“Neo-Orde Baru” mungkin bukan label yang tepat, tetapi cukup jelas reformasi telah menjadi sejarah. Apa yang tidak begitu jelas adalah di mana Indonesia akhirnya akan mendarat. Ketidakpastian saat ini merupakan salah satu karakteristik utama dari era pasca-reformasi, dan sumber dari banyaknya kebingungan dan kecemasan yang ada di masyarakat Indonesia.
Tim Lindsey, Profesor Hukum Asia di Malcolm Smith, dalam Indonesia at Melbourne menulis, Mei 1998 adalah momen yang menentukan bagi sejarah Indonesia. Pemerintahan otoriter Soeharto selama 32 tahun berakhir ketika rezim Orde Baru yang korup runtuh di tengah kekacauan ekonomi dan politik yang dipicu oleh Krisis Ekonomi Asia.
Selama lima tahun setelah itu, kaum elit yang bertahan, oligarki, dan para pemimpin masyarakat sipil yang baru dan percaya diri perlahan-lahan menegosiasikan sistem demokrasi baru dengan ambisi liberal. Hal ini mengangkat cita-cita yang sebelumnya terus tertindas, namun masih gigih dipertahankan untuk negara hukum dan hak asasi manusia, serta politik, bisnis, dan wacana publik yang terbuka hingga ke beragam suara.
Sejak itu, Indonesia telah mendefinisikan dirinya dengan mengacu pada peristiwa-peristiwa katalis tersebut, di tahun-tahun sejak Soeharto secara umum mengacu pada Era Reformasi. Begitulah bagaimana resonansi dari peristiwa pergantian abad, di mana istilah tersebut masih digunakan hingga saat ini, 20 tahun kemudian, meskipun semangat reformasi radikal yang mendorong demokratisasi sekarang memudar.
Kenyataannya, sebagian besar pendukung masyarakat sipil mungkin setuju reformasi telah lama berakhir, mungkin satu dekade atau bahkan satu setengah dekade yang lalu. Namun, label baru untuk menentukan apa yang menggantikan reformasi belum muncul, dan hal ini menggambarkan ketidakpastian di kalangan rakyat Indonesia tentang perubahan sosial dan politik baru-baru ini, dan ke mana arah negara mereka.
Beberapa kritikus terkemuka dari pemerintah mengklaim, walaupun demokrasi elektoral tampaknya telah mengakar, namun demokrasi liberal tengah berada di bawah ancaman populisme dan pembaruan konservativisme. Bagi mereka, Indonesia tampaknya meluncur ke arah apa yang mereka sebut “Neo-Orde Baru”.
Sementara yang lain mengatakan sebutan ini terlalu kasar, dengan alasan perubahan kritis yang menandai berakhirnya sistem Soeharto—mundurnya militer dari pemerintahan ke barak militer—belum berbalik. Mereka juga menonjolkan lembaga pemerintahan baru yang dibentuk pasca-Soeharto untuk memerangi penindasan dan korupsi yang menjadi karakter rezimnya, seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta perkembangan masyarakat sipil yang beragam dan dinamis, dan media yang sebagian besar bebas, bahkan riuh.
Mahasiswa memprotes pemerintahan Suharto di Indonesia. (Foto: Reuters/Darren Whiteside)
Namun, lembaga-lembaga tersebut semakin sulit melakukan tugasnya: dengan merajalelanya korupsi yang mungkin merupakan masalah politik tunggal terbesar di Indonesia, KPK di bawah serangan konstan dari politisi dan polisi, Mahkamah Konstitusi terlibat dalam skandalnya sendiri, pers menghadapi peningkatan penggunaan undang-undang pencemaran nama baik yang menguntungkan politisi dan kaum oligarki, dan masyarakat sipil di bawah tekanan kaum elit.
“Neo-Orde Baru” mungkin bukan label yang tepat tetapi cukup jelas reformasi telah menjadi sejarah. Apa yang tidak begitu jelas adalah di mana Indonesia akhirnya akan mendarat. Akankah demokrasi liberal bangkit kembali? Akankah para kaum oligarki yang berkuasa di Indonesia akhirnya menyempurnakan pengambilalihan pemerintah yang selama ini mereka lakukan dengan perlahan-lahan? Akankah Indonesia mengikuti Malaysia, mengakui hal istimewa politik untuk Islam dan melembagakan intoleransi? Atau apakah negara akan terus berkutat seperti yang terjadi selama sebagian besar abad ini?
Ketidakpastian yang diciptakan oleh semua ini sekarang merupakan salah satu karakteristik utama dari era pasca-reformasi, dan sumber dari banyaknya kebingungan dan kecemasan yang ada di masyarakat Indonesia. Ketegangan ini akan meningkat menjelang pemilu daerah tahun ini dan pemilu nasional pada April tahun depan. Kampanye hitam—berita palsu dan lainnya—sudah berlangsung dan diperkirakan akan mencapai puncaknya pada awal tahun 2019.
Pemilu akan menentukan pola kekuasaan dan dukungan untuk lima tahun ke depan, seperti yang selalu mereka lakukan, tetapi kampanye akan berlangsung sangat intens karena pemilu presiden dan legislatif akan diadakan bersama untuk pertama kalinya pada tahun depan.
Hasil yang mungkin masih belum jelas, kebanyakan karena pengaruh yang mengganggu dari manipulasi media sosial, dan ketidakpastian jutaan milenial muda yang akan memilih (setengah populasi negara tersebut berusia di bawah 40 tahun). Oleh karena itu, tidak mengherankan Pemilu 2019 sudah membayangi segala hal dalam kehidupan publik, sementara kaum elit mulai berebut jabatan.
