Narasi ISIS tentang wabah virus corona baru berupaya memperkuat sentimen anti-China dan anti-Syiah. Selain beberapa simpatisan yang membanggakan pandemi COVID-19 sebagai balasan atas penindasan China, posisi resmi ISIS juga menyerukan pertobatan dari kalangan Muslim Syiah di tengah gelombang wabah di Iran.
Komunitas jihadis umumnya hanya melakukan sedikit hal untuk secara aktif mendukung perjuangan minoritas Muslim Uighur melawan China, meski belum jelas akibat kurangnya kemampuan atau fokus mereka. Namun, yang menarik adalah reaksi mereka terhadap pandemi global COVID-19 yang awalnya muncul di China. ISIS telah berbicara tentang wabah virus corona baru itu sebagai pembalasan Tuhan ke China, sementara pada saat yang sama menegur pengikutnya karena membanggakan tentang korban jiwa akibat virus tersebut.
Sementara itu mungkin tampak mengejutkan bagi ISIS untuk menahan para pengikutnya dari membanggakan pembalasan infeksi virus terhadap penindasan China, pembacaan yang lebih atas posisi ISIS mengenai pandemi COVID-19 menunjukkan tidak ada perubahan dalam antipati terhadap China. Seruan untuk menahan diri itu pragmatis, bukan ideologis. Narasi balasan Tuhan ini juga meluas ke Iran setelah wabah merebak di negara itu, yang semakin memperkuat sentimen anti-Syiah.
“Semoga Tuhan menghukum China dengan kematian karena mereka telah membawa kematian bagi umat Islam.”
“Ketika China menindas Muslim Uighur, virus corona baru sekarang menghancurkan China.”
“Virus ini adalah pasukan Tuhan yang menghancurkan kafir.”
Berbagai jenis komentar semacam itu beredar di kalangan online ISIS sejak pandemi COVID-19 merebak pada pertengahan Desember 2019. Obrolan di dunia seputar wabah sebagian besar berkisar pada keyakinan virus tersebut merupakan balasan Tuhan kepada China atas persekusi terhadap Muslim Uighur. Namun, ISIS sendiri menahan diri dari mengomentari wabah sampai 6 Februari 2020, ketika akhirnya kelompok ekstremis itu membagikan pandangannya dalam buletin mingguan berbahasa Arab Al-Naba’ dengan judul, “Sesungguhnya azab Tuhan adalah azab yang sangat pedih.”
Judul tulisan itu diambil dari Surat Al-Buruj (35) ayat 12 di Alquran, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad di Mekah selama periode ketika persekusi terhadap umat Muslim berada pada puncaknya. Surat itu terutama bertujuan untuk meyakinkan umat, tekad dan ketabahan mereka dalam menghadapi kezaliman dan penindasan akan dihargai dan bahwa azab Allah bagi penganiaya mereka adalah mutlak. Judul di buletin Al-Naba’ itu menunjukkan ISIS percaya China pantas dihukum atas tuduhan persekusi terhadap Muslim Uighur, menggemakan komentar para pendukungnya. Namun, tulisan itu tidak menyuarakan klaim kesombongan oleh kelompok itu.
Faktanya, ISIS menolak retorika semacam itu. Menurutnya, persekusi China masih belum dapat dipastikan, bahkan jika China memang pantas dihukum. ISIS mengkritik tanggapan China dan penanganan epidemi sebagai tindakan “arogan”, merujuk pada kepentingan dan loyalitas pejabat pemerintah China kepada atasan mereka dan sistem politik China yang menolak tanggung jawab mereka untuk melayani rakyat. Namun, ISIS juga memperingatkan, epidemi itu dapat mempengaruhi umat Islam di China dan menyebar ke negara-negara tetangga dengan populasi Muslim yang besar.
Peringatan logis yang mengejutkan ini adalah peringatan yang sepakat dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan pernyataan resmi lainnya. Khawatir akan penyebaran virus corona baru di dunia yang saling terhubung ini, ISIS menyarankan para Muslim untuk menghindari memasuki atau meninggalkan daerah yang terinfeksi. Bagi yang telah terinfeksi, ISIS mendesak agar mereka mencari bantuan medis segera dan menghindari penderita yang tidak sehat. Menyadari perlunya perawatan dan pengobatan yang tepat, ISIS meminta para dokter dan ilmuwan untuk bekerja sama untuk tujuan penanganan wabah ini.
Menunjukkan kepercayaan agama mereka, menurut analisis Nur Aziemah Azman dari The Diplomat, ISIS juga mendesak umat Muslim untuk berdoa kepada Tuhan meminta perlindungan dari infeksi, serta mendoakan pemulihan mereka yang terinfeksi. Nasihat ini kemudian ditampilkan sebagai infografis dalam edisi ke-225 Al-Naba’, dengan pedoman tambahan yang mencakup menutup mulut saat batuk dan bersin serta sering mencuci tangan. ISIS menyatakan krisis kesehatan ini harus dilihat sebagai kesempatan bagi umat Muslim untuk mengakui pentingnya doa, menunjukkan rasa takut akan azab Allah, dan merenungkan kelemahan manusia.
