal.
Ini menilai, jika pemerintah terus mengambil langkah pendekatan militeristik dan represif dalam upaya penegakan hukum terhadap kelompok Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TNPPB) alias OPM, sedang kedua pihak ngotot mempertahankan prinsip sendiri, maka yang akan jadi korban adalah warga sipil.
“Aparat keamanan (mestinya) bersama Pemerintah Daerah dan Pusat membuat kesepakatan bersama dan menarik semua pasukan keamanan dari kabupaten Nduga. Lalu menormalkan aktivitas masyarakat seperti biasa. Tokoh agama dan pemerintah komunikasi yang intens dan harus perlu ada dialog dengan Egianus Kogeya,” sarannya, dikutip dari sumber serupa.
Ia juga mengkritik perspektif orang Jakarta yang menyederhanakan masalah Papua sebagai gangguan terorisme saja dan ketimpangan ekonomi serta sosial saja. Padahal, katanya, akar masalah Papua adalah kasus pelanggaran HAM yang telah diidentifikasi oleh LIPI dalam Updating Papua Road Map (2016), yakni sejarah integrasi Papua ke NKRI dan idèntitas politik orang Papua; kekerasan politik dan pelanggaran HAM; gagalnya pembangunan di Papua serta konsistensi antara kebijakan dan implementasi Otsus; terakhir marjinalisasi orang Papua dan efek diskriminalisasi Orang Asli Papua (OAP).
Solusi

Para pengunjuk rasa di Provinsi Papua, Indonesia membakar rumah-rumah dan bangunan-bangunan lain hari Senin, 23 September 2019 dalam sebuah protes yang dipicu oleh desas-desus bahwa seorang guru telah melontarkan hinaan rasial kepada para siswa. (Foto: AP/STR)
Memang bukan solusi tunggal, tapi setidaknya pemerintah bisa memulai dengan dialog yang adil, alih-alih terus mempertahankan bercokolnya militer di sana. Mengutip editorial TEMPO, pengerahan tentara dan polisi dalam satu tahun terakhir terbukti tidak efektif. Pasalnya, kelompok-kelompok bersenjata tetap tak kunjung padam, sedangkan jumlah korban sipil kian meningkat.
Kasus kematian Hendrik Lokbere dan ratusan warga lainnya menjadi preseden bahwa penempatan militer di Papua bukanlah solusi, seperti yang digadang-gadang Jokowi. Apalagi, jika pemerintah masih saja menggunakan alasan sama, melindungi warga usai terjadi penyerangan pekerja dari PT Istaka Karya.
Sejumlah pelaku dari insiden tersebut telah ditangkap dan sedang diproses secara hukum. Namun, situasi keamanan di Kabupaten Nduga masih belum tenang. Bukan hanya Nduga, ujar TEMPO, kabupaten-kabupaten lain, seperti Intan Jaya pun mengalami gangguan. Pada pertengahan Desember, dua tentara dari Tentara Nasional di Distrik Hitadipa meninggal karena serangan oleh kelompok bersenjata. Dua bulan sebelumnya, tiga pengemudi ojek juga tewas karena tembakan oleh kelompok yang sama.
Menurut media yang pernah dibredel Soeharto ini, para pejabat dari pemerintah pusat seharusnya tidak memperburuk situasi dengan membuat pernyataan sewenang-wenang yang dapat menyebabkan lebih banyak kesulitan bagi masyarakat Papua. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md., Misalnya, menyatakan bahwa pendekatan keamanan menjadi semakin penting untuk mengurangi gerakan separatis di Papua. Sementara Hendropriyono menyakiti hati warga dan menyulut kembali dendam kelompok bersenjata Papua, dengan menyebut OPM kelompok terorisme internasional.
Oleh sebab itu, pemerintah harus mengubah strategi untuk menuntaskan problem di Papua. Ini bisa dimulai dengan menyelesaikan beberapa masalah inti yang selama ini dinafikan, termasuk pelanggaran hak asasi manusia, diskriminasi, dan rasisme. Amnesty International Indonesia mencatat, 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh pasukan keamanan di Papua antara 2010-2018, dengan 95 korban. Dari para korban ini, 85 adalah orang asli Papua.
Tanpa upaya untuk menutup kasus-kasus dari masa lalu dan untuk memahami keinginan rakyat Papua, pemerintah akan terus mengulangi kesalahan yang sama. Sehingga, pemerintah perlu bertindak konrket untuk membuka ruang dialog dengan kelompok akar rumput, bukan kalangan perwakilan elit. Seperti orang pacaran saat bertengkar, mereka bisa memulai dengan pertanyaan sederhana, “Apa sih yang kamu mau, Papua?”
Penulis dan editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Seorang pelajar Papua dengan wajah bergambar menghadiri protes di Jakarta, Indonesia, 22 Agustus 2019. (Foto: AFP Forum via NurPhoto/Andrew Gal)
