Seorang profesor Israel, Yitzhak Ben menawarkan prediksi alternatif corona. Menurutnya, virus itu bakal lenyap dalam 70 hari.
Seorang profesor Israel tidak percaya pendekatan global menegakkan lockdown sebagai solusi tepat membendung pergerakan virus corona. Berdasarkan data infeksi virus yang telah ia analisis, corona mencapai puncak setelah 40 hari dan menurun menjadi hampir nol dalam 70 hari. Hasil temuan ini sangat berbeda dengan para profesional kesehatan di banyak negara, termasuk Amerika Serikat.
Anthony Fauci, direktur National Institute of Allergy and Infectious Diseases mengatakan kepada CNN, “Virus membuat garis waktunya sendiri. Tidak masalah apa yang Anda katakan: satu minggu, dua minggu, tiga minggu. Anda harus mengikuti situasi di lapangan,” katanya, dilansir dari Asia Times.
“Jadi, ketika orang mengatakan mungkin butuh berbulan-bulan, saya pikir apa yang dibicarakan orang adalah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk turun,” imbuhnya.
Sebaliknya, Profesor Yitzhak Ben-Israel, yang juga pensiunan Mayor Jenderal Angkatan Udara, mengatakan, “Data berbicara sendiri. Ada pola yang tetap di sini, yakni setelah enam minggu, Anda melihat tren penurunan dari wabah.”
Mengenai Israel, katanya, “Ternyata puncak penyebaran sudah di belakang kami selama sekitar satu minggu, dan itu mungkin akan hampir sepenuhnya terbuang dalam dua minggu ke depan.”
Ben-Israel sendiri tak sepakat dengan kebijakan physical distancing, penutupan ekonomi di seluruh dunia, yang dalam hematnya adalah kesalahan nyata.
Kepada Journal Yahudi, ini menerangkan, “Ini adalah soal virus yang terjadi di seluruh dunia. Baik di negara-negara di mana mereka telah mengambil langkah penutupan, seperti Italia, dan di negara-negara yang belum memiliki penutupan, seperti Taiwan atau Singapura. Di negara-negara seperti itu, ada peningkatan hingga minggu keempat hingga keenam, dan segera sesudahnya, moderasi sampai selama minggu kedelapan, virus itu menghilang.”
Profesor Ben-Israel bukanlah seorang dokter medis, tetapi ia memiliki kredensial yang sangat mengesankan. PhD-nya berasal dari Universitas Tel Aviv dari ilmu Matematika, Fisika, dan Filsafat. Lahir pada 1949, ia bergabung dengan Angkatan Udara Israel setelah lulus dari sekolah tinggi dan tinggal di sana sampai pensiun pada 2002. Ia mengepalai Cabang Penelitian Operasi Angkatan Udara, Divisi Analisis dan Penilaian, dan kemudian menjadi Direktur, Kementerian Pertahanan untuk Penelitian dan Pengembangan.
Dia naik ke pangkat Mayor Jenderal dan dua kali dianugerahi Penghargaan Pertahanan Israel, juga dikenal sebagai Hadiah Pertahanan Israel. Penghargaan ini diberikan oleh Presiden Israel “kepada orang-orang dan organisasi yang memberikan kontribusi signifikan bagi pertahanan Negara Israel.”
Ben-Israel bergabung dengan Universitas Tel Aviv sebagai profesor dan merupakan Kepala Pusat Studi Internasional Curiel (2002-2004), Kepala Program Studi Keamanan (2004-2007), Direktur Eksekutif Pusat Interdisipliner untuk Analisis Teknologi & Peramalan di Universitas Tel-Aviv, dan anggota Jaffe Center for Strategic Studies.
Pada 2002 ia mendirikan dan memimpin Lokakarya Yuval Ne’eman untuk Sains, Teknologi, dan Keamanan. Saat ini, ia adalah kepala Pusat Penelitian Cyber Interdisipliner, Ketua Badan Antariksa Israel, Ketua Dewan Nasional Israel untuk R&D, dan Profesor di Universitas Tel-Aviv, mengajar di Program Studi Keamanan. Dia telah menulis banyak artikel dan buku, di antaranya The Philosophy of Military Intelligence, Science, Technology, and Security.
Ben-Israel mengatakan dia tidak tahu mengapa corona berperilaku seperti itu. Masa hidup virus bisa disebabkan oleh iklim, atau bahkan virus memang memiliki masa hidup sendiri.
