Moratorium Nuklir Korea Utara
Global

Moratorium Nuklir Korea Utara Berakhir: Apa Reaksi AS, China, Rusia?

Pemandangan peluncuran rudal Korea Utara pada Kamis (25/7), dalam gambar tak bertanggal ini yang dirilis oleh Korean Central News Agency (KCNA) pada 26 Juli 2019. (Foto: KCNA/via Reuters)
Berita Internasional > Moratorium Nuklir Korea Utara Berakhir: Apa Reaksi AS, China, Rusia?
Advertisements

Kim Jong-un memutuskan untuk mengakhiri moratorium nuklir Korea Utara, yang mengkhawatirkan sejumlah pihak. Lalu bagaimana reaksi AS, China, dan Rusia menanggapi hal ini?

Pemimpin tertinggi Korea Utara Kim Jong-un melewatkan pidato Tahun Baru-nya untuk pertama kali dalam tujuh tahun kekuasaannya. Alih-alih, ia mengumumkan strategi baru yang bertentangan dari perundingan dengan Amerika Serikat selama KTT.

Baca juga: Donald Trump Remehkan Ancaman Nuklir Baru Kim Jong-un

Apa yang dikatakan Kim Jong-un?

Pernyataan Kim itu disampaikan melalui laporan Korean Central News Agency (KCNA) pada Selasa (31/12), yang merinci hasil Rapat Pleno Kelima Komite Sentral Ketujuh dari Partai Buruh Korea yang berkuasa di Pyongyang.

Selama sesi rapat yang diselenggarakan selama empat hari itu, Kim mengecam keengganan Washington untuk tunduk pada pemberian keringanan sanksi, meskipun Korea Utara telah mengambil langkah-langkah menuju pencapaian kesepakatan “nuklir untuk perdamaian” dengan AS.

Salah satu hal penting dari laporan tersebut adalah deklarasi Kim bahwa “dunia akan menyaksikan senjata strategis baru yang akan dimiliki oleh Korea Utara dalam waktu dekat.”

Ia juga mengumumkan bahwa Korea Utara mungkin tidak lagi mematuhi moratorium uji coba nuklir dan rudal jarak jauh yang ia berlakukan pada April 2018 sebagai langkah niat baik.

Karena AS terus melakukan latihan bersama dengan Korea Selatan dan memberlakukan sanksi baru, Kim mengatakan bahwa negaranya “tidak menemukan alasan untuk terikat secara sepihak lagi oleh moratorium nuklir, dan ini telah menghalangi upaya pelucutan senjata dan non-proliferasi senjata nuklir di seluruh dunia.”

Bagaimana reaksi Amerika Serikat?

Presiden AS Donald Trump tampak menolak peringatan Kim, mengatakan kepada para wartawan pada Selasa (31/12), “Dia menyukai saya, saya menyukai dia, kami rukun.”

Dia juga mengklaim bahwa Kim telah menandatangani “kontrak” tentang denuklirisasi, meskipun tidak jelas dokumen mana yang dia maksud.

Di hari yang sama, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan kepada Fox News bahwa para pejabat pemerintahan Trump “berharap Ketua Kim akan mengambil jalur yang berbeda” dan bahwa ia “akan membuat keputusan yang tepat, dan ia akan memilih perdamaian dan kemakmuran daripada konflik dan perang.”

Diplomat AS juga mengatakan kepada CBS News bahwa Washington telah “memenuhi komitmen kami” dengan tidak mengadakan latihan “skala besar” dengan Seoul, berharap Pyongyang akan melakukan hal yang sama.

Pada Kamis (2/1), Menteri Pertahanan AS Mark Esper mengatakan kepada Fox News bahwa ia “akan mendesak Kim Jong-un untuk menahan diri,” dan kembali ke meja perundingan.

Pada saat yang sama, ia menekankan bahwa Pentagon tetap siap untuk “fight tonight” (“bertarung malam ini”), moto pasukan AS yang telah lama ditujukan ke Semenanjung Korea.

Sanksi PBB terhadap Korea Utara

Orang-orang di Seoul Railway Station menonton program berita pada September 2019, menunjukkan foto peluncuran rudal Korea Utara. (Foto: AP/Ahn Young-Joon)

Bagaimana reaksi China?

China telah lama menjadi pilar dukungan bagi Korea Utara dan bergabung dengan Uni Soviet dalam membantu negara itu melawan Korea Selatan yang didukung AS selama perang 1950-an mereka. Meskipun Beijing menentang kepemilikan dan uji coba senjata nuklir oleh Pyongyang, para pejabat China telah berusaha untuk mendorong pemerintahan Trump agar melonggarkan sanksi Korea Utara.