Ilustrasi struktur virus corona. (Foto: CNN)
Lebih dari satu minggu setelah kasus COVID-19 pertama kali muncul di Iran, ISIS dalam tajuk Al-Naba’ edisi ke-223 yang menyombongkan wabah virus di Iran dan mengejek manajemen epidemi Iran. Tajuk tulisan itu berbunyi, “Niscaya hilang semua yang biasa kamu seru, kecuali Dia (Allah)”, yang juga diambil dari Alquran Surat Al-Isra’ (17) ayat 67. Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, ISIS menggunakan istilah “politeis” dan “politeis Rafidhah” untuk merujuk ke Iran dan Syiah di seluruh artikel, lantas menggunakan “penyakit fatal” untuk merujuk pada infeksi virus.
ISIS mengejek bagaimana sebuah kota suci kaum Syiah, mungkin merujuk pada Qom, sekarang menjadi pusat penyebaran virus, kemudian tempat-tempat suci dan makam yang sering dikunjungi oleh umat Syiah untuk berdoa memohon kesehatan dan kesejahteraan ironisnya kini dibatasi dari masuknya para peziarah dan pengunjung “akibat ketakutan akan penyakit.”
Tak kalah penting, artikel itu menuduh kaum Syiah sebagai kemunafikan, hanya memanggil Tuhan di saat krisis dan kembali ke politeisme di saat-saat kelegaan dan kemudahan. Ayat dalam judul tulisan serta dua ayat berikutnya yang disoroti dalam artikel berfungsi untuk menggarisbawahi poin ini serta pembalasan Allah atas orang-orang munafik dan orang yang tidak tahu berterima kasih. Namun demikian, ISIS berharap wabah ini dilihat tidak hanya sebagai tanda dan peringatan dari kebodohan dan kebutaan Tuhan umat Syiah, tetapi juga membawa petunjuk ilahi dan membuat mereka membuang keyakinan politeis mereka.
Komunitas ekstremis selalu percaya, bencana alam atau buatan manusia, adalah pembalasan Allah atas mereka yang mereka anggap kafir (kafir), murtad, dan musyrik. Ini khususnya terjadi ketika kelompok-kelompok ini dituduh atau diketahui telah melakukan kejahatan terhadap Muslim. Bagi ISIS, menolak komentar yang menggembirakan dari para pendukungnya adalah langkah yang perlu untuk menghindari dianggap mengabaikan umat Muslim yang tidak bersalah yang telah terinfeksi di China dan berbagai tempat lain.
Bagi mereka yang telah terpengaruh infeksi virus, IS berdoa agar penderitaan mereka akan menjadi kaffarah atau pertobatan yang akan menghapuskan dosa-dosa mereka. Bagi mereka yang telah meninggal, kelompok ekstremis itu mengutip sabda Nabi Muhammad yang meyakinkan, “Barangsiapa yang meninggal karena penyakit kolera termasuk mati syahid.”
Dengan kata lain, Muslim yang mati karena wabah dianggap sebagai mati dalam jalan jihad. Dibandingkan dengan Muslim yang terbunuh akibat dampak serangan ISIS, tampaknya kelompok itu mengakui dan bersimpati dengan korban Muslim akibat bencana alam. Dalam kasus wabah di Iran, meskipun kurangnya simpati yang diperlihatkan untuk Muslim Syiah dalam artikel tersebut, ISIS memang mengungkapkan tingkat harapan tertentu untuk pertobatan, penebusan dosa, dan keselamatan bagi kaum Syiah. Kedua kasus tersebut adalah langkah humas ala ISIS dan bukan merupakan wujud tindakan yang lain.
Terlepas dari upayanya untuk memperpanjang beberapa tingkat “kenyamanan” untuk Muslim yang menderita, posisi resmi ISIS atas pandemi COVID-19 sangatlah jelas dari judul tulisan di buletin Al-Naba’: wabah itu adalah azab Tuhan untuk China.
Bahkan ada baris dalam doa ISIS untuk perlindungan umat Muslim, ketika kelompok itu memohon kepada Tuhan untuk “menyebarkan wabah dan penyakit pada orang-orang kafir, memusnahkan tanaman mereka, dan menghabiskan kekuatan mereka, sehingga mereka terganggu dengan diri mereka sendiri dan tidak menyerang Muslim.” Artikel itu berbicara tentang penderitaan yang pantas bagi rakyat China dan kritik terhadap respons China dalam menghadapi penderitaan akibat pandemi di dalam negeri.
Di permukaan, ISIS mungkin berusaha tampil menenangkan para pendukungnya. Namun, posisi resminya sebenarnya tidak menyimpang dari sentimen anti-China mereka. Sementara ISIS menyerukan serangan terhadap orang-orang dan kepentingan China pada Maret 2019 untuk membalas persekusi terhadap minoritas Muslim Uighur, ISIS kemudian menunjukkan sedikit minat dalam mengerahkan sumber daya atau upaya apa pun untuk mencapai tujuan itu.
ISIS bisa jadi ingin membiarkan “pasukan Tuhan”, yang merujuk pada virus corona baru, melakukan pekerjaan membalas dendam. Sementara itu, Nur Aziemah Azman dari The Diplomat menyimpulkan, pandemi COVID-19 di Iran menghadirkan peluang bagi ISIS untuk semakin memperkuat sentimen anti-Syiah.
Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Ilustrasi seorang anggota ISIS di Irak mengibarkan bendera ISIS di Raqqa, sebelum organisasi itu tamat. (Foto: Reuters)
Propaganda ISIS atas Corona: Azab Tuhan bagi Syiah dan China?