Indonesia Tetapkan Putri Sultan dapat Menjadi Penerus Sultan Yogyakarta
Berita Politik Indonesia Hari Ini

Monarki Terakhir Indonesia: Kontroversi Sultan Perempuan Yogyakarta

GKR Mangkubumi adalah anak perempuan pertama Sultan Hamengku Buwono X dari Yogyakarta dan Permaisuri Ratu, GKR Hemas. Pada tanggal 5 Mei 2015 dia diproklamirkan sebagai Putri Mahkota oleh ayahnya. (Foto: Youtube)
Berita Internasional > Monarki Terakhir Indonesia: Kontroversi Sultan Perempuan Yogyakarta

Kesultanan Yogyakarta tengah diliputi kontroversi atas kemungkinan penerus sultan perempuan yang juga akan menjadi Gubernur Yogyakarta selanjutnya. Pada 30 April 2015, sultan memutuskan bahwa gelar kerajaan akan diubah agar netral gender. Lima hari kemudian, sultan, yang memiliki lima anak perempuan dan tidak memiliki anak laki-laki, memberikan putri sulungnya, Pembayun, gelar baru―”Mangkabumi”―yang secara tradisional diberikan untuk para pangeran laki-laki yang dipersiapkan untuk takhta. Walaupun beberapa orang memuji keputusan tersebut sebagai progresif, namun keputusan sultan tidak disetujui oleh mereka yang merasa bahwa seorang wanita tidak boleh naik takhta.

Oleh: Nivell Rayda (Channel NewsAsia)

Tanpa peringatan, Gunung Merapi di Yogyakarta memuntahkan awan yang menjulang tinggi hingga 3 kilometer ke udara pada 14 Oktober, setelah berbulan-bulan gunung berapi tersebut menunjukkan aktivitas yang relatif rendah.

Letusan itu didahului oleh serangkaian letusan kecil yang dimulai tahun lalu dan dua gempa berkekuatan 5,8 dan 5,1 pada bulan Agustus di wilayah pantai selatan gunung berapi tersebut.

Baca Juga: Indonesia Ingin Percepat Kesepakatan Perdagangan dengan UE dan AS

Meskipun Gunung Merapi telah meletus sejak abad ke-16, dengan letusan besar terjadi setiap empat hingga 10 tahun, banyak orang di provinsi Yogyakarta―terjepit di antara gunung berapi dan Samudra Hindia yang rawan gempa―menganggapnya sebagai tanda terbaru bahwa arwah-arwah marah.

Penyebab kemarahan ini, beberapa penduduk setempat percaya, adalah serangkaian keputusan yang dibuat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang merupakan gubernur provinsi dan penguasa Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Pada 30 April 2015, sultan memutuskan bahwa gelar kerajaannya sendiri akan diubah agar netral gender.

Lima hari kemudian, sultan, yang memiliki lima anak perempuan dan tidak memiliki anak laki-laki, memberikan putri sulungnya, Pembayun, gelar baru―”Mangkabumi”―yang secara tradisional disediakan untuk para pangeran laki-laki yang dipersiapkan untuk takhta.

Selama pengumuman itu, putri berusia 47 tahun itu duduk di sebelah sultan di atas kursi suci yang terbuat dari batu yang disebut “Watu Gilang”, yang di masa lalu disediakan untuk pangeran mahkota.

Meskipun sultan tidak pernah secara resmi mengumumkan sang putri untuk menjadi penggantinya, namun keluarga kerajaan menghabiskan dua tahun berikutnya mengajukan petisi kepada Mahkamah Konstitusi untuk mencabut klausul dalam Undang-Undang tentang Daerah Istimewa Yogyakarta yang membuat seorang wanita mustahil untuk menjadi Gubernur Provinsi Yogyakarta.

Pengadilan mengabulkan petisi keluarga kerajaan pada Agustus 2017 dengan alasan bahwa undang-undang tersebut diskriminatif.

Serangkaian langkah oleh keluarga sultan—yang memisahkan diri dari tradisi berabad-abad—telah menyebabkan kegemparan dan memecah belah masyarakat Yogyakarta.

Walaupun beberapa orang memuji keputusan tersebut sebagai progresif, namun keputusan sultan tidak disetujui oleh mereka yang merasa bahwa seorang wanita tidak boleh naik ke takhta.

Kontroversi itu begitu parah sehingga para analis khawatir akan terjadi perebutan kekuasaan yang pahit antara keluarga sultan dan saudara-saudaranya ketika penguasa Yogyakarta yang berusia 73 tahun itu akhirnya meninggal.

