Politik Indonesia

Putus Asa Pencari Suaka: Terjebak Tanpa Kejelasan di Indonesia

Berita Internasional > Putus Asa Pencari Suaka: Terjebak Tanpa Kejelasan di Indonesia
Advertisements

“Mereka menunggu setiap hari dan malam untuk panggilan. Penantian ini menyakitkan.”

Terjebak bertahun-tahun dalam ketidakpastian, pengungsi dan pencari suaka di Indonesia mengaku melihat banyak kasus bunuh diri di pusat penahanan imigrasi dan tempat penampungan yang didanai donatur di tengah ancaman peningkatan krisis kesehatan mental. Setidaknya 13 orang telah bunuh diri sejak 2014, termasuk empat orang tahun lalu, menurut para pengungsi dan pencari suaka yang berbicara kepada The New Humanitarian. Mereka termasuk pria Afghanistan berusia 30 tahun yang gantung diri pada Desember 2020 di fasilitas yang didanai badan migrasi PBB International Organization for Migration (IOM) di Provinsi Banten.

Baca juga: Jadi Tetangga Dekat, Survei Ini Ungkap Pendapat Indonesia Tentang Australia

“Dia tergantung di sana selama beberapa jam sebelum polisi membawa jenazahnya. Tidak ada yang memeriksa kami,” keluh seorang pengungsi yang tinggal di fasilitas yang sama, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya.

Kelompok bantuan maupun para pengungsi menggambarkan meningkatnya keputusasaan di tengah sedikitnya pilihan bagi hampir empat belas ribu pengungsi dan pencari suaka di Indonesia. Indonesia biasanya dilihat sebagai negara transit, bukan tujuan pencari suaka, setengahnya berasal dari Afghanistan. Lainnya meninggalkan negara seperti Somalia, Myanmar, Irak, dan Sudan.

Banyak yang melarikan diri dari konflik untuk datang ke Tanah Air, berharap dimukimkan kembali di negara yang aman. Sebaliknya, sebagian besar terjebak selama bertahun-tahun, tidak dapat dimukimkan kembali, tidak ingin kembali ke rumah, dan tidak dapat menciptakan kehidupan baru di Indonesia.

Hassan Ramazan, pencari suaka berusia 42 tahun, mengatakan seorang warga Afghanistan yang tinggal di tempat penampungan sementara di Jakarta Barat dikirim ke rumah sakit pada Februari 2021 setelah mengeluh makanannya beracun dan seseorang berusaha membunuhnya.

“Dia memiliki anak dan orang tua di Afghanistan,” tutur Ramazan. “Mengapa orang yang sehat, tiga atau empat tahun lalu, sekarang kehilangan kewarasan? Bagaimana Anda bisa menjelaskan ini?”

Indonesia adalah potret dari apa yang dihadapi 26 juta pengungsi terdaftar di dunia. Badan pengungsi PBB, UNHCR, mengatakan sekitar 1,44 juta pengungsi sangat membutuhkan pemukiman kembali ke “negara ketiga”. Namun, jumlah pemukiman kembali global berada pada titik terendah dalam dua dekade. Hanya 22.770 pengungsi di seluruh dunia yang dimukimkan kembali pada 2020. Pembatasan dan penutupan perbatasan terkait pandemi COVID-19 kian membatasi para pengungsi, pencari suaka, dan migran dunia.

Di Indonesia, sekitar 400 orang dimukimkan tahun lalu, menurut UNHCR, yang memperingatkan “hanya sejumlah kecil” yang akan memiliki opsi iyu.

Kelompok yang menangani pengungsi mengejar solusi selain pemukiman kembali, termasuk integrasi lokal di negara seperti Indonesia serta peluang kerja dan pendidikan, agar pengungsi dapat melanjutkan hidup mereka sambil menunggu. Namun, Indonesia melarang pemukiman kembali permanen dan hanya menawarkan sedikit hak. Pengungsi tidak dapat bekerja atau menikah, hanya memiliki akses terbatas ke pendidikan.

Koordinator Kampanye Jaringan Masyarakat Sipil Indonesia untuk Perlindungan Pengungsi (SUAKA) Zico Pestalozzi menuturkan, meningkatnya angka bunuh diri di kalangan pengungsi didorong oleh keputusasaan dan masa depan tidak jelas. “Rendahnya tingkat pemukiman kembali diperparah tidak terpenuhinya hak suaka di negara tempat tinggal sekarang: Indonesia.”

Australia perketat perbatasan, pencari suaka meningkat

Sharifa Begum (15), seorang pengungsi, duduk di samping keluarga Rohingya yang mengadopsinya di blok akomodasi migran di Medan, Indonesia, 23 Februari 2018. (Foto: Yayasan Thomson Reuters/Michael Taylor)

Baca juga: Jatuh Bangun Hidup Sebagai Ateis di Indonesia

The New Humanitarian melaporkan, membeludaknya pengungsi saat ini sebagian disebabkan kebijakan perbatasan kontroversial Australia, yang bertujuan memblokir pencari suaka yang bepergian dengan perahu agar tidak mencapai Australia. Pendanaan Australia telah membantu meningkatkan penegakan migrasi dan menghentikan keberangkatan kapal dari Indonesia, termasuk lebih dari US$200 juta sejak 2001 untuk IOM. Australia melarang pengungsi datang dengan perahu maupun yang terdaftar di Indonesia setelah Juli 2014 untuk bermukim kembali di Australia. Mereka juga mengirim ribuan orang ke pusat penahanan lepas pantai yang kini ditutup di Nauru dan Papua Nugini untuk memproses klaim pengungsi mereka.

Ketika Australia menutup perbatasan, jumlah pengungsi dan pencari suaka meningkat di Indonesia, dari populasi ratusan di sebagian besar 2000-an menjadi ribuan satu dekade kemudian. Saat ini, pengungsi dan pencari suaka tinggal di perkotaan seluruh Indonesia. Beberapa ditahan di pusat penahanan imigrasi, lainnya tinggal di perumahan komunitas yang didanai IOM, lainnya tunawisma, tinggal di jalanan atau tempat penampungan sementara.

UNHCR menangani pendaftaran pengungsi dan klaim suaka. IOM mendukung sekitar tujuh ribu pengungsi dengan tunjangan bulanan dan layanan lainnya, sementara LSM dan kelompok masyarakat membantu kebutuhan dasar.

Namun, pengungsi dan pencari suaka mengaku buruknya kondisi kehidupan di mana pun mereka berada.

Rumah Ramazan di Kalideres, Jakarta Barