Sejarah masuknya Papua Barat ke negara Indonesia pasca-penjajahan Belanda tak berjalan mulus, demikian pula sikap ketujuh presiden hingga saat ini yang terus berubah dalam menangani masalah Papua.
Begitu kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, pemerintah Belanda turut mempersiapkan pemerintahan bagi Papua untuk memisahkan diri dari Belanda dan Indonesia, termasuk pembentukan badan legislatif, bendera, dan lagu kebangsaan Papua.
Bagi Belanda, Papua bagian barat atau yang mereka sebut dengan nama Nugini Belanda (Nederland Nieuw Guinea) bukanlah bagian dari kesatuan wilayah yang harus dikembalikan kepada Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 2 November 1949. Alasannya, orang asli Papua memiliki perbedaan etnis dan ras dengan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Dalam pidato pada 23 Agustus 1945, presiden pertama Indonesia Sukarno menyatakan wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Soekarno konon menciptakan akronimnya sendiri untuk nama Irian: Ikut Republik Indonesia Anti Netherland, Tirto.id melaporkan.
Menjelang Operasi Trikora di Papua (1961-1962), Presiden Soekarno berpidato menentang apa yang disebutnya “negara boneka bentukan Belanda” dan menyerukan agar masyarakat Indonesia bersiap untuk mobilisasi umum, meski Papua saat itu masih di bawah kekuasaan Belanda. Operasi khusus Komando Mandala di bawah pimpinan Soeharto itu dianggap sukses merebut Papua.
Lebih dari satu dekade usai KMB, Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962 memutuskan Belanda harus menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia selambat-lambatnya 1 Mei 1963. Pada 1962, 13 tahun pasca-KMB, sikap Belanda pun melunak dan Papua (saat itu Irian Barat) diserahkan ke kendali PBB. Selama proses peralihan, wilayah itu dikuasai sementara oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) yang dibentuk PBB. Belanda harus menarik pasukannya dari Irian Barat, sementara pasukan Indonesia diperbolehkan bertahan di bawah UNTEA.
Menyusul berdirinya Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada 1 Desember 1963 dan serangan Korps Relawan Papua menembaki 3 serdadu Indonesia, militer “menembaki semua orang Papua yang terlihat, dan banyak orang tak berdosa yang sedang dalam perjalanan tertembak”.
Sukses melengserkan Sukarno pada 1966, presiden selanjutnya Soeharto melanjutkan operasi militer di Papua.
Pada 1967, Angkatan Udara menewaskan 40 orang karena diberondong peluru. Tahun itu juga, tentara mengeksekusi sejumlah orang Papua, membakar kampung di Distrik Ayamaru, serta melempari kampung-kampung di daerah Kepala Burung dengan granat dan bom.
Referendum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) selama 6 pekan dari Juli hingga Agustus 1969 menghasilkan integrasi wilayah Provinsi Irian Jaya ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Proses dan hasil Pepera 1969 tidak sepenuhnya disepakati oleh seluruh pihak yang berkepentingan karena dianggap curang dan di bawah paksaan militer, Tirto.id mencatat. Tangan kanan Soeharto, Ali Moertopo, dilaporkan mengiming-imingi para kepala suku dengan hadiah. Sementara itu, terdapat beberapa versi terkait jumlah pemilih, mulai dari 1.022 hingga 1.026 orang, yang cenderung pro-integrasi dan dianggap mewakili 800 ribu penduduk Papua saat itu.
Sikap pemerintah Indonesia terus naik terun di periode presiden-presiden berikutnya. Presiden Abdurrahman Wahid bahkan mengganti nama Irian Jaya yang dicetuskan Soekarno menjadi Papua. Tahun 2001 hingga 2004, Papua mendapatkan status otonomi khusus dan mengalami pemekaran menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Kendati Presiden B.J. Habibie dan Gus Dur mengedepankan diplomasi dalam penyelesaian masalah Papua, represi pemerintah kembali muncul kala Megawati Soekarnoputri menjabat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara resmi menyerukan jalur damai, tetapi penumpasan kekerasan oleh polisi dan tentara tidak sepenuhnya berhenti.
Naiknya Joko Widodo ke tampuk kekuasaan sempat membawa harapan masa depan cerah dalam isu Papua, misalnya lewat janji pembangunan, harga tunggal BBM, hingga akses internet merata. Faktanya, menurut laporan Tirto.id, pemerintahan Presiden Jokowi justru diwarnai dengan pengerahan ribuan personel TNI/Polri dan pembatasan akses internet Papua pasca-kerusuhan 2019, tak lupa janji pembebasan tahanan politik Papua yang tak kunjung dipenuhi.
Penulis: Fadhila Eka Ratnasari
Editor: Purnama Ayu Rizky
Desainer grafis: Syifa Abdurrozak
Keterangan foto utama: Presiden Indonesia Joko Widodo menari bersama para penari Papua selama kunjungannya ke Wamena pada 28 Oktober 2019. (Foto: AFP/Istana Kepresidenan)
[INFOGRAFIK] Nasib Papua di Bawah 7 Presiden Indonesia