Beberapa orang bahkan mempertanyakan apakah langkah tersebut dapat berarti berakhirnya Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau status khusus Yogyakarta sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia di mana penguasa secara otomatis menjadi gubernur seumur hidup.

Mengapa Etnis China Masih Dilarang Memiliki Tanah di Indonesia?

Sultan Hamengku Buwono X dari kesultanan Yogyakarta di Indonesia. (Foto: Tempo)

Baca Juga: Prabowo Jadi Menhan, Bagaimana Masa Depan Hak Asasi Manusia di Indonesia?

PEKERJAAN PRIA?

Status khusus kesultanan Yogyakarta diberikan sejak kemerdekaan Indonesia saat Soekarno memungkinkan keluarga kerajaan untuk mempertahankan kekuasaan mereka atas Yogyakarta karena rasa terima kasih atas peran keluarga kerajaan dalam memerangi penguasa kolonial Belanda.

Soekarno juga memungkinkan keluarga kerajaan untuk tetap mengendalikan “tanah sultan”―petak besar tanah yang tersebar di seluruh provinsi yang dianggap sebagai milik kesultanan―yang mencakup total 1,2 persen dari provinsi seluas 3.186 kilometer persegi tersebut.

Tetapi peran sultan melampaui birokrasi, kata Heru Wahyu Kismoyo, seorang ahli budaya Jawa di Universitas Widya Mataram.

“Sebagai penguasa kesultanan Islam, seorang sultan harus memimpin festival dan acara keagamaan utama dan bertindak sebagai juru kunci empat masjid agung di kerajaan itu,” katanya kepada CNA.

Ada juga peran mistis dan spiritual yang harus dipikul sultan di Yogyakarta, di mana nilai-nilai Islam hidup berdampingan dan terjalin dengan tradisi yang berakar pada agama Hindu dan animisme.

Sebagai contoh, sultan harus merayu Ratu Laut Selatan, Nyai Roro Kidul, dan membuatnya tetap bahagia sehingga ia akan memberi nelayan tangkapan yang melimpah dan jalan yang aman di sepanjang laut yang berbahaya.

Seorang sultan juga harus menunjukkan kecakapan magis untuk menjaga raksasa Sapu Jagat, yang tinggal di perut Gunung Merapi, agar tetap terkendali.

“Banyak orang di Yogyakarta bertanya, ‘Bagaimana mungkin seorang wanita merayu Ratu Laut? Bagaimana seorang wanita bisa mengerahkan kekuasaannya atas Sapu Jagat?'” kata Kismoyo.

“Inilah mengapa keputusan sultan sangat mengejutkan dan kontroversial bagi banyak orang. Mereka percaya bahwa jika sultan tidak dapat melakukan tugas mistis ini dengan baik, bencana akan melanda.”

Muhammad Jadul Maula—seorang ulama Yogyakarta yang mengajari murid-muridnya perpaduan Islam dan tradisi Jawa—mengatakan bahwa peran paling penting yang harus dimainkan oleh seorang sultan adalah menjadi pemelihara Paugeran, hukum sakral yang harus dipatuhi oleh seorang raja dan rakyatnya.

“Semua sultan sebelumnya adalah laki-laki karena mereka perlu melakukan ritual keagamaan yang hanya dapat dilakukan oleh laki-laki, membawa keseimbangan dalam dunia arwah dan jika diperlukan, memimpin rakyat mereka di masa perang,” kata Maula kepada CNA.

“Kebutuhan untuk memiliki sultan laki-laki berkaitan dengan Paugeran, yang berfungsi sebagai hukum negara. Sultan saat ini memahami ini dan dia harus tahu bahwa arwah-arwah dan orang-orang tidak akan menyetujui penyimpangan Paugeran seperti itu.

“Jika sultan melanjutkan rencana suksesinya, kerajaan tidak akan menjadi kerajaan yang sama dengan yang didirikan oleh sultan pertama karena fondasi dan filosofi kerajaan ini akan hancur.”

KELUARGA TERPECAH

Sri Sultan Hamengku Buwono X telah menolak untuk diwawancarai CNA. Para putri lainnya serta penasihat dan asisten kerajaan sultan juga tidak tahu pasti tentang keputusan sultan.

Pada kesempatan-kesempatan langka ketika ia berbicara kepada media, sultan tidak menjelaskan tentang alasan di balik keputusannya, mengatakan bahwa ia memiliki wahyu spiritual.

