Kekhawatiran pemerintah Amerika Serikat (AS) atas kemampuan mitigasi virus corona di Indonesia semakin besar.
Pada 14 April 2020, Heather Variava, seorang diplomat di Kedutaan Besar AS di Jakarta, menyampaikan pesan mengejutkan kepada semua orang Amerika. Isi pesannya adalah agar mereka semua segera keluar dari Indonesia. Variava bahkan menawarkan untuk memasukkan mereka ke dalam program evakuasi kembali ke Amerika Serikat.
“Saya sangat mendorong Anda untuk pulang ke rumah sekarang,” ujar Variava di Instagram.
“Semakin lama Anda menunggu, semakin kecil peluang Anda untuk pulang. Tolong pikirkan keluarga dan teman-teman Anda. Jika mereka khawatir dan terus khawatir, Anda harus kembali ke rumah sekarang. Tolong juga pikirkan tentang layanan kesehatan yang tersedia di sini. Seiring jumlah kasus bertambah, mungkin ada tekanan pada fasilitas medis,” urainya, dikutip dari Asia Sentinel.
Jika warga AS jatuh sakit, lanjutnya, perawatan medis mungkin tidak tersedia di Indonesia. Kukuh tinggal di sini tidak hanya membuat warga AS di Tanah Air terpapar risiko, tetapi juga dapat membebani sistem perawatan kesehatan yang tegang di sini.
Oleh sebab itu, Variava membutuhkan orang Amerika yang saat ini berada di Indonesia untuk mendaftar Program Smart Traveler Enrollment atau STEP. Tim Kedutaan Besar bekerja sepanjang waktu untuk memastikan kesejahteraan orang Amerika di Indonesia.
“Jika Anda peduli dengan diri sendiri, teman, keluarga, dan Indonesia, silakan kembali ke rumah sekarang,” tandasnya.
Pesan Variava dianggap terlalu dramatis oleh beberapa kritikus di Jakarta. Ini juga menjadi kunci untuk dorongan yang lebih luas bagi Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo untuk meninggalkan kewajiban Amerika di luar negeri, seperti yang dilaporkan Asia Sentinel pada 13 April.
Petugas pemadam kebakaran menyemprotkan cairan disinfektan di fasilitas umum di sepanjang ruas jalan Sudirman hingga Antasari, Jakarta Selatan, Minggu, 22 Maret 2020. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah meminta seluruh kegiatan perkantoran dihentikan sementara demi mencegah penyebaran pandemi COVID-19. (Foto: Tirto/Bhagavad Sambadha)
Meskipun demikian, ini merupakan indikasi dari kekhawatiran yang meningkat di Jakarta bahwa dengan sistem perawatan kesehatan yang amburadul dan dengan pemerintah yang tampaknya berjalan berputar-putar penuh keraguan, COVID-19 dapat meledak menjadi bencana. Misi diplomatik dari Inggris, Australia, dan Uni Eropa telah memperingatkan warga mereka tentang virus ini meskipun tidak ada yang sedramatis AS.
Dua minggu setelah pemerintah merekomendasikan tinggal di rumah, mempraktikkan jarak sosial, dan mengambil tindakan pembatasan sosial, orang-orang memulai kegiatan sehari-hari mereka seperti biasa di bawah penguncian yang dimodifikasi. Orang-orang masih di jalan-jalan dan para pekerja pergi ke kantor mereka seperti biasa.
Situasi ini tidak terbantu oleh pernyataan Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, dan salah satu pejabat negara yang paling kuat, bahwa virus corona tidak dapat bertahan hidup di cuaca panas tropis Indonesia, klaim yang dibantah oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Ada alasan untuk merasa tidak nyaman terhadap kesiapan Indonesia untuk menangani COVID-19. Indonesia termasuk di antara negara-negara dengan jumlah tes corona terendah, hanya 357 tes per satu juta orang, menurut Worldometer, yang mencatat perhitungan untuk 21 negara dan teritori.
