Seiring gencatan senjata di Gaza berlangsung, kisah-kisah tentang ketakutan dan perjuangan hidup bermunculan dari wilayah yang terkepung itu.
Banyak warga sipil yang ketakutan mulai mengucapkan selamat tinggal kepada anggota keluarga dan teman-teman mereka di tengah gencarnya serangan Israel di daerah kantong Palestina, takut mereka akan mati dalam salah satu serangan yang telah terjadi selama 11 hari itu.
Ibrahim al-Talaa (17) tinggal di kamp Mughazi di tengah Jalur Gaza. Dia termasuk di antara orang-orang yang menuliskan ucapan perpisahan terakhirnya kepada anggota keluarga besar dan teman-temannya melalui Facebook.
Ibrahim menceritakan hari terberatnya dalam serangan berdarah itu ketika jet tempur Israel mengebom lingkungan rumahnya. Dia merasa itu adalah akhir hidupnya dan orang-orang terkasih di sekitarnya.
“Pesawat tempur Israel mengebom beberapa tempat berbeda di daerah saya dengan lebih dari 40 rudal berturut-turut, tanpa mengeluarkan peringatan sebelumnya yang biasa mereka keluarkan dalam tiga perang terakhir. Suara pengeboman dan penembakan begitu menakutkan, saya bahkan tidak bisa menjelaskannya melalui kata-kata,” kata Ibrahim.
“Saat bom jatuh, rumah bergetar seolah-olah akan menimpa kepala kami… Saya hampir menangis, tetapi saya mencoba menahan diri, agar keluarga saya tetap tegar. Saya melihat adik perempuan saya yang berusia 13 tahun menangis dalam diam. Saya memeluknya sebentar mencoba menghiburnya. Saya membawakannya segelas air dan mencoba mengurangi rasa takutnya, meskipun saya juga sangat takut.”
Tewas bersama
Korban tewas Palestina pada Sabtu (22/5) mencapai 248 orang, termasuk 66 anak-anak, dengan lebih dari 1.900 orang terluka akibat serangan udara dan artileri Israel. Sedangkan tembakan roket Hamas menewaskan sedikitnya 12 orang di Israel, termasuk dua anak.
Setelah aksi militer Israel terhadap Gaza dimulai, keluarga Ibrahim, termasuk orang tuanya, empat saudara laki-laki, dan tiga saudara perempuan, berkumpul di satu ruangan, berharap mereka semua akan selamat, atau tewas bersama.
Saat jet Israel menyerang, keluarga al-Talaa mulai mengucapkan selamat tinggal.
“Saat mendengar suara bom semakin dekat dan beberapa ambulans datang, kami saling mengucapkan selamat tinggal, lalu kami berpelukan,” kata Ibrahim.
Remaja itu kemudian menulis unggahan perpisahannya di Facebook. “Teman saya menelepon untuk menanyakan keadaan saya setelah saya mengunggahnya, dan saya bilang betapa saya menyayanginya,” ujarnya.
“Sebagai warga Palestina di Gaza, saya kehilangan hak sederhana saya untuk hidup dengan aman. Saya meminta teman saya untuk menyebarkan pesan, saya tidak akan memaafkan manusia dan presiden mana pun di dunia ini yang mendukung pendudukan Israel, melakukan normalisasi dengan mereka, atau bahkan tetap diam.”
Melarikan diri
Penyerangan polisi Israel pada jemaah Muslim di Masjid al Aqsa Palestina. (Foto: Daily Sabah)
Reem Hani (25) tinggal di daerah Shuja’iyya bersama orang tua dan lima saudara kandungnya. Pada 14 Mei, militer Israel mulai menembaki perbatasan timur Kota Gaza.
“Setelah empat jam, penembakan menjadi jauh lebih berat dan lebih dekat, menyerang secara acak ke segala arah,” katanya kepada Al Jazeera.
“Kakak laki-laki saya berteriak pada kami agar bergegas dan masuk ke dalam mobil. Kami membawa sekantong barang termasuk semua dokumen kami.”
Pada 2014, Israel juga menyerang lingkungan Shuja’iyya dengan jet dan tank, menghancurkan sebagian besar rumah hingga rata dengan tanah. Saat melarikan diri dengan mobil ayah mereka kali ini, Reem menyaksikan pemandangan yang sama dari enam tahun sebelumnya, dengan ratusan orang berlarian di jalanan, beberapa tanpa alas kaki dan menggendong anak-anak mereka, semuanya menuju ke barat Jalur Gaza.
Sementara yang lainnya mengendarai sepeda motor, taksi, dan keledai, sementara ledakan terus menerus menerangi kegelapan.
“Saya dan keluarga saya selamat pada 2014, tetapi kami tidak menyangka kami akan selamat kali ini karena mereka melancarkan lebih dari 50 serangan udara di sekitar kami saat kami berada di dalam mobil. Saya terus memeluk adik laki-laki saya, menitikkan air mata, dan takut saya akan mati sebelum kami tiba di tempat tujuan,” kata Reem.
“Saya juga mengirim pesan perpisahan kepada teman-teman dekat saya, meminta mereka untuk tetap mengingat dan mendoakan saya setelah saya mati.”
‘Kami semua menjadi target’
Maha Saher (27) dari al-Zaytoun adalah ibu dari dua balita, Sara (4) dan Rama (lima bulan). Suaminya adalah jurnalis foto, jadi ketika serangan dimulai di Gaza, dia harus meninggalkan keluarganya untuk bekerja.
“Saya bertanggung jawab penuh untuk melindungi anak-anak saya dari setiap bahaya kecil dalam perang brutal ini jika suami saya tidak ada,” ujar Maha kepada Al Jazeera.
“Saya mengkhawatirkan suami saat dia bekerja menyampaikan kebenaran melalui foto-fotonya ke dunia Barat, dan mengkhawatirkan anak-anak saya karena kita semua, anak-anak, perempuan, jurnalis, dokter, dan semua warga sipil, menjadi target mereka,” tambahnya.
Pesawat-pesawat tempur Israel mengebom tiga rumah di jalan al-Wehda minggu lalu, mengubur penduduk di bawah puing-puing, serangan yang menewaskan 42 warga sipil, kebanyakan anak-anak dan perempuan.
“Mereka kemudian menghancurkan jalan untuk mencegah ambulans dan truk pemadam kebakaran mencapai gedung-gedung yang hancur dan menyelamatkan orang-orang yang terluka,” tutur Maha.
“Saya khawatir mereka akan menargetkan apartemen kami saat kami tidur, seperti yang mereka lakukan dengan pembantaian jalanan al-Wehda. Saya tidak takut akan kematian. Saya takut kehilangan salah satu anak saya, atau mereka kehilangan saya.”
Dia mengatakan dia begadang sepanjang malam saat serangan terjadi untuk mengawasi anak-anaknya dan kemudian tidur selama sekitar 30 menit setelah matahari terbit setiap hari. Selama serangan terberat, salah satu anaknya, Sara, menangis terus, meminta ayahnya untuk pulang.
“Saya menelepon suami saya agar Sara bisa berbicara dengannya. Dia mengatakan kepadanya betapa dia merindukannya dan memintanya untuk datang dan bermain dengannya. Dia diam saja, tidak bisa menjawab permintaan itu,” kata Maha.
Maha dan keluarganya “bertahan dengan belas kasihan Tuhan kami”, katanya, dan mereka sekarang tinggal bersama pamannya di flat sewaan, setelah apartemennya sendiri menjadi sasaran serangan drone.
Penerjemah: Nur Hidayati
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Seorang demonstran pro-Palestina terkena semprotan meriam air ketika polisi mencoba membubarkan aksi solidaritas pro-Palestina di Paris, Prancis, 15 Mei 2021, menyusul eskalasi kekerasan Israel-Palestina baru-baru ini. Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin telah meminta polisi melarang protes pro-Palestina. (Foto: Getty Images/Kiran Ridley)
Nelangsa Palestina: ‘Hidup dan Mati Asal Kami Bersama’