Kerusuhan Papua Barat
Berita Politik Indonesia Hari Ini

Papua Barat, Isu Sensitif dalam Hubungan Indonesia-Australia

Seorang pelajar Papua dengan bendera Bintang Kejora terlukis di wajahnya selama demonstrasi di Jakarta, 28 Agustus 2019. (Foto: AFP Forum/NurPhoto/Andrew Gal)
Berita Internasional > Papua Barat, Isu Sensitif dalam Hubungan Indonesia-Australia

Papua Barat telah menjadi isu sensitif dalam hubungan Indonesia-Australia. Sensitivitas konflik Papua dalam hubungan Indonesia-Australia mencerminkan peran Australia yang membayangi pemisahan Timor Leste dari Indonesia—sebuah faktor yang dipahami dengan baik oleh para elit politik dan militer di pemerintah pusat Jakarta.

Baca Juga: Jurnalis Indonesia Kena Peluru Karet saat Protes Hong Kong

November 2018, kelompok aktivis Australia Juice Media mengunggah sebuah video satir Honest Government Ads edisi promosi pariwisata di Papua. Video tersebut menampilkan sikap kritis terhadap kebijakan represif dan eksploitatif Indonesia di Papua, termasuk dukungan dan keterlibatan pemerintah Australia dengan kebijakan Indonesia.

Selama krisis di Papua saat ini, video Juice Media itu telah diunggah kembali secara anonim untuk menyuarakan kekhawatiran Indonesia tentang niat Australia di Papua. Video itu sempat diunggah di YouTube dan diberi judul dalam bahasa Indonesia sebagai “Iklan provokatif dari Australia: Hati-hati Australia siap untuk mencaplok Papua; Jaga persatuan Indonesia.” Video yang dirilis ulang itu telah beredar luas di Indonesia hingga akhirnya diblokir dari YouTube.

Ketika diunggah kembali dengan maksud tertentu, video itu memberikan wawasan tentang kompleksitas dan sensitivitas bagaimana konflik yang tak terselesaikan di Papua mempengaruhi hubungan Australia dengan Indonesia. Video tersebut mengutip dukungan pemerintah Australia terhadap kedaulatan Indonesia serta pelatihan militer dan polisi, maupun keterlibatan perusahaan tambang Rio Tinto sebelumnya dalam tambang emas dan tembaga Freeport.

Meskipun Australia telah memberikan dukungan yang konsisten untuk kedaulatan Indonesia, namun penerimaan Australia terhadap 43 pencari suaka Papua tahun 2006 menyebabkan penarikan Duta Besar Indonesia dari Canberra dan menunjukkan bagaimana konflik di Papua dapat mengganggu stabilitas hubungan bilateral.

Krisis pencari suaka telah ditangani lewat Perjanjian Lombok antara Indonesia dan Australia, ketika masing-masing pihak sepakat untuk tidak mendukung atau berpartisipasi dalam kegiatan yang merupakan ancaman bagi stabilitas, kedaulatan, atau integritas teritorial satu sama lain, termasuk separatisme. Kedua belah pihak juga sepakat bahwa mereka tidak akan mengizinkan wilayah mereka digunakan untuk kegiatan semacam itu.

Meskipun dengan adanya Perjanjian Lombok, kegiatan lanjutan kelompok-kelompok pro-kemerdekaan Papua di Australia tetap menimbulkan masalah dalam hubungan bilateral. Bahkan pelatihan militer Indonesia di Australia telah menciptakan ketegangan terkait dengan Papua, tulis Richard Chauvel di ASPI The Strategist.

Pada awal 2017, Jenderal Gatot Nurmantyo—yang saat itu menjadi Panglima Tentara Nasional Indonesia—mengumumkan penangguhan kerja sama pertahanan di tengah klaim bahwa pelatihan militer yang diadakan di Perth telah melibatkan penugasan tentang apakah Papua—sebagai masyarakat Melanesia—harus merdeka.

Dikutip dari ASPI The Strategist, Kamis (3/10), konflik di Papua telah berlangsung sejak Indonesia mengambil alih kekuasaan atas wilayah tersebut tahun 1963. Demonstrasi pro-kemerdekaan dan insiden rasisme seperti yang terjadi belakangan ini bukanlah hal baru. Namun, demonstrasi bulan Agustus-September 2019 merupakan perubahan signifikan dalam dinamika konflik.

Baca Juga: Kembalinya Dinasti Politik: Game of Thrones dalam Politik Indonesia

Aktivis Papua Barat

Diskriminasi ras dan etnis terhadap orang Papua telah mendorong protes dan kerusuhan yang tengah terjadi di Papua Barat. (Foto: AP/Tatan Syufiana)

Rangkaian peristiwa itu memberikan bukti lebih lanjut yang mendukung argumen para peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tahun 2017, bahwa ada generasi muda aktivis pro-kemerdekaan yang lebih terorganisir, lebih banyak, dan lebih terkoordinasi dengan para pemimpin aktivis kemerdekaan di pengasingan.

