Penolakan di Indonesia terhadap omnibus law yang bertujuan menarik investasi adalah masalah baru bagi Presiden Joko Widodo, di tengah perjuangannya untuk mengatasi COVID-19. UU tersebut dapat membantu mengangkat ekonomi, tetapi hasilnya tidak akan cepat, tulis Richard Borsuk dari RSIS di Eurasia Review.
Presiden Joko Widodo menginginkan penyelesaian cepat masalah menarik investasi asing, dan DPR telah memberinya alat yang dia inginkan. Namun Jokowi justru menghadapi masalah baru di atas masalah raksasa COVID-19, dan upaya untuk menarik investor kemungkinan tidak akan memberikan hasil dalam waktu dekat.
Pada 5 Oktober 2020, DPR segera menyetujui RUU tebal berjudul “Cipta Kerja” yang bertujuan untuk memangkas birokrasi dan memudahkan investor, untuk membantu menciptakan lapangan kerja bagi jutaan anak muda Indonesia. Berdasarkan judulnya, tampaknya undang-undang baru tersebut akan disambut baik, tetapi reaksinya justru sebaliknya.
Penolakan terhadap Omnibus Law
UU itu akan “menginjak-injak” pekerja dan hanya akan menguntungkan kaum kapitalis dan konglomerat, keluh ketua organisasi Islam terbesar Nahdlatul Ulama (NU), di mana pemimpin Syurah (Dewan Tertinggi) sebelumnya sekarang menjadi wakil presiden Jokowi. Perwakilan Amnesty International Jakarta mengecam undang-undang tersebut sebagai “bencana” bagi hak asasi manusia dan tenaga kerja.
Media sosial dipenuhi dengan serangan terhadap perubahan yang direncanakan dalam kebijakan ketenagakerjaan dan lingkungan. Gubernur beberapa provinsi di Indonesia meminta Jokowi untuk mencabut undang-undang tersebut.
Dan ada reaksi negatif terhadap undang-undang itu di jalan-jalan, dengan protes di puluhan kota, beberapa di antaranya berubah menjadi kekerasan. Kerumunan termasuk siswa yang tidak senang dengan Jokowi dan beberapa orang dilaporkan dibayar untuk menjadi provokator, oleh individu dengan agenda politik.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyerahkan berkas pendapat akhir pemerintah kepada Ketua DPR Puan Maharani saat pembahasan tingkat II RUU Cipta Kerja Omnibus Law selama Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen di Senayan, Jakarta Pusat pada Senin, 5 Oktober 2020. (Foto: Hafidz Mubarak A./Antara Foto)
Meski begitu, masih ada ribuan pekerja yang dengan damai menunjukkan ketidaksetujuan mereka terhadap undang-undang yang dikenal sebagai Omnibus Law.
Penolakan atas inisiatifnya untuk memenangkan investor adalah yang terbaru dari serangkaian kemunduran Jokowi tahun ini, Richard Borsuk mencatat. COVID-19 telah mendorong jutaan orang kembali ke dalam kemiskinan, dan negara ini memasuki resesi pertamanya sejak Krisis Keuangan Asia lebih dari 20 tahun yang lalu.
Kebutuhan untuk mendongkrak pengeluaran negara untuk membantu penduduk miskin, membuat pembangunan ibu kota baru Indonesia yang diusulkan di Kalimantan Timur (yang dilihat Jokowi sebagai proyek warisan) tidak dapat dimulai tahun ini.
RUU omnibus law yang ambisius mengubah 79 undang-undang yang ada, yang berisi kebijakan yang tumpang tindih atau kontradiktif. Para pendukung RUU tersebut memuji bahwa diperlukan upaya untuk mengurangi persyaratan perizinan yang rumit di Indonesia yang sangat birokratis.
Seorang ekonom Bank Dunia mengatakan, RUU tersebut akan berpotensi untuk “mendongkrak” pemulihan ekonomi Indonesia dari COVID-19.
Meskipun para pebisnis pada umumnya menyambut baik undang-undang tersebut (dan memberikan masukan terbanyak pada proposalnya), terdapat penolakan kuat dari kelompok masyarakat sipil, yang mengatakan bahwa mereka tidak dapat memberikan masukan terhadap usulan perubahan undang-undang ketenagakerjaan dan lingkungan.
Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) memuji perubahan dalam kebijakan pangan dan pertanian, termasuk menghapus batas 30% pada kepemilikan asing di bisnis perkebunan, hortikultura, dan peternakan.
Jokowi: ‘Kita Punya Masalah’
Berdasarkan aturan Indonesia, RUU yang disahkan oleh DPR akan secara otomatis menjadi undang-undang dalam 30 hari, bahkan jika presiden tidak menandatanganinya. NU mengatakan akan meminta Mahkamah Konstitusi untuk menolak undang-undang tersebut, meskipun tidak jelas alasan apa yang mungkin dikutip kelompok tersebut. Para analis meragukan pengadilan akan memutuskan undang-undang tersebut tidak konstitusional, lanjut Richard Borsuk.
