Timur Tengah

Setop Penjualan Senjata AS-Saudi Tak Cukup Akhiri Konflik Yaman

Seorang anak Yaman berdiri di kerangka bus yang terkena serangan udara koalisi pimpinan Saudi pada Agustus 2018. (Foto: AFP/Getty Images)
Berita Internasional > Setop Penjualan Senjata AS-Saudi Tak Cukup Akhiri Konflik Yaman
Advertisements

Pengumuman pada Selasa (26/1) oleh pemerintahan Presiden Amerika Serikat Joe Biden tentang pembekuan sementara penjualan senjata ke Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, menandai langkah besar menuju perdamaian di Yaman. Pada saat yang sama, itu hanya merupakan permulaan dari proses untuk berhasil melepaskan Amerika dan para aktor regional lainnya secara militer dari konflik Yaman.

Sebagai langkah selanjutnya, tim Biden harus memperpanjang pembekuan dan mendorong perubahan perilaku yang berarti dari Arab Saudi dan UEA, untuk mencapai tujuan kebijakan luar negeri yang menyelamatkan nyawa dan pada akhirnya mengakhiri konflik di Yaman.

Pendekatan seperti itu bukanlah tugas kecil, menurut analisis Alexander Langlois di The National Interest, mengingat fondasi geopolitik di Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) saat ini. Konflik Yaman dimulai pada 2014 sebagai perang saudara yang melibatkan faksi-faksi saingan tradisional antara Yaman utara dan selatan, termasuk Gerakan Houthi (Ansar Allah), kelompok Islamis lain yang dikenal sebagai Islah, pasukan pro-pemerintah, dan kelompok selatan-independen yang dikenal sebagai Dewan Transisi Selatan (STC).

Semua itu dengan cepat berkembang menjadi konflik proksi regional multidimensi yang melibatkan Arab Saudi dan UEA, mendukung pasukan pro-pemerintah dan STC di satu sisi, dan Iran mendukung Houthi di sisi lain.

Baca juga: Awal Mula Perang Yaman: Mengapa Konflik Terus Memburuk?

Arab Saudi dan UEA bergabung karena ketakutan terhadap Islamis dan pengaruh Iran atas Gerakan Syiah Houthi. Mengingat perbatasan Yaman dengan Arab Saudi dan kedekatannya dengan UEA, negara-negara itu dengan cepat memutuskan bahwa kemenangan yang menentukan dalam mendukung pasukan pro-pemerintah sangat penting bagi keamanan mereka.

Hal itu terbukti menjadi kesalahan strategis utama, karena semakin mendorong Houthi ke arah Iran untuk mendapatkan dukungan, membagi berbagai faksi Yaman menjadi banyak kelompok militan lainnya, memperluas ruang untuk kelompok ekstremis brutal seperti Al-Qaeda di Semenanjung Arab (AQAP), dan menciptakan konflik berkepanjangan.

Dalam proses menciptakan konflik yang hampir tidak bisa diselesaikan, pihak-pihak yang terlibat konflik menghasilkan krisis kemanusiaan terburuk di dunia. Lebih dari 80 persen populasi Yaman sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup. Lebih dari 14,3 juta orang sangat membutuhkan bantuan hingga hari ini. Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu (IPC) memperkirakan bahwa 47 ribu orang akan menghadapi kondisi kelaparan pada Juni 2021.

Semua itu (selain salah satu wabah kolera terburuk dalam sejarah, pandemi COVID-19, dan kehancuran infrastruktur) adalah produk dari bencana buatan manusia yang disebabkan oleh pertempuran serta blokade laut dan udara koalisi pimpinan Saudi di Yaman.

Seorang siswa Yaman berdiri di atas puing-puing bangunan sekolahnya yang runtuh karena serangan udara oleh koalisi yang dipimpin Arab Saudi di kota Taez. (Foto: AFP/Getty Images)

Menurut analisis Alexander Langlois di The National Interest, Amerika Serikat telah berkontribusi pada penciptaan bencana ini sejak 2015 dengan operasi militer langsung, seperti pengisian bahan bakar pesawat koalisi Saudi, dan penjualan senjata di bawah pemerintahan mantan Presiden AS Barack Obama dan Donald Trump.

Meski mengakhiri program pengisian bahan bakar dan sebagian besar operasi kontraterorisme di Yaman pada 2018, pemerintahan Trump melakukan upaya besar untuk memperluas penjualan senjata, hampir melipatgandakan nilai indikator tren (TIV) penjualan senjata ke Saudi selama masa jabatannya.

