Kesadaran akan isu-isu lingkungan hidup seperti polusi plastik dan keberlanjutan telah tumbuh di Indonesia, berkat inisiatif lokal dan ulama Muslim. Konsep manusia sebagai khalifah atau penjaga bumi telah membantu menyebarkan pesan tentang melindungi lingkungan.
Selama 15 tahun terakhir, Iskandar Waworuntu telah menerapkan dan mengajar permakultur di luar Yogyakarta di Jawa Tengah.
Di perbukitan hijau yang mengelilingi kota, ia mendirikan Bumi Langit, proyek sosio-ekologis yang menggabungkan prinsip-prinsip Islam dengan kegiatan komunal berkelanjutan, yang bervariasi mulai dari pertanian dan produksi makanan hingga pendidikan melalui kursus-kursus yang dibuka untuk umum.
Perjalanan Iskandar dimulai pada 2000 ketika ia memeluk Islam dan pindah dari Bali ke Jawa untuk mengeksplorasi ajaran agama barunya.
“Saya menikah dengan seorang Muslim dan pindah agama. Bagian yang sangat menarik dari Islam bagi saya adalah tasawuf, dimensi cinta, dan keindahan dalam agama.”
Posisi manusia dalam kaitannya dengan lingkungan dijunjung tinggi Bumi Langit, yang dimulai sebagai pertanian permakultur pada 2006. Bumi Langit kemudian berkembang menjadi yayasan yang mengintegrasikan penduduk desa setempat serta menyediakan pekerjaan dan ajaran praktis untuk menerapkan pertanian berkelanjutan.
Proyek itu (yang masih merupakan konsep unik di Indonesia), merupakan simbol dari keterlibatan dan kebangkitan keilmuan yang lebih luas dalam praktik aksi lingkungan sebagai bagian integral dari Islam.
“Saya selalu tertarik pada permakultur karena ini tentang semua elemen kehidupan, ini adalah proses holistik,” tegas Iskandar. “Ketika saya mulai lebih memahami Islam, hal itu ditegaskan oleh lebih banyak ulama Islam, saya menyadari permakultur dapat dilihat sebagai cara untuk menerapkan Islam dalam kehidupan sehari-hari dan bagaimana bersikap etis dalam hubungan kita dengan alam, prinsip-prinsip yang ada dalam Alquran dan Hadits.”
Menurut catatn South China Morning Post, dengan sekitar 225 juta pemeluk Islam, Indonesia memiliki populasi Muslim terbesar di dunia.
Iskandar sangat meyakini bahwa prinsip-prinsip lingkungan Islam dan hasil positifnya (daripada industrialisasi dan urbanisasi yang hingar bingar), dapat menawarkan solusi dan model untuk memerangi krisis lokal dan global yang membahayakan planet Bumi.
Sholat Jumat di sebuah masjid di Jakarta, ibu kota Indonesia. Sekitar 90 persen orang Indonesia beragama Islam, memberi para pemimpin agama Islam kekuatan besar dalam pengaruh politik. (Foto: The New York Times/Kemal Jufri)
“Di Indonesia, kebanyakan orang atau setidaknya sebagian besar penduduk mendasarkan kehidupan sehari-hari dan keputusan penting pada agama,” tutur Muharram Atha Rasyadi, juru kampanye urban Greenpeace Indonesia. “Itulah mengapa kami perlu memastikan organisasi besar Islam juga mengampanyekan isu lingkungan dan membantu menyebarkan pesannya.”
Muharram Atha Rasyadi berbasis di Jakarta dan telah bekerja untuk Greenpeace selama lebih dari dua tahun, dengan fokus pada penanggulangan polusi plastik di ibu kota yang berkembang pesat. Indonesia sendiri merupakan pencemar limbah laut plastik terbesar kedua di dunia setelah China.
Walau visi utopian Iskandar tentang “masyarakat Islam hijau” masih terbatas di perbukitan Yogyakarta, prinsip-prinsip dasarnya mendapatkan momentum di seluruh negeri. Dalam beberapa tahun terakhir, aksi lingkungan dan kesadaran di antara para pemimpin Islam serta pihak berwenang di daerah perkotaan dan lokal telah tumbuh, berkat etika lingkungan Islam yang semakin populer yang diajukan melalui inisiatif lokal.
“Sejak 2018, kami (Greenpeace) telah bekerja dengan Majelis Ulama Indonesia, salah satu organisasi keagamaan terbesar di negara ini,” ujar Muharram Atha Rasyadi.
