Menteri Perikanan Indonesia Susi Pudjiastuti telah mengawasi pembongkaran kapal nelayan asing yang tertangkap perburuan di perairan Indonesia. (Foto: NurPhoto via AFP Forum/Donal Husni)
Berita Politik Indonesia Hari Ini

Nelayan Laut Natuna Diserbu China Usai Menteri Susi Lengser

Berita Internasional > Nelayan Laut Natuna Diserbu China Usai Menteri Susi Lengser

Sejak lengsernya Susi Pudjiastuti dari jabatan Menteri Kelautan dan Perikanan, perairan Indonesia pun kembali diserbu kapal penangkap ikan China. “Nelayan kami merasa takut,” menurut seorang pejabat.

Dedi tahu di mana ikan paling banyak di perairan Indonesia di lepas pantai Pulau Natuna. Demikian juga China.

Didukung oleh kapal-kapal bersenjata Penjaga Pantai China, armada-armada penangkapan ikan China telah menyerbu perairan kaya di Laut China Selatan yang secara internasional diakui secara eksklusif sebagai kekayaan perikanan Indonesia.

Sementara Dedi memancing secara tradisional dengan jaring dan senar pancing, pukat baja China mengeruk hingga dasar laut dan menghancurkan kehidupan laut lainnya. Dengan demikian, bukan hanya kapal pukat China melanggar batas laut, mereka juga merusak kehidupan laut di sekitarnya.

“Mereka datang ke perairan kita dan membunuh segalanya,” keluh Dedi. “Saya tidak mengerti mengapa pemerintah tidak melindungi kami.”

Baca Juga: Rentetan Tantangan Indonesia di Laut Natuna

Khawatir akan menyinggung China yang merupakan mitra dagang terbesar Indonesia, para pejabat setempat telah meremehkan serangan oleh kapal-kapal nelayan China, berusaha untuk menghindari konflik dengan negara itu atas klaimnya di perairan tersebut. Namun, dengan kehadiran China yang semakin agresif, para nelayan di Natuna merasa rentan.

“Ada periode jeda, lalu China kembali,” ujar Ngesti Yuni Suprapti, Wakil Bupati Kepulauan Natuna. “Nelayan kami merasa takut.”

Episode terbaru terjadi pada Februari 2020, menurut para nelayan, ketika kapal-kapal nelayan China yang dikawal oleh kapal-kapal Penjaga Pantai China kembali melemparkan jaring pukat. Pandemi COVID-19 yang memuncak di China pada saat itu tampaknya tidak mengurangi ambisi global negara tersebut.

Namun, Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia membantah adanya gangguan oleh China. Pemerintah tidak menyediakan data tentang serbuan kapal-kapal nelayan asing.

Menurut catatan The New York Times, penangkapan ikan ilegal China di dekat Natuna menimbulkan konsekuensi global, mengingatkan pemerintah daerah Beijing yang memperluas klaim ke jalur air di mana sepertiga arus perdagangan maritim dunia. Namun, para pejabat setempat di Natuna tidak mengendalikan situasi yang terjadi di dekat pantai mereka.

“Kami hanya memiliki wewenang atas tanah kami,” ujar Ketua DPRD Natuna Andes Putra. “Pemerintah provinsi dan pusat yang menangani laut.”

Namun, dengan beberapa lembaga yang bertanggung jawab untuk melindungi laut, yakni angkatan laut, penjaga pantai, polisi laut, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan, ada berbagai pengambilan keputusan berbeda, menurut para analis.

“Terdapat kekurangan satu lembaga pemimpin yang koheren atau kebijakan koheren tunggal untuk keamanan maritim,” tutur Evan Laksmana, peneliti senior di Center for Strategic and International Studies di Jakarta. “China bisa memanfaatkan itu.”

Impunitas China mulai terlihat pada Januari 2020 ketika Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo mengunjungi Natuna.

“Tidak ada tawar-menawar dalam hal kedaulatan kita,” tegas Jokowi. Sebelumnya, sejumlah jet tempur Indonesia terbang di langit, sementara kapal perang berpatroli di laut.

Namun, sehari setelah Jokowi meninggalkan Natuna, China kembali muncul. Armada nelayannya, yang didukung oleh Penjaga Pantai China, baru meninggalkan wilayah itu berhari-hari kemudian, menurut nelayan dan pejabat setempat.

Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia membantah insiden semacam itu telah terjadi.

Dalam peta China, garis yang terbuat dari sembilan garis putus-putus mencaplok sebagian besar Laut China Selatan sebagai milik China. Salah satu garis membelah perairan utara Natuna.

Sementara China mengakui kedaulatan Indonesia atas Natuna, Kementerian Luar Negeri China menggambarkan laut di dekatnya sebagai “daerah penangkapan ikan tradisional” China.

“Apakah pihak Indonesia menerimanya atau tidak, tidak ada yang akan mengubah fakta objektif China memiliki hak dan kepentingan atas perairan yang relevan,” tegas juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang pada Januari 2020.

Pada 2016, pengadilan internasional menetapkan sembilan garis putus-putus tersebut tidak berdasar secara hukum. Pemerintah China mengabaikan putusan itu. Sebaliknya, China terus mengubah pulau-pulau kecil dan atol yang diperebutkan menjadi pangkalan militer untuk memproyeksikan kekuatannya di kawasan Laut China Selatan.

“Sedikit demi sedikit, saya yakin China akan merebut laut Indonesia, Filipina, dan Vietnam,” ucap Wandarman, nelayan di Natuna. “Mereka rakus: minyak, gas alam, dan banyak sekali ikan.”

Laut Natuna Utara: Sebuah Tanggapan untuk Cina

Sebuah Kapal Penjaga Pantai China berlayar dekat dengan Kapal Angkatan Laut KRI Imam Bonjol ketika sedang berusaha menangkap kapal nelayan Han Tan Cou dekat Kepulauan Natuna pada tanggal 17 Juni 2016. (Foto: Reuters)

Baca Juga: Indonesia, China, dan Kunci Natuna

Para nelayan China membantu memenuhi kebutuhan pangan yang terus tumbuh di negeri itu dengan menangkap ikan di Laut China Selatan. Namun, penangkapan ikan itu juga melayani tujuan yang lebih luas.

“China ingin nelayan China beroperasi di sini,” tutur Ryan Martinson, asisten profesor di China Maritime Studies Institute di United States Naval War College, “karena kehadiran mereka membantu mewujudkan klaim maritim China.”

Selama masa jabatan pertama Jokowi, Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia Susi Pudjiastuti menentang China dan negara-negara lain yang beroperasi secara ilegal di perairan Indonesia.

Angkatan Laut Indonesia saat itu melepaskan tembakan peringatan ke kapal-kapal nelayan China. Menteri Susi juga memerintahkan perampasan kapal asing dan telah meledakkan puluhan kapal. Satu kapal pukat Vietnam hingga kini masih terpuruk setengah tenggelam di pelabuhan Natuna.

Sebagai hasil dari kebijakan penenggelaman kapal Susi, kapal-kapal China berhenti mengganggu dalam jumlah besar, menurut para nelayan di Natuna.

“Dia (Menteri Susi) melindungi kami. Dia melindungi Indonesia,” kata Idil Basri, kapten kapal penangkap ikan Natuna.

Namun, sikap Susi yang populer di masyarakat telah membuat banyak orang lain di pemerintahan jengkel karena menganggapnya terlalu konfrontatif, menurut para analis politik. Ketika Jokowi melakukan perombakan kabinet untuk masa jabatan kedua pada Oktober 2019, Susi pun digantikan oleh menteri yang dianggap lebih berdamai dengan China.

Di Natuna, perubahannya terjadi hampir seketika, menurut para nelayan.

“Perahu China pun kembali,” keluh Dedi.

Pada akhir Oktober 2019, satu hari setelah kabinet baru Jokowi dilantik, perahu Dedi berada dalam zona ekonomi eksklusif 200 mil laut, di mana hanya orang Indonesia yang diizinkan oleh hukum internasional untuk menangkap ikan.

Sebuah kapal Penjaga Pantai China muncul, lalu kapal penjaga yang lain. Dedi bergegas untuk merekam video koordinat kapalnya, 72 mil laut di utara Natuna.

Meskipun tidak ilegal bagi kapal militer asing untuk transit di perairan tersebut, kapal penjaga pantai telah melindungi kapal pukat China.

Setelah menyerahkan videonya kepada otoritas maritim setempat, Dedi menunggu tindakan. Ketika tidak ada tindakan yang diambil, dia memutuskan mengunggahnya di Facebook. Petugas keamanan Indonesia pun memanggilnya dan terdengar samar-samar mengancam.

Dedi terus mengalami pertikaian dengan kapal-kapal China hingga Februari 2020. Dalam salah satu kasus, dia berselisih dengan kapal China selama satu jam sebelum dia berbalik karena kurangnya sokongan dari Indonesia. “Kami pun pergi, tetapi mereka masih ada di perairan Indonesia,” keluh Dedi.

Pengerahan militer China di pulau-pulau yang disengketakan di Laut China Selatan telah meningkatkan kemampuan penjaga pantainya untuk menjelajahi perairan di dekat Natuna. Selama badai, kapal-kapal nelayan China juga bisa berlindung di pulau-pulau buatan tersebut.

Pada 2016, The New York Times melaporkan, ketika pihak berwenang Indonesia mencoba menarik kapal China yang beroperasi di lepas pantai Natuna, sebuah kapal Penjaga Pantai China masuk dan memutuskan tali penarik, sehingga memungkinkan nelayan China melarikan diri.

Untuk mengimbangi kehadiran China, pemerintah Indonesia mulai membangun pangkalan militer di Natuna empat tahun lalu. Saat ini, fasilitas tersebut terbengkalai dan masih kosong kecuali beberapa prajurit.

Taktik terbaru pemerintah pusat adalah memindahkan ratusan nelayan dari Pulau Jawa yang padat penduduk ke Natuna untuk bertindak sebagai penjaga maritim. Sayangnya, para nelayan di Natuna menentang gagasan itu karena nelayan Jawa disubsidi oleh negara dan melakukan penangkapan ikan dengan kapal pukat yang sama merusaknya seperti China.

Wandarman mengaku akibat banyaknya kapal asing dalam beberapa bulan terakhir, hasil tangkapannya berkurang setengah. Namun, memancing adalah mata pencahariannya. Pulau tempat ia tinggal hanya memiliki dua lampu lalu lintas dan tidak banyak pekerjaan yang dapat mendukung kehidupannya secara ekonomis selain laut.

“Perahu kami kecil dan terbuat dari kayu. Penjaga Pantai China bersenjata dan modern,” keluh Wandarman. “Ketakutan saya di luar sana lebih besar daripada besarnya lautan.”

 

Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari

Editor: Purnama Ayu Rizky

Keterangan foto utama: Di era Menteri Perikanan Indonesia Susi Pudjiastuti, kontrol atas perahu asing di perairan Indonesia sangat ketat, bahkan sengaja ditenggelamkan jika kedapatan mencuri kekayaan laut kita. (Foto: NurPhoto via AFP Forum/Donal Husni)

Nelayan Laut Natuna Diserbu China Usai Menteri Susi Lengser

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top