Ketidakpastian yang mendominasi politik domestik akan memiliki dampak yang sangat besar bagi hubungan luar negeri Indonesia, karena ketidakpastian ini terjadi tepat saat Indonesia—yang berada di titik puncak status kelas menengah—mulai naik secara ekonomi.
Ekonomi RI mulai naik meskipun manajemen ekonominya tidak mengesankan. Untuk semua retorika dari pemerintah tentang keterbukaannya untuk bisnis, dan pengumuman rutin mengenai reformasi untuk memfasilitasi investasi asing, kenyataannya, Indonesia tetap sangat proteksionis. Sekelompok kecil kaum pebisnis yang kuat yang terus mendominasi ekonomi yang sangat tidak kompetitif, merupakan ladang ranjau bagi investor asing. Hal ini khususnya terjadi di tingkat daerah, di mana pengawasan dari pemerintah nasional lemah dan perilaku manipulasi merupakan hal yang umum di kalangan pemerintah daerah.
Namun, Indonesia mungkin akan tetap sejahtera, di mana lembaga survei mengklaim meskipun hanya dapat mempertahankan pertumbuhan PDB sebesar 5 persen saat ini, Indonesia akan segera menjadi negara kekuatan ekonomi global. Tentu saja, para pemimpinnya yakin dengan prediksi, pada 2030, Indonesia akan menjadi salah satu dari tujuh negara ekonomi terbesar di dunia, dan hal ini akan mengubah negara tersebut seperti saat pertumbuhan yang cepat mengubah China. Hal ini—dikombinasikan dengan bentangan geografis strategis Indonesia dan populasinya yang besar (pada saat itu akan mendekati 300 juta jiwa)—akan membuatnya menjadi pemain global, pikir mereka.
Para mahasiswa Indonesia yang menuntut Suharto untuk turun dari jabatannya. (Foto: AP)
Apa artinya ini bagi Australia? Pada tahun 2008, pada puncak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, ketika hubungan dengan Australia ada di tingkat yang terbaik, sebagaimana yang mereka katakan, Andrew McIntyre dan Douglas Ramage menulis makalah tajam berjudul Melihat Indonesia sebagai Negara Normal (Seeing Indonesia as a Normal Country). Di makalah tersebut, mereka berpendapat, RI telah berkomitmen untuk menjalankan demokrasi liberal dan berpartisipasi dalam komunitas internasional. Pluralisme, kata mereka, adalah “fakta mendasar dari masyarakat Indonesia”, dan Australia perlu untuk memikirkan kembali sikap zaman Soeharto pada Indonesia.
Sepuluh tahun kemudian, pemikiran ulang diperlukan lagi. Komitmen Indonesia untuk demokrasi elektoral tetap kuat, tetapi dukungan untuk demokrasi liberal tidak pasti, dan perhatian terhadap opini internasional sangat kurang. Kenyataannya, ekspektasi kebangkitan RI sudah memicu pengalaman populisme, xenophobia, dan ketegasan regional (sebagian besar dipicu oleh Sinophobia yang ganas).
Demikian pula, pluralisme—dan, khususnya, status agama, etnis, dan minoritas sosial—menghadapi tantangan besar dari meningkatnya intoleransi beragama. Apa yang disebut belokan konservatif—semakin besarnya pengaruh kelompok garis keras Islamis, yang ditekankan oleh rezim Soeharto selama sebagian besar kekuasaannya yang lama—adalah rekonsiliasi konsensus nasional tentang pluralisme. Sebenarnya, kelompok-kelompok ini sekarang tampaknya muncul sebagai aliran kanan Indonesia.
Demonstrasi besar-besaran yang dipimpin oleh kelompok-kelompok Islamis yang mengarah pada kekalahan elektoral dan kemudian pemenjaraan terhadap Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama—Gubernur Jakarta keturunan China beragama Kristen—karena penistaan agama, mengejutkan banyak orang Indonesia dan pengamat asing. Lebih buruk lagi, para pendukung pluralisme dan hak minoritas merasa terintimidasi dan, dengan pengakuan mereka sendiri, mulai menyensor diri. Permintaan maaf Sukmawati Soekarnoputri, putri presiden pertama, yang dipaksakan oleh para kritikus Islamis karena sebuah puisi yang ditulisnya memuji budaya tradisional Indonesia atas budaya Islam, hanya akan meningkatkan efek jera dari belokan konservatif dalam wacana publik.
Semua ini berarti Australia akan perlu memeriksa ulang atas harapan-harapannya, di saat negara ini merenungkan masa depan dari era pasca-reformasi yang sangat tidak pasti, yang mungkin membuktikan negara ini menjadi kurang liberal dan kurang menyambut keterlibatan asing.
Kita perlu menyadari, ironisnya, bahkan ketika negara ini masuk ke taraf kelas menengah yang lebih makmur, hubungan Indonesia yang selalu bergejolak dengan negara tetangganya mungkin membuktikan hubungannya akan lebih sulit dalam satu dekade ke depan daripada sebelumnya sejak seabad terakhir ini.
Penerjemah: Nur Hidayati
Editor: Purnama Ayu
Keterangan foto utama: Para mahasiswa merayakan pengunduran diri Presiden Indonesia Suharto di kompleks parlemen di Jakarta pada tahun 1998. (Foto: AFP/Kemal Jufri)