“Saya telah diperintahkan oleh Tuhan melalui arwah ayah dan leluhur saya,” kata Sultan kepada wartawan, tiga hari setelah memberikan putrinya gelar yang diperuntukkan bagi putra mahkota.

“Perintah untuk memberi Pembayun gelar tersebut. Apa yang akan terjadi selanjutnya, saya masih tidak tahu.”

Saudara tiri sultan Pangeran Yudhaningrat meragukan kisah wahyu tersebut.

“Saya belum bicara dengan kakak saya sejak keputusan itu. Saya ingin sekali bertemu dengannya karena saya ingin tahu persis bagaimana arwah berbicara kepadanya. Tetapi dia menolak untuk menemui saudara-saudaranya,” katanya kepada CNA.

Dari 20 saudara kandung sultan dan saudara tirinya dari lima istri ayahnya, 15 masih hidup sampai sekarang. Sebelas saudara kandung sultan adalah laki-laki, termasuk dua yang telah meninggal.

Pangeran Yudhaningrat mengatakan bahwa takhta itu harus diserahkan kepada salah satu dari sembilan saudara lelakinya yang masih hidup.

“Keputusan ini telah memecah keluarga kami. Itu telah sepenuhnya menyimpang dari hukum suci. Tidak mungkin arwah leluhur saya berbicara kepada kakak saya, memerintahkannya untuk mematahkan Paugeran,” kata sang pangeran.

Saudara-saudara sultan telah menolak untuk mengakui keputusan kakak mereka dan masih merujuk pewaris dengan nama aslinya, Putri Pembayun, alih-alih dengan gelar barunya.

“Kami tidak melakukan ini karena kami mencari kekuatan. Kami hanya peduli untuk menjaga kerajaan seperti apa adanya. Kita semua tahu, Pembayun dapat mempertahankan posisi kakak saya sebagai gubernur. Pembayun dapat mempertahankan banyak bisnis yang dimiliki kakak saya.”

“Tetapi, kami harus memastikan takhta itu sejalan dengan hukum suci,” kata Pangeran Yudhaningrat.

Dengan kakaknya yang bersikeras pada keputusan tersebut, satu-satunya harapan adalah penolakan sang putri atas takhta tersebut, ia menambahkan.

“Jika Pembayun atau saudara perempuannya ingin menjadi sultan, dia harus membangun kerajaannya sendiri,” katanya.

Gambar ini diambil pada 7 Mei 2016, menunjukkan para imam atau pemimpin agama melakukan doa untuk Sultan Hamengku Buwono X, yang memegang peran ganda sultan dari kerajaan kecil Yogyakarta dan gubernur setempat, untuk menandai ulang tahun ke-70 dan 27 tahun berkuasa di Yogyakarta. (Foto: AFP Photo/Goh Chai Hin/Olivia Rondonuwu)

MASA DEPAN YANG TAK PASTI

Raden Mas Hertriasning, seorang sejarawan pengadilan kerajaan dan sepupu sultan, mengatakan ia khawatir bahwa segala sesuatunya akan menjadi buruk jika sultan tidak menyelesaikan masalah suksesi di tahun-tahun hidupnya.

“Mungkin ada klaim yang bertentangan atas takhta, yang mungkin bisa mengarah pada pemberontakan atau bahkan kekerasan,” kata Hertriasning kepada CNA.

“Ketika itu terjadi, pemerintah pusat mungkin harus turun tangan dan mungkin menangguhkan status khusus Yogyakarta. Itu bisa berarti akhir dari pemerintahan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atas Yogyakarta.”

Raden Mas Hertriasning mengatakan bahwa perebutan kekuasaan serupa sempat terjadi pada abad ke-19 pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono V.

Mendiang sultan tidak menghasilkan ahli waris laki-laki di tahun-tahun hidupnya dan dengan demikian memutuskan untuk menunjuk adiknya Gusti Raden Mas Mustojo sebagai penerusnya. Namun, 13 hari setelah Hamengku Buwono V meninggal pada tahun 1855, istrinya melahirkan seorang putra.

Karena tidak ingin keponakannya suatu hari mengklaim takhta, Gusti Raden Mas Mustojo, yang menjadi Hamengku Buwono VI, membuang keluarga almarhum Hamengku Buwono V ke pulau Sulawesi.

Hertriasning mengatakan dia tidak keberatan memiliki sultan perempuan memerintah Yogyakarta. Hukum suci harus mengikuti tantangan dan tuntutan zaman modern, katanya.