Menurut data Kementerian Kesehatan, Indonesia telah menguji 33.678 spesimen pada 14 April, angka yang sangat kecil dibandingkan dengan populasinya sekitar 270 juta jiwa.
Setelah berminggu-minggu penyangkalan, pemerintah telah melarang pertemuan massal dan memberlakukan apa yang disebut “pembatasan sosial berskala besar” (PSBB) untuk mengurangi penyebaran virus.
Presiden Joko Widodo mengatakan, ia telah memerintahkan Kepolisian Nasional untuk menegakkan pembatasan tersebut, tetapi tidak menjelaskan tindakan apa yang dapat mereka ambil. Dia menuturkan, ada kemungkinan menerapkan darurat sipil jika keadaan menjadi sangat buruk, meskipun tidak sekarang, ketika situasi terkendali.
Pemerintah daerah sekarang dapat menutup sekolah, kantor, bisnis, dan layanan yang tidak penting sekaligus membatasi kegiatan sosial dan keagamaan.
Nuning Nuriani, Kepala Pusat Pemodelan dan Simulasi Matematika Institut Teknologi Bandung (ITB), meramalkan wabah COVID-19 di Indonesia tidak akan mencapai puncak penyebaran hingga akhir April atau awal Mei. Akan tetapi, itu dengan syarat 90 persen dari populasi secara mandiri mengisolasi diri.
“Jika (pembatasan sosial berskala besar) dimulai pada 12 April dan hanya 10 persen orang yang bergerak, dan dengan alat uji terbaru dari Swiss, ditambah isolasi dilakukan dengan baik, maka kami memiliki harapan yang lebih baik,” katanya dikutip Asia Sentinel, merujuk bahwa jika kasus aktif dapat turun lebih cepat, jumlah kematian juga lebih rendah.
Dengan kapasitas tes yang minim seperti saat ini dan pembatasan longgar (30-60 persen dari populasi yang terisolasi sementara sisanya bergerak bebas), Nuning memperkirakan puncak wabah tidak akan tercapai sebelum awal Juli, hampir tiga bulan dari sekarang, dengan durasi wabah mencapai sepuluh bulan.
Di sisi lain, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) baru-baru ini mengumumkan akan mendistribusikan puluhan swab testkit atau unit Reaksi Rantai Polimerase, memberikan harapan beberapa provinsi akan dapat mempercepat pengumpulan data untuk memungkinkan perawatan segera.
Mesin PCR diklaim mampu menguji 9.000 hingga 10.000 spesimen setiap hari. Dengan alat-alat baru ini, pemerintah menargetkan 300.000 tes sebulan. PCR, yang diimpor dari perusahaan farmasi Roche di Swiss, dikatakan memiliki tingkat akurasi lebih baik dibandingkan rapid test.
Pemerintah sebelumnya mengimpor sejuta tes cepat dari China meskipun sebanyak 40 persen telah ditemukan rusak di negara lain dan tenaga medis di Spanyol. Bahkan, Turki dan Belanda menolak untuk menggunakannya.
“Kita harus meningkatkan pengujian sampel, disertai dengan pelacakan yang agresif dan isolasi yang ketat,” ujar Presiden Joko “Jokowi” Widodo, yang menyatakan wabah corona sebagai bencana nasional awal pekan ini. “Saya harap kita bisa menguji lebih dari 10.000 (spesimen) per hari,” tandasnya lagi.
Juru Bicara Pemerintah untuk COVID-19 Ahmad Yurianto mengatakan, jarak fisik (yang oleh otoritas kesehatan dianggap sebagai elemen penting dalam menghentikan virus corona) terganjal kurangnya disiplin publik. Peringatan untuk tinggal di rumah, untuk tidak berkumpul dalam kerumunan, berhati-hati untuk mencuci tangan, serta tidak menyentuh wajah telah diabaikan, menurut Yurianto.
Ia menambahkan, banyak yang mungkin positif tetapi tanpa gejala atau dengan gejala minimal, tapi tetap aktif dalam kerumunan.
