Pengungsi Nduga
Berita Politik Indonesia Hari Ini

Nasib Miris Anak-anak Pengungsi Nduga di Papua Barat

Berita Internasional > Nasib Miris Anak-anak Pengungsi Nduga di Papua Barat

Kekecewaan bocah Papua telah mendarah daging. Hidup nomaden karena kotanya diamuk kekerasan, ketiadaan akses ke layanan pendidikan dan kesehatan, bahkan membuat beberapa dari mereka lebih suka tinggal di hutan, bahkan bergabung dengan pemberontak. Sementara, pemerintah Indonesia lebih banyak merespons sepi. Kritik pun dibungkam lewat propaganda hoaks di media bayaran.

Hingga kini, kenyataan yang terjadi di Kabupaten Nduga, Provinsi Papua sejak setahun silam, masih kabur dan tertutup rapat. Hal ini ibarat meninggalkan gajah dalam sebuah ruangan, seperti kasus pembunuhan massal lainnya di Papua Barat selama medio 1970-an.

Tidak ada kasus yang dibawa ke pengadilan. Pembunuhan itu masih terus terjadi sampai sekarang.

Dikutip dari Asiapacificreport.nz, sejak Desember 2018, Nduga menjadi berita utama di media nasional dan pelbagai media internasional, usai militer berusaha menghancurkan pejuang Kemerdekaan Papua-yang menyerang para pekerja proyek pembangunan Jalan Tol Trans-Papua (menewaskan sedikitnya 17 orang).

Militer Indonesia lantas mengebom desa-desa dan memaksa 45.000 orang Nduga untuk lari lintang pukang ke hutan dan kabupaten terdekat, dengan dalih keselamatan. Banyak dari mereka adalah perempuan dan anak-anak.

Baca juga: Wabup Nduga Mundur, Pendekatan Keamanan Tak Rampungkan Masalah

Latar belakang sejarah

Pada 1969, Indonesia menguasai setengah bagian barat dari Pulau Papua dengan memilih hanya 1.026 orang untuk memilih mendukung integrasi yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Ini adalah salah satu skandal terbesar dalam sejarah dunia. Peristiwa itu mendorong pemberontak Papua untuk membentuk Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (saat itu disebut Organisasi Papua Merdeka alias OPM). Mereka lah yang andil melanjutkan perjuangan kemerdekaan sejak saat itu, termasuk di Nduga.

Nduga adalah daerah pegunungan dengan hutan tropis murni, terkenal dengan keanekaragaman budaya dan merupakan bagian dari Taman Nasional Lorentz yang terdaftar sebagai Warisan Dunia. Wilayah itu dihuni oleh orang-orang Melanesia asli, yang sebagian besar terputus dari dunia luar, sampai misionaris tiba di abad ke-20.

Human Rights Watch mengatakan telah menerima laporan pelanggaran oleh pasukan keamanan Indonesia di Papua Barat. (Foto: Antara/Sevianto Pakiding via Reuters)

Mereka secara luas dikenal sebagai orang Papua yang paling resisten di seluruh wilayah dalam perjuangan melawan pemerintah Indonesia. Orang-orang ramai menolak kedaulatan Indonesia dan menolak untuk berbicara bahasa Indonesia.

Bahkan, untuk orang Papua lain yang dicurigai “bekerja bersama” dengan pemerintah Indonesia, sulit untuk mendapatkan kepercayaan mereka. Oleh karena itu, sulit bagi orang Papua lainnya untuk mendekati mereka.

Hingga hari ini, militer Indonesia masih berjuang untuk menduduki wilayah tersebut. Tantangan bagi tentara Indonesia adalah beradaptasi dengan cuaca, sebab gunung-gunung di Nduga dilindungi oleh gletser dan sangat dingin.

Bergabung dengan pemberontak

Namun, orang Nduga terbiasa menjadi gerilyawan di pegunungan. Secara tradisional, mereka mengikuti orang tua untuk bergabung dengan pemberontak demi membalas dendam atas pembunuhan orang tua dan anggota keluarga mereka. Pun, melatih diri untuk bertahan hidup dalam cuaca dingin.

Salah satu peristiwa terkenal yang menandai sejarah kekerasan di Papua Barat, khususnya Nduga, adalah Operasi Mapenduma pada 1996. Kemudian, sekelompok peneliti lingkungan diculik oleh para pemberontak.