Bagan paling dramatis yang ditawarkan oleh Ben-Israel (dari monograf bahasa Ibrani yang dia unggah di media sosialnya bertajuk Is the Corona Spread Exponential?) Ia mencoba melihat jumlah kasus per hari di Israel. Menurutnya, pola AS mirip dengan yang terlihat di Israel, meskipun jumlahnya lebih tinggi karena ukuran populasi AS.
Pemerintahan Trump saat ini memiliki satuan tugas tentang bagaimana dan kapan membuka ekonomi AS. Beberapa negara Eropa, Denmark, Spanyol, dan Italia mulai melonggarkan penguncian ketat mereka, sementara Jerman dikatakan mempertimbangkan untuk melakukannya.
Perayaan misa kedua Malam Paskah di Gereja Katedral Jakarta, Sabtu, 11 April 2020. Untuk memutus penyebaran wabah COVID-19, umat Katolik menjalani pekan Tri Hari Suci secara daring melalui siaran televisi mau pun streaming. (Foto: Kompas.com/Kristianto Purnomo)
Di AS argumennya terutama antara dokter, termasuk Dr Fauci, yang ingin mempertahankan kebijakan penguncian yang ketat, dan Presiden AS Donald Trump yang khawatir ekonomi akan runtuh kecuali pembatasan dimoderasi atau dicabut. Industri - dan terutama bisnis kecil - berada dalam kondisi putus asa karena efek pembekuan di seluruh Amerika Serikat. Ini diperparah dengan keputusan sepihak pimpinan DPR Nancy Pelosi untuk tidak kembali ke Washington dan membuka kembali Dewan Perwakilan paling cepat hingga 4 Mei. Ia menghalangi upaya Kongres untuk menambah dukungan keuangan tambahan bagi usaha kecil (di mana dana yang paling baru-baru ini disita keluar).
Ada juga kekhawatiran yang berkembang dari keresahan sosial, khususnya terkait putusan Gubernur Michigan Gretchen Whitmer. Penguncian Whitmer berjalan lebih jauh dari kebanyakan negara bagian dalam menerapkan larangan ketat, dan hasilnya telah menjadi protes besar di Lansing, ibu kota negara bagian itu, dengan teriakan “Kunci dia” bergema di jalan-jalan.
Situasi Whitmer tidak sepenuhnya unik. Para pembuat kebijakan sadar protes dapat menyebar jika penguncian yang ada berlanjut. Secara mengejutkan, Washington DC dan Virginia baru saja memperpanjang periode isolasi hingga 30 Mei. Tidak mungkin publik akan menerima pembatasan ini dan Gedung Putih mungkin berpacu dengan waktu hanya dengan kasus-kasus ini saja.
Selain konfrontasi, ada banyak tuntutan hukum dan protes yang melibatkan penutupan paksa gereja, sinagog, masjid, dan kuil. Konstitusi AS melindungi hak berkumpul dan kebebasan beragama, serta kebebasan berbicara. Muncul kemarahan hak-hak konstitusional ini dilanggar oleh sejumlah politisi dan negara. Dalam beberapa kasus, polisi telah pergi ke gereja dan sinagog di mana mereka menangkap para pemimpin gereja atau mengancam akan melakukannya. Polisi juga mengaudit tempat parkir tempat keagamaan, menggunakan pembaca plat nomor untuk melacak orang yang melanggar kuncian.
Masalah juga berkembang di militer. Pelaut ditahan jauh lebih lama di laut, dan penerbang serta tentara diisolasi dari keluarga selama pengerahan yang luas berkat larangan perjalanan Pentagon. Panggilan pelabuhan juga dilarang untuk kapal, menjaga pelaut dan marinir di kapal untuk waktu yang lama. Sementara tindakan Pentagon belum menghambat operasi, ketidakmampuan untuk memindahkan personel masuk dan keluar dari unit dan memberikan dukungan yang tepat akan segera mulai berlaku.
Mempertimbangkan segalanya, kemampuan untuk mempertahankan kuncian di Amerika Serikat sedang mencapai titik krisis. Hal yang sama dapat dikatakan dengan banyak negara lain.
Penegasan Ben-Israel mendukung keinginan Presiden Trump untuk mulai mengangkat kuncian. Masih harus dilihat apakah Presiden dapat mengesampingkan dokter dan pengkritiknya.
Penerjemah dan editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Presiden Amerika Serikat Donald Trump berbicara dalam sambutan melepas rumah sakit kapal angkatan laut USNS Comfort dari negara bagian Virginia dan bertolak menuju dermaga Pier 90 di Pulau Manhattan di negara bagian New York. (Foto: Getty Images)
Prediksi Alternatif Israel: Corona Lenyap dalam 70 Hari