Omnibus Law bikin geger satu negara. Tidak hanya itu, undang-undang super akbar ini juga akan mengungkap prioritas Jokowi, di saat negara tengah menghadapi musuh bersama, pandemi COVID-19.
DPR telah mengeluarkan undang-undang baru yang kontroversial yang dikenal sebagai Omnibus Law, dinamakan demikian karena menyatukan serangkaian undang-undang yang berbeda.
Langkah-langkah yang dikemas dalam Omnibus Law dirancang untuk merampingkan regulasi ekonomi, menetapkan struktur untuk pembangunan ibu kota baru Indonesia, dan memulihkan derajat sentralisasi pengambilan keputusan terkait masalah lingkungan, tulis Arizka Warganegara dalam analisisnya di East Asia Forum.
Salah satu undang-undang yang paling penting dan paling hangat diperdebatkan adalah Undang-Undang Cipta Kerja, yang mempengaruhi masalah yang terkait dengan mata pencaharian seperti upah minimum. Penolakan yang kuat terhadap paket legislatif ini telah memanifestasikan dirinya dalam unjuk rasa protes di seluruh negeri, yang melibatkan puluhan ribu orang dan seruan untuk pemogokan nasional.
Mengesahkan Omnibus Law adalah mimpi politik yang menjadi kenyataan bagi Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo. Jokowi sering berbicara tentang ketidakpuasannya terhadap birokrasi negara dan dampaknya dalam berbisnis di Indonesia. Organisasi internasional dan lobi bisnis domestik secara teratur menyebut hal ini sebagai penghalang pertumbuhan ekonomi.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyerahkan draf RUU Omnibus Law kepada Ketua DPR Puan Maharani pada Februari lalu. (Foto: Antara/Astrid Faidlatul Habibah)
Pemerintahan Jokowi mengklaim, Undang-Undang Cipta Kerja akan meningkatkan investasi asing langsung (FDI) melalui peraturan yang tidak terlalu ketat, memberikan dorongan yang signifikan untuk lapangan kerja dan ekonomi negara. Posisi Jokowi sangat didukung oleh kelompok bisnis besar, tidak terkecuali oleh pengusaha terkemuka yang memiliki koneksi dekat dengan kabinetnya, Arizka Warganegara mencatat.
Penentangan terhadap UU tersebut berasal dari berbagai kekuatan sosial. Serikat buruh berpendapat bahwa ketentuan dalam undang-undang itu memprioritaskan kepentingan sektor perusahaan, dan akan menyebabkan ketidakamanan kerja yang lebih besar dan gaji yang lebih rendah di tempat kerja. Undang-undang tersebut, menurut mereka, cenderung mengarah pada kemerosotan hak dan kesejahteraan pekerja.
Kelompok lingkungan telah menjadi lawan terkuat terhadap UU Cipta Kerja. Mereka mengklaim, undang-undang tersebut akan mengarah pada persetujuan pemerintah dalam putaran kerusakan lingkungan yang diperbarui dan semakin intensif.
Unsur perbedaan pendapat lebih lanjut diperkenalkan ketika undang-undang tersebut ditentang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI, badan ulama tertinggi Indonesia yang diketuai oleh wakil presiden Jokowi sendiri) dan sejumlah kelompok Islam memulai protes jalanan.
Pengesahan Omnibus Law memunculkan sejumlah isu politik sentral, tiga di antaranya Arizka Warganegara pertimbangkan di sini.
Pertama adalah apa yang ditunjukkannya tentang dinamika politik Indonesia dan khususnya posisi Jokowi saat ini. Undang-undang tersebut diajukan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan apa yang diklaim oleh banyak kelompok sipil sebagai kurangnya konsultasi publik yang substantif.
Pasca-Pilpres 2019, Jokowi membentuk koalisi besar partai dengan hanya dua partai parlemen ‘di luar pemerintahan’. Di dalam parlemen, hampir tidak ada oposisi terhadap pemerintahannya. Bagi para kritikusnya, hal itu membuatnya terikat pada kepentingan bisnis, terutama bisnis yang dimiliki oleh anggota lingkaran dalamnya sendiri.
Jokowi tampaknya sama-sama menjauhkan diri dari aktor politik informal seperti tokoh masyarakat dan agama serta elit non-penguasa, lanjut Arizka Warganegara. Jokowi begitu nyaman dengan posisi parlementernya, sehingga dia menganggap tidak perlu menempatkan wakil presidennya sendiri untuk memenangkan dukungan di antara kelompok-kelompok Islam. Meski begitu, belum ada satu pun aktor yang mampu menetralisir kepentingan tokoh Islam Indonesia saat ini.
Masalah kedua terkait dengan potensi dampak undang-undang tersebut terhadap perekonomian dan apakah pelonggaran peraturan memang akan berdampak pada investasi masuk atau tidak.
Dalam konteks ini, menarik untuk diketahui bahwa pada 9 Oktober 2020, hanya beberapa hari setelah disahkannya Omnibus Law, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan, mengadakan pertemuan bilateral dengan Menteri Luar Negeri China, Wang Yi.
Jokowi memberikan mandat kepada Luhut untuk mengkoordinasikan investasi China di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa salah satu tujuan Omnibus Law adalah untuk mendorong lebih banyak investasi China. Mungkinkah ini menandakan ‘putaran ke China’ dalam kebijakan ekonomi Indonesia?
Ketiga, pemberlakuan Omnibus Law yang tergesa-gesa telah menyoroti prioritas Jokowi di saat pemerintah tidak berhasil menghentikan penyebaran virus COVID-19. Para pendukung undang-undang tersebut berpendapat, investasi baru akan membantu ekonomi pulih dari efek pandemi yang merusak dan menciptakan peluang kerja baru.
Tetapi ada perasaan yang tersebar luas bahwa pemerintahan Jokowi telah membiarkan rakyat menderita akibat pandemi, sementara ia memikirkan cara-cara baru untuk memajukan kepentingan banyak anggota parlemen nasional yang terlibat dalam kegiatan bisnis. Kekuatan perasaan inilah yang membantu membawa ribuan pengunjuk rasa turun ke jalan di kota-kota besar Indonesia seperti Medan, Bandung, dan Jakarta, meskipun berpotensi menyebarkan virus COVID-19 lebih lanjut.
Di tengah semua ketidakpastian saat ini, yang diperkuat berkali-kali oleh COVID-19, pengesahan Omnibus Law tampaknya akan menggambarkan masa jabatan kedua Jokowi, karena apa yang diceritakan kepada kita tentang hubungannya dengan pusat-pusat kekuatan nasional lainnya, Arizka Warganegara menyimpulkan.
Penerjemah dan editor: Aziza Larasati
Keterangan foto utama: Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo. (Foto: Getty Images/Bloomberg/Dimas Ardian)