Operasi penyelamatan militer kemudian diselimuti kisah trauma, ketika upaya untuk menangkap Kelly Kwalik dan kelompoknya diduga menyebabkan banyak kematian di antara penduduk desa.

Tirto.id menerbitkan artikel pendek (dalam bahasa Indonesia) tentang peristiwa ini minggu lalu. Namun, sulit untuk menemukan bukti detil.

Kembali ke perihal pengungsian orang Nduga. Selain kesulitan berkomunikasi dengan orang Nduga, untungnya, mereka masih membuka pintu bagi gereja Kristen. Salah satu gereja Protestan di Lembah Baliem membagikan makanan dan pakaian kepada mereka. Bahkan, sekolah darurat telah dibangun tepat di sebelah gereja.

Namun, apakah itu cukup untuk membantu mereka bertahan hidup?

Baca juga: Polisi Papua Akan Selidiki Tuduhan Pembunuhan di Nduga

Tim Voice of Papua sedang mengumpulkan data di lapangan bulan lalu, tepat satu tahun orang Nduga menjadi pengungsi. Ini adalah masalah penting bagi orang Nduga, yang perlu ditangani segera oleh pemerintah daerah dan pusat.

Sejauh ini, 238 orang telah meninggal. Pada 10 Desember 2019, telah diterbitkan laporan khusus tentang satu tahun Pengungsian Orang Nduga dengan mewawancarai Raga Kogoya, salah satu sukarelawan terkemuka di dataran tinggi Wamena.

“Setidaknya 238 telah meninggal, beberapa dari mereka menderita luka tembak, dan beberapa dari mereka sakit,” katanya kepada kami. Jumlah ini lebih tinggi dari yang dikeluarkan oleh Kementerian Sosial Indonesia (Depsos RI).

Raga menambahkan bahwa jumlahnya lebih tinggi, tetapi beberapa orang Nduga yang mengungsi tidak melaporkan kasus mereka kepada relawan. Berikut ini beberapa detailnya.

Seribu siswa tidak dapat mengikuti ujian nasional. Di tempat penampungan Ndugan pada l 2019, ada sekolah darurat untuk anak-anak yang dikelola oleh gereja dan sukarelawan.

Sekolah dibangun dari kayu dan terpal dengan siswa duduk di bangku kayu di bawah atap seng. Selama musim hujan, ruang kelas dibanjiri oleh air hujan.

Tidak ada ujian

Pemerintah Indonesia telah menurunkan 6.000 pasukan keamanan ke Papua menanggapi kerusuhan yang tengah terjadi. (Foto: AP/Dita Alangkara)

Meskipun mereka dapat menghadiri kelas, para siswa merasa kesulitan untuk mendapatkan akses ke ujian nasional. Raga mengatakan para sukarelawan dan para guru tidak bisar tidak memiliki cukup kedudukan hukum untuk mengeluarkan laporan untuk mereka.

Oleh karena itu, mereka tidak dapat memperoleh penghargaan apa pun atas kerja keras mereka belajar di sekolah darurat. “Pemerintah sangat bodoh. Mereka tidak ingin membuka tangan dan melayani anak-anak ini, “katanya.

Selain itu, rumah sakit setempat juga menolak untuk melayani anak-anak, mengatakan bahwa mereka hanya melayani warga Wamena. Karenanya, anak-anak di antara para pengungsi Nduga tidak memiliki akses ke layanan pendidikan dan kesehatan.

Anak-anak bergabung dengan pemberontak

Karena banyak anak-anak tidak mendapatkan akses ini ke layanan pendidikan dan kesehatan, beberapa dari mereka lebih suka tinggal di hutan, bahkan bergabung dengan pemberontak.

Pastor Jon Djonga menyebutnya sebagai “siklus balas dendam”. Lihatlah kasus pemimpin Gerakan Papua Merdeka-Tentara Papua Merdeka Papua Barat di Nduga, Egianus Kogoya. Dia tampaknya adalah putra bungsu dari mantan pemimpin kelompok itu, Silas Kogoya yang terbunuh dalam Operasi Mapenduma.

Minggu lalu pada 11 Januari 2020, seorang petugas polisi ditembak dan terluka ketika kelompok Kogoya menyerang sebuah pos keamanan di Bandara Kenyam. Polisi sekarang memburu kelompok itu, sepertinya ini masih jauh dari selesai.

Pusat penyembuhan trauma sangat dibutuhkan. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Sosial, belum menyediakan terapi penyembuhan trauma untuk pengungsi anak-anak Nduga.