Rasisme yang diekspresikan kepada mahasiswa Papua di Jawa Timur—yang dipanggil monyet, anjing, dan babi—telah membantu menyatukan orang Papua karena perlakuan semacam itu sejalan dengan pengalaman begitu banyak penduduk asli Papua. Rasisme telah dipersenjatai untuk mendukung referendum dan kemerdekaan, sebagaimana tercermin dalam beberapa slogan yang diusung selama demonstrasi: “Bebaskan Monyet dari Indonesia,” “Rasisme hanya akan berakhir dengan Referendum.”

Persebaran geografis dan kegigihan demonstrasi, skala kekerasan, hingga hilangnya nyawa dan kehancuran infrastruktur, merupakan faktor yang sangat penting. Tetapi hal-hal tersebut juga menunjukkan posisi Papua dan orang Papua di Indonesia, Richard Chauvel memaparkan.

Hinaan rasis yang memicu kekerasan baru-baru ini ditujukan kepada mahasiswa Papua di Surabaya maupun di berbagai tempat lain oleh anggota pasukan keamanan dan kelompok nasionalis. Pasukan keamanan dan kelompok nasionalis yang sama tersebut—meski sangat mendukung status Papua sebagai bagian integral dari Indonesia—jelas tidak mempertimbangkan bahwa para pelajar itu merupakan sesama warga Indonesia.

Ratusan siswa Papua telah kembali ke Papua dari studi mereka di sejumlah provinsi lain di Indonesia, karena khawatir akan keselamatan mereka.

Kekerasan dan pembunuhan di Wamena pada Senin, 23 September 2019, juga dipicu oleh laporan hinaan rasis terhadap siswa sekolah menengah. Dalam apa yang digambarkan Amnesty International sebagai “salah satu hari paling berdarah dalam 20 tahun terakhir di Papua, yang menewaskan sedikitnya 24 orang dalam 24 jam,” kekerasan di Wamena melibatkan konflik antara orang Papua dan migran pendatang dari berbagai wilayah lain di Indonesia.

Kapolri Tito Karnavian mengumumkan bahwa lebih banyak polisi akan dikerahkan ke Wamena untuk melindungi komunitas migran pendatang. The Jakarta Post melaporkan eksodus ribuan penduduk Wamena, di mana migran pendatang bertolak ke Jayapura dan Timika, sementara penduduk asli Papua pergi ke daerah-daerah sekitarnya di dataran tinggi.

Konflik antar-komunitas di Wamena ini juga merupakan cerminan dari ketegangan politik dan ekonomi. Salah satu faktor utama yang memicu nasionalisme Papua dan dukungan untuk kemerdekaan adalah transformasi demografis Papua di bawah pemerintahan Indonesia. Migran pendatang menyusun hampir 34 persen dari populasi Papua tahun 2010, sementara penduduk asli Papua tetap terpinggirkan dalam ekonomi perkotaan.

Setelah demonstrasi awal di Papua—namun sebelum konflik antar-masyarakat baru-baru ini di Wamena—Caryo Pamungkas, seorang spesialis Papua di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menyatakan kekhawatirannya tentang kemungkinan konflik horizontal antara penduduk asli Papua dan migran pendatang.

Sensitivitas konflik Papua dalam hubungan Australia dengan Indonesia mencerminkan peran Australia yang membayangi pemisahan Timor Leste dari Indonesia—sebuah faktor yang dipahami dengan baik oleh para elit politik dan militer di pemerintah pusat Jakarta. Di era sebelumnya, Australia juga memberikan dukungan selama 12 tahun untuk Belanda melawan klaim Indonesia bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia.

Setelah beberapa minggu sejak awal krisis Papua kali ini, Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne harus ditanyai pada sebuah wawancara, sebelum akhirnya dia menyatakan kekhawatirannya tentang laporan kekerasan dan mendesak penahanan diri dari kedua belah pihak.

Dari semua negara tetangga Indonesia, Australia memiliki kepentingan terbesar dalam penyelesaian konflik Papua secara damai. Krisis saat ini menunjukkan bahwa kerangka kerja kebijakan Indonesia yang sudah mapan—yang sangat bergantung pada kekuatan militer—tidak terbukti mengurangi dukungan kemerdekaan Papua.

Itu adalah kepentingan nasional Australia untuk mendorong Indonesia mengembangkan kerangka kebijakan yang menawarkan beberapa prospek resolusi damai, Richard Chauvel menyimpulkan. Langkah ini akan memerlukan penerimaan oleh orang Papua bahwa mereka adalah bagian dari Indonesia, serta penerimaan oleh orang Indonesia dari berbagai wilayah lainnya bahwa orang Papua adalah sesama warga negara Indonesia.

 

Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari

Editor: Aziza Fanny Larasati

Keterangan foto utama: Seorang pelajar Papua dengan bendera Bintang Kejora terlukis di wajahnya selama demonstrasi di Jakarta, 28 Agustus 2019. (Foto: AFP Forum/NurPhoto/Andrew Gal)

Papua Barat, Isu Sensitif dalam Hubungan Indonesia-Australia

BERLANGGANAN

1 Comment

1 Comment

  1. Editorizal

    October 5, 2019 at 5:20 am

    Australia selalu takut tentang adanya invasi dari utara, maka keutuhan dan stabilitas RI sangat penting bagi mereka 😁

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top