Jakarta akhirnya menerapkan pembatasan sosial berskala besar mulai 10 April hingga 23 April, dan dapat diperpanjang menyesuaikan keadaan. Beberapa area lain akan mengikuti.
Sekolah, universitas, bisnis, dan kantor harus ditutup kecuali untuk sektor-sektor penting seperti perawatan kesehatan dan mereka yang menjual kebutuhan dasar. Orang-orang dilarang mengadakan pertemuan yang melibatkan lebih dari lima orang. Ruang publik akan ditutup serta semua aktivitas politik, hiburan, acara budaya, olahraga, dan seminar akan dilarang.
Patroli dan sanksi akan dikenakan terhadap pelanggar. Di bawah undang-undang tentang karantina kesehatan, orang yang melanggar perintah dapat menghadapi satu tahun penjara dan/atau denda hingga Rp100 juta (US$6.401).
Jakarta adalah daerah dengan kasus penularan terbanyak dibandingkan dengan yang lain, dengan lebih dari 2.300 kasus pada 14 April dan 241 kematian. Akan tetapi ada indikasi bahwa banyak kasus dan kematian tidak terdeteksi.
Data dari Dinas Pertamanan dan Pemakaman Jakarta menunjukkan, setidaknya 5.330 izin pemakaman dikeluarkan pada Maret, peningkatan besar dari 2.539 pada Februari. Sekitar 302 pemakaman berlangsung di Jakarta dalam tiga hari pertama April.
Dinas itu mengklaim hanya 621 penguburan yang terkait dengan COVID-19. Namun, orang yang meninggal dimakamkan dengan menggunakan prosedur yang diterapkan pada penderita virus seperti penguburan dalam peti mati, mayat dibungkus plastik, dan dikubur kurang dari empat jam setelah kematian. Proses penguburan juga dilakukan dengan alat pelindung diri (APD).
Dari 621 yang tewas, hanya 126 yang diketahui positif, sementara sisanya diduga meninggal akibat virus corona. Mereka biasanya diisolasi di rumah sakit atau di rumah mereka sendiri tetapi meninggal sebelum hasil swab test mereka keluar.
Ancaman lain
Indonesia kemungkinan akan menghadapi tantangan lain di mana orang akan melakukan mudik, kunjungan tradisional ke rumah bagi umat Muslim menjelang perayaan Idul Fitri (Idul Fitri) pada 23 Mei, akhir Ramadan. Ini dikhawatirkan dapat memicu penyebaran wabah di seluruh pelosok negara.
Sadar akan ancaman itu, Presiden Jokowi telah melarang pegawai negeri, polisi, perwira militer ,dan karyawan perusahaan negara melakukan mudik, dengan alasan pendapatan mereka tidak terpengaruh oleh pembatasan, sehingga tidak perlu pulang seperti para pekerja informal dan pekerja lepas.
Namun, Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) memperkirakan 1,3 juta orang akan melakukan mudik ke berbagai daerah di Jawa, pulau terpadat. Pemerintah hanya meminta mereka tidak bepergian tetapi tidak melarangnya.
Data dari Kementerian Perhubungan menunjukkan, setidaknya 900.000 orang dari Jabodetabek (pusat virus corona) telah meninggalkan kota dan melakukan perjalanan kembali ke kota asal mereka.
“Jika masalah terkait mudik ini tidak bisa ditangani oleh pemerintah dan kita semua, maka banyak daerah akan menjadi target baru untuk penyebaran pandemi,” ucap Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Agus Taufik Mulyono, dilansir dari Asia Sentinel.
Penerjemah: Anastacia Patricia
Editor: Aziza Larasati
Keterangan foto utama: Lebih dari setengah juta warga Indonesia kemungkinan besar sudah melakukan kontak langsung dengan penderita corona. (Foto: EPA EFE)
Peringatan Keras AS ke Warganya di Indonesia: Keluar Sekarang!