Berbagai tindakan itu memuncak dalam upaya pemerintahan Trump untuk mengesahkan penjualan senjata besar dan memperkuat tindakan sebelumnya di hari-hari terakhir kepresidenan, meskipun ada dorongan dari anggota Kongres AS untuk memblokir kesepakatan. Kesepakatan itu termasuk bom senilai US$290 juta ke Arab Saudi serta drone dan pesawat ke UEA senilai US$23 miliar. Selain itu, pemerintah AS melabeli Houthi sebagai Organisasi Teroris Asing (FTO).

Pembekuan oleh pemerintahan Biden atas kesepakatan ini dan kesepakatan senjata lainnya yang belum disebutkan menandai perubahan besar dalam pemikiran sejak awal konflik. Pemerintahan baru AS tidak membuang waktu di minggu pertama jabatan untuk mengumumkan keputusan tersebut, sebagian untuk memenuhi janji kampanye Pilpres AS 2020 oleh Biden untuk meminta pertanggungjawaban Arab Saudi atas tindakannya.

Meski langkah seperti itu harus dipuji oleh pihak-pihak yang menyerukan sikap lebih keras terhadap upaya koalisi pimpinan Saudi di Yaman, itu juga harus dilihat dengan skeptis.

Dalam hal ini, penting untuk meninjau tindakan serupa oleh para sekutu AS. Inggris dan Kanada membekukan perjanjian perdagangan senjata dengan anggota koalisi di masa lalu, lantas menentukan bahwa mereka memenuhi persyaratan hukum dalam undang-undang nasional mereka. Secara khusus, kedua negara menyimpulkan bahwa Arab Saudi telah meningkatkan secara signifikan metrik kerugian sipil sebelumnya dengan cara yang memungkinkan dimulainya kembali penjualan senjata.

Terlepas dari kesimpulan ini, analisis rasional apa pun atas situasi tersebut mengungkapkan bahwa senjata dari negara-negara itu telah merugikan warga sipil secara langsung maupun tidak langsung. Organisasi lokal di Yaman melaporkan kejadian yang melukai warga sipil dari semua pihak dalam konflik setiap hari.

Serangan udara adalah penyebab utama bahaya sipil, dan dalam banyak kasus, melibatkan persenjataan dari Inggris, Kanada, Australia, atau Amerika Serikat. Ini adalah fakta yang tidak dapat diabaikan oleh proses peninjauan dan transfer penjualan senjata yang tidak jelas.

Baca juga: Serangan Udara di Yaman Tewaskan 30 Warga Sipil

Pada akhirnya, menurut analisis Alexander Langlois di The National Interest, keputusan untuk memperbarui penjualan senjata itu mencerminkan kesediaan para pemimpin dunia untuk lebih mengutamakan keuntungan dan kepentingan geopolitik daripada pertimbangan kemanusiaan.

Pemerintahan Biden harus mematahkan pola ini dan memiliki kewajiban hukum berdasarkan hukum humanitarian internasional untuk menghapus Amerika Serikat dari kewajiban kontrak apa pun berdasarkan perjanjian sebelumnya yang terkait dengan pemerintahan sebelumnya.

Lebih lanjut, penjualan tersebut melanggar “Undang-Undang Leahy Laws” yang diuraikan di bawah Foreign Assistance Act of 1961 (FAA), sebagaimana telah diamandemen, dan Consolidated Appropriations Act 2014. Kedua undang-undang tersebut beroperasi sebagai undang-undang domestik AS yang melarang bantuan keamanan AS kepada pasukan keamanan asing yang melanggar hak asasi manusia.

Oleh karena itu, dan sebagai langkah selanjutnya, tinjauan apa pun pada akhirnya harus menyimpulkan bahwa penjualan senjata AS ke negara atau grup mana pun yang beroperasi di Yaman adalah ilegal atas dasar hukum domestik dan internasional.

Kesimpulan seperti itu akan memungkinkan pemerintahan Biden untuk memanfaatkan pembekuan penjualan senjata untuk menekan Arab Saudi dan UEA untuk memoderasi perilaku mereka dan secara bertahap bekerja untuk membangun perdamaian di Yaman.

Ulasan awal ini akhirnya menandai momen besar dalam hikayat perang di Yaman. Peninjauan tersebut telah menimbulkan kegembiraan di negara lain, hanya diikuti oleh kekecewaan dan keberlanjutan dari status quo.

Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Joe Biden akhirnya dapat mematahkan pola ini dan memimpin jalan menuju perdamaian, dan pada akhirnya hari-hari yang lebih baik bagi rakyat Yaman, Alexander Langlois menyimpulkan di The National Interest.

 

Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari

Editor: Aziza Larasati

Keterangan foto utama: Seorang anak Yaman berdiri di kerangka bus yang terkena serangan udara koalisi pimpinan Saudi pada Agustus 2018. (Foto: AFP/Getty Images)

Setop Penjualan Senjata AS-Saudi Tak Cukup Akhiri Konflik Yaman

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top