RUU itu berasal dari Jokowi yang menyadari tahun lalu betapa buruknya nasib Indonesia dalam menarik pabrik yang mengalihkan produksi ke Asia Tenggara dari China karena tarif impor AS. Bank Dunia mengatakan, dari 33 relokasi, 23 ke Vietnam dan tidak ada yang ke Indonesia.
“Kita punya masalah,” keluh Jokowi.
Dia pikir omnibus law akan mengurangi apa yang dia sebut “obesitas regulasi”: Selain itu, dia yakin bisa mendapatkannya melalui DPR, mendapat dukungan dari hampir 75% anggotanya. (Dia tidak memiliki mayoritas pada masa jabatan pertama).
Jokowi ingin DPR (yang menerima draf asli besar-besaran pada Februari), bertindak dalam waktu 100 hari. Tetapi kemudian datang COVID-19, dan kritik membanjiri pemerintahnya, yang oleh banyak orang dianggap lambat dan tidak efektif dalam memerangi pandemi.
Pada April, DPR mulai membahas omnibus law, dan sejak September dipercepat penanganannya.
Pasar Tenaga Kerja yang Kaku
Setelah undang-undang itu disahkan, Jokowi tidak mengatakan apa-apa di depan umum selama empat hari, di mana protes anti-RUU menyebar. Ketika dia berbicara, Jokowi mengatakan bahwa yang menentangnya “salah informasi” dan banyak “hoaks” menyesatkan. Dia mengajak para penentangnya untuk membawa ke Mahkamah Konstitusi jika tidak setuju.
Salah satu fokus utama oposisi adalah perubahan pada undang-undang ketenagakerjaan tahun 2003 yang didorong oleh Presiden Megawati Soekarnoputri saat itu. Undang-undang tersebut memberikan pesangon maksimum kepada pekerja sebesar 32 bulan gaji, salah satu tingkat tertinggi di dunia.
Kelompok bisnis telah lama mendorong untuk menurunkan level itu. Capital Economics, sebuah konsultan, mengatakan salah satu alasan Indonesia berjuang keras untuk mengembangkan basis manufaktur padat karya yang telah menopang kesuksesan di tempat lain di Asia adalah, “pasar tenaga kerja yang kaku yang membuat sulit untuk mempekerjakan dan memecat pekerja”.
Rancangan undang-undang baru mengurangi maksimal pesangon 25 bulan, di mana perusahaan membayar 19 bulan dan pemerintah menanggung enam bulan di bawah skema asuransi pengangguran baru.
Para penentang perubahan undang-undang ketenagakerjaan berpendapat bahwa pemerintah bisa saja menggunakan skema asuransi pengangguran dan menghapusnya nanti, setelah COVID-19 berhasil diatasi dan situasi ekonomi tidak begitu suram. Mereka juga mempertanyakan bagaimana asuransi pengangguran akan bekerja, dengan anggaran pemerintah yang kesulitan, Richard Borsuk mencatat.
Jawaban atas Masalah Jokowi?
Jawaban atas pertanyaan itu dan pertanyaan lain tentang undang-undang omnibus law seharusnya ada dalam “peraturan pelaksanaan” untuk undang-undang.
Wadah pemikir CIPS memberikan catatan peringatan tentang peraturan tersebut. “Indonesia terkenal lamban atau gagal dalam penerapan undang-undang baru,” bunyinya, dikutip Eurasia Review. “Menegakkan undang-undang baru ini di 34 provinsi bukanlah hal yang mudah.”
Jokowi mengatakan, peraturan pelaksanaan akan selesai dalam tiga bulan, yang akan sangat cepat bagi birokrasi Indonesia. Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, Jokowi ingin itu selesai dalam satu bulan. “Itu tidak mungkin,” ungkap Yanuar Nugroho, Wakil Kepala Staf Jokowi di masa jabatan pertamanya.
Penantian regulasi tersebut dan fakta bahwa hampir tidak ada pengunjung ke Indonesia saat ini akibat COVID-19, berarti butuh waktu lama sebelum tawaran untuk meningkatkan investasi asing membuahkan hasil.
Kuncinya adalah penerapan hukum, karena investor di Indonesia membutuhkan (dan seringkali tidak mendapatkan) kepastian hukum, pungkas Richard Borsuk.
Penerjemah dan editor: Aziza Larasati
Keterangan foto utama: Presiden Indonesia Joko Widodo. (Foto: Reuters)
Omnibus Law Cipta Kerja Bukan Obat Mujarab Investasi Indonesia