Baca juga: Korea Utara Ancam Lanjutkan Uji Coba Nuklir dan Rudal Jarak Jauh

“Ini melayani kepentingan bersama dari semua pihak untuk mempertahankan dialog, mempromosikan de-eskalasi, dan memajukan penyelesaian politik masalah Semenanjung,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang pada konferensi pers, Kamis (2/1), yang dikutip oleh Newsweek. “Dalam keadaan saat ini, tidak dianjurkan untuk mengambil tindakan yang mengarah pada eskalasi ketegangan.”

“Kami berharap pihak-pihak yang relevan, Korea Utara dan AS khususnya, akan tetap melakukan dialog dan konsultasi dengan satu sama lain, secara aktif mencari cara untuk memecahkan kebuntuan, dan melakukan upaya nyata untuk memajukan penyelesaian politik,” tambahnya.

Bagaimana reaksi Rusia?

Moskow juga telah berusaha meyakinkan Washington untuk melonggarkan sanksinya. Bulan lalu, Rusia dan China mengajukan rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB yang akan melunakkan sanksi-sanksi tertentu terhadap Korea Utara, dengan tujuan memberi insentif bagi diplomasi lebih lanjut. Namun, AS tidak terlalu menunjukkan ketertarikan pada langkah tersebut, dan dapat menggunakan status anggota tetapnya untuk memveto, seperti yang dilakukan China dan Rusia selama pemungutan suara sebelumnya.

Pada Rabu (1/1), perwakilan tetap Rusia untuk PBB Mikhail Ulyanov mengetwit tentang “perkembangan yang mengkhawatirkan seputar masalah #denuklirisasi”, mengacu pada pidato Kim. Dia mengatakan “ada kebutuhan mendesak untuk mengintensifkan upaya diplomatik” dan menyerukan pendekatan yang “lebih kreatif” untuk sanksi.

“Karena mereka (Korea Utara) tidak merasa diri mereka aman dengan adanya retorika dan kehadiran militer AS. Sayangnya, AS terkadang menstimulasi proliferasi. Kebijakan AS tentang Kesepakatan Nuklir Iran menunjukkan kepada Korea Utara bahwa Washington tidak dapat diandalkan jika mereka mencapai kesepakatan di masa depan,” tambahnya, merujuk pada keputusan Trump pada 2018 untuk secara sepihak keluar dari Kesepakatan Nuklir Iran. “Ini seperti lingkaran setan,” tandasnya.

Jenis senjata apa yang dimiliki Korea Utara?

Korea Utara memiliki serangkaian rudal dengan jangkauan yang berbeda. Pada 2017, negara itu untuk pertama kalinya menunjukkan kemampuan rudal balistik antarbenua (ICBM) yang mampu menghantam daratan AS. Pada tahun yang sama, Korea Utara juga melakukan uji coba nuklir dengan hasil lebih kuat dari lima uji coba sebelumnya.

Baca juga: 4 Bukti Korea Utara Belum Penuhi Janji Denuklirisasi sejak KTT Singapura

Sejalan dengan komitmen moratoriumnya, Kim tidak melakukan uji coba nuklir atau rudal sepanjang 2018. Namun, ia melanjutkan uji coba senjata jarak pendek pada 2019, termasuk sistem yang tidak pernah dilihat sebelumnya, sebagai protes atas perundingan yang macet dan berlanjutnya latihan AS-Korea Selatan. Pada Oktober 2019, ia juga menyelenggarakan uji coba rudal balistik kapal selam pertama yang diluncurkan negara itu sejak 2016.

Semua uji coba ini merupakan pelanggaran terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB yang ada, yang membatasi Korea Utara dari kegiatan semacam itu, tetapi Pyongyang menganggap larangan ini tidak sah, dengan mengatakan pertahanan diri negaranya adalah prioritas.

Pemerintahan Trump menganggap remeh uji coba tahun lalu, tetapi kembalinya uji coba nuklir atau ICBM dapat meruntuhkan perundingan bersejarah antara Presiden AS dan pemimpin tertinggi Korea Utara tersebut. Runtuhnya perundingan itu dapat berarti munculnya ancaman konflik baru.

Penerjemah: Nur Hidayati

Editor: Aziza Fanny Larasati

Keterangan foto utama: Pemandangan peluncuran rudal Korea Utara pada Kamis (25/7), dalam gambar tak bertanggal ini yang dirilis oleh Korean Central News Agency (KCNA) pada 26 Juli 2019. (Foto: KCNA/via Reuters)

Moratorium Nuklir Korea Utara Berakhir: Apa Reaksi AS, China, Rusia?

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top