“Masalahnya adalah sang putri belum menunjukkan dirinya sebagai penerus yang layak,” katanya, menjelaskan bahwa sang putri—yang dulu sekolah di Singapura dan kemudian menerima gelar sarjana muda di Australia—sejauh ini hanya memegang beberapa posisi seremonial di badan amal dan bisnis yang terkait dengan kesultanan.

“Apakah dia bisa bertindak sebagai penguasa yang adil, penjaga tradisi, dan gubernur provinsi selama berabad-abad? Kita belum tahu.”

Saudara-saudara Sultan juga tidak lebih baik daripada putri, kata Hertriasning.

“Mungkin sultan sedang berusaha mendorong saudara-saudaranya untuk maju dan menunjukkan bahwa mereka adalah penerus yang layak dengan mengeluarkan dekrit ini. Kita hanya bisa menebak-nebak,” katanya.

PEMISAHAN PERAN

Sri Sultan Hamengku Buwono X telah menjadi sosok yang terpolarisasi selama 30 tahun masa pemerintahannya.

Dia dipuji karena menolak praktik poligami seperti para pendahulunya, dan dipuji sebagai pemimpin modern, tetapi dia juga dikritik karena menjadi orang yang memiliki ambisi politik dan bisnis yang hebat.

Di bawah pemerintahannya, ia mengubah lahan pertanian menjadi tambang dan pabrik, menggusur ratusan petani miskin dari rumah mereka.

Dia juga mengubah kota Yogyakarta—yang kaya akan tradisi dan terkenal dengan candi-candi kuno dan bangunan bersejarahnya—menjadi kota yang dipenuhi dengan pusat perbelanjaan dan gedung-gedung tinggi.

Walaupun beberapa orang di Yogyakarta berani secara terbuka mengkritik sultan mereka, namun semakin banyak anak muda yang menyerukan pemisahan peran antara sultan dan gubernur.

Pitra Hutomo, seorang videografer dan aktivis, mengatakan bahwa Yogyakarta adalah satu-satunya provinsi di mana gubernurnya tidak dipilih rakyat.

“Dalam masyarakat saat ini, para pemimpin harus bertanggung jawab atas tindakan mereka. Bagaimana Anda meminta pertanggungjawaban raja ketika kekuasaannya absolut?” katanya.

“Bagi saya, siapa pun yang memerintah Yogyakarta harus dipilih oleh rakyat secara transparan dan demokratis, terlepas dari jenis kelamin penguasa.”

Profesor Purwo Nugarwaho dari Universitas Gajah Mada, yang merancang RUU Daerah Istimewa Yogyakarta, mengatakan bahwa gagasan memisahkan monarki dan birokrasi bukanlah hal baru.

“Bahkan ada saran bahwa sultan dapat mencalonkan kandidat gubernur dan mencalonkan dirinya sebagai kandidat, tetapi para kandidat harus melalui proses pemilu seperti provinsi lain di Indonesia,” katanya kepada CNA.

Namun, kesultanan langsung menolak gagasan itu, mengatakan bahwa posisi gubernur harus disediakan untuk takhta, kata Prof Nugarwaho.

Profesor Ni’matul Huda dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga mengatakan, meskipun ada orang-orang di Yogyakarta yang tidak setuju dengan sultan perempuan, namun mayoritas mengatakan dalam survei baru-baru ini bahwa mereka mungkin akan mendukung ide gubernur wanita.

“Penolakan terhadap sultan perempuan terjadi karena sepuluh sultan sebelumnya adalah laki-laki, tetapi persepsi ini dapat berubah.”

“Jika sang putri naik takhta, orang-orang Yogyakarta akan mendukung siapa pun yang berada di atas takhta, baik itu raja atau ratu,” kata profesor tersebut, yang mengkhususkan diri dalam Hukum Konstitusi, kepada CNA.

“Saya percaya bahwa banyak orang tidak lagi peduli apakah pemimpin mereka laki-laki atau perempuan. Banyak yang melihat ini sebagai perebutan kekuasaan di dalam istana kerajaan dan harus diselesaikan secara internal. Bagi banyak orang, yang penting adalah apakah sultan dapat melindungi dan melayani mereka.”

Keterangan foto utama: GKR Mangkubumi adalah anak perempuan pertama Sultan Hamengku Buwono X dari Yogyakarta dan Permaisuri Ratu, GKR Hemas. Pada tanggal 5 Mei 2015 dia diproklamirkan sebagai Putri Mahkota oleh ayahnya. (Foto: Youtube)

Monarki Terakhir Indonesia: Kontroversi Sultan Perempuan Yogyakarta

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top