Relawan telah meminta perawatan sejak gelombang pertama pengungsi Nduga membanjiri Wamena pada 2018. Anak-anak di Nduga masih trauma dari insiden itu, karena beberapa dari mereka menyaksikan bagaimana militer mengebom desa mereka, dan bagaimana teman serta saudara kandung mereka ditembak ke mati atau kelaparan, saat melarikan diri ke hutan.

Relawan itu memberi tahu penulis, jika hanya pemerintah yang menyediakan terapi penyembuhan trauma, mungkin kami bisa memutus “siklus balas dendam” dan mencegah anak-anak bergabung dengan tentara pemberontak.

Pembunuhan itu masih terjadi. Warga dan aktivis hak asasi manusia menemukan total lima mayat, yang diduga menjadi korban penembakan oleh anggota militer Indonesia yang tidak bermoral di desa Iniye, Distrik Mbua, pada Kamis, 10 Oktober 2019.

Kelima mayat itu adalah tiga perempuan dan dua pria muda. Mereka ditemukan di lubang yang tertutup daun sebelum dikubur di tanah.

Keluarga Samuel Tabuni, salah satu pemimpin pemuda Nduga yang meninggal, menjelaskan, pada 20 September 2019 korban membawa makanan dari Wamena, mengendarai mobil Strada ke Nduga melalui Trans-Papua Highway. Dia diduga ditembak oleh militer Indonesia.

Dalam kasus lain di Nduga, seorang pengemudi bernama Hendrik Lobere ditembak mati oleh militer Indonesia, mendorong Wakil Bupati Nduga, Wentius Nimiangge untuk mengundurkan diri sebagai protes. Menteri Keamanan Mahfud MD membantah tuduhan bahwa pasukan militer lah yang telah membunuh pengemudi.

Namun, tim pencari fakta telah dibentuk untuk menyelidiki kasus ini. Pengungsi Nduga telah tinggal di 23 tempat penampungan di kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, tanpa toilet yang layak dan tempat tidur yang layak.

Kisah terakhir yang diterbitkan adalah tentang rencana Bupati Jayawijaya untuk mengundang rekan Nduga dan pejabat mereka untuk berbicara tentang pengungsi. Salah satu topik penting diskusi adalah alokasi anggaran untuk pengungsi Nduga yang mencapai Rp75 miliar.

Pertanyaannya adalah kemana uang itu pergi?

Kerusuhan Papua Barat

Seorang pelajar Papua dengan bendera Bintang Kejora terlukis di wajahnya selama demonstrasi di Jakarta, 28 Agustus 2019. (Foto: AFP Forum/NurPhoto/Andrew Gal)

Militer Indonesia menggunakan berita internet sebagai senjata di Papua. Investigasi Reuters menemukan, militer Indonesia mendanai 10 situs web, beberapa di antaranya telah beroperasi sejak pertengahan 2017. Situs-situs web secara seragam menerbitkan liputan positif tentang pemerintah, militer dan polisi di samping artikel-artikel yang menjelekkan kritik pemerintah dan penyelidik hak asasi manusia.

Subjek dari beberapa cerita mengatakan kepada Reuters bahwa situs web mengaitkan kutipan yang diciptakan dengan mereka dan menerbitkan kepalsuan lainnya.

Baca juga: Gizi Buruk Tewaskan Sedikitnya 139 Pengungsi di Papua

Selama 50 tahun terakhir, sudah biasa bagi para pemimpin tertentu, khususnya di Malaysia Timur, untuk mengritik penyakit kolonial masa lalu. Sementara, pada saat yang sama memulai penggerebekan sumber daya mereka sendiri yang belum pernah terjadi sebelumnya, pertama di dalam perbatasan mereka sendiri, kemudian di seluruh wilayah.

Konsekuensinya telah dijelaskan oleh banyak korban di Papua Nugini terhadap Laporan Sarawak, sebagai lebih buruk daripada kolonialisme-sebuah sentimen yang digemakan oleh banyak penduduk asli Sarawak yang tanahnya direbut oleh kepentingan luar, dengan didukung pemimpin lokal yang korup.

 

Penerjemah: Virdika Rizky Utama

Editor: Purnama Ayu Rizky

Keterangan foto utama: Protes telah mengamuk di berbagai wilayah Papua Barat selama satu minggu lebih. (Foto: AP/Dita Alangkara)

Nasib Miris Anak-anak Pengungsi Nduga di Papua Barat

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top