“Mereka memiliki banyak kekuatan. Mereka mengeluarkan fatwa pada 2015 menentang buang sampah sembarangan di jalanan. Jadi, kami tentu saja ingin meningkatkan inisiatif mereka dan bekerja sama dengan mereka untuk menyebarkan pesan ke khalayak yang lebih luas.”
Kemitraan ini, yang didukung oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, pertama kali terwujud dalam “eco-iftar” 2018, kampanye luas yang mengundang umat Muslim di kota-kota besar untuk berbuka puasa Ramadan tanpa menggunakan plastik sekali pakai.
Menyusul keberhasilan kolaborasi pertama dan kehadiran yang semakin sukses di media sosial di kalangan anak muda Indonesia, Greenpeace juga mendekati Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam sosio-religius terbesar di negara ini.
Pada kongres internasional 2019, “Polusi plastik dan limbah menjadi topik diskusi untuk pertama kalinya dalam sejarah dan ini merupakan awal yang bagus,” tegas Rasyadi.
Menurut sebuah studi pada 2013 yang diterbitkan oleh Oryx, The International Journal of Conservation, para ulama Muslim Indonesia berhasil meningkatkan kesadaran mendesak tentang masalah lingkungan dengan memasukkan pesan tentang keberlanjutan dan konservasi dalam kaitannya dengan Islam ke dalam khotbah mereka. Mereka terutama menekankan beberapa prinsip utama dalam Alquran yang mendefinisikan peran manusia terhadap alam.
Salah satu dari nilai-nilai tersebut ialah konsep manusia sebagai khalifah atau penjaga Bumi, salah satu konsep pendorong Bumi Langit dan banyak pesantren lainnya di seluruh Indonesia.
South China Morning Post melaporkan, Pondok Pesantren Ilmu Giri yang kecil di Jawa Tengah adalah pelopor gerakan ini. Ponpes itu pertama kali terkenal di Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2007 di Bali.
Saat itu pendirinya Nasruddin Anshory secara luas dipuji atas komitmennya untuk menggunakan ajaran Islam demi melestarikan lingkungan. Bertahun-tahun kemudian, para santri Muslim masih berduyun-duyun ke pesantren itu untuk mempelajari praktik-praktik berkelanjutan terbaik.
“Ada rasa keberlanjutan diri yang kuat di beberapa pesantren besar,” tutur Intan Suci Nurhati, ilmuwan paleoklimatologi dan paleoseanografer di Pusat Penelitian Oseanografi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan National Geographic Explorer.
“Semakin banyak program memiliki pertanian mereka sendiri dan membuat kompos. Saya yakin ada ruang untuk berkembang dari sini dan untuk menggabungkan konsep ini, Islam dan lingkungan. Banyak organisasi Islam memiliki pesantren. Mereka secara historis memainkan peran penting dalam gerakan sosial dan politik di Indonesia.”
Sebagai seorang ilmuwan, ahli darurat sampah plastik laut Indonesia, dan seorang Muslim, Intan Suci Nurhati selalu khawatir ketika perayaan keagamaan besar mendekat. Selain mendidik orang lain dan bekerja sama dengan otoritas agama, menurut Intan, sangatlah penting untuk meningkatkan kesadaran di antara penjual makanan untuk menggunakan kemasan organik sebanyak yang mereka bisa.
Beberapa kebiasaan seperti membeli makanan cepat saji di jalanan kota besar sangat melekat dalam budaya populer dan sulit diubah.
Iskandar juga memandang konsumerisme dan globalisasi sebagai ancaman terbesar bagi lingkungan Indonesia dan planet Bumi. Walau masih banyak yang harus dilakukan, “jika dalam komunitas saya sendiri saya dapat mengubah banyak hal, saya sudah senang bisa membuat perbedaan secara lokal.”
“Beberapa guru besar Islam telah secara terbuka mengatakan Anda bukan seorang Muslim sebelum Anda mempraktikkan permakultur dan menjadi penjaga alam sejati, sampai Anda memberi lebih banyak daripada hanya menerima.”
“Islam mengajarkan, segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah adalah makhluk hidup dan kita harus menghormati semuanya sama rata, yang berbeda dari apa yang telah kita lakukan kepada alam selama ini.”
Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari
Editor: Aziza Fanny Larasati
Keterangan foto utama: Masjid Agung Baiturrahman di Aceh dipenuhi jamaah wanita. (Foto: AP)
Peran Islam Indonesia dalam Perjuangan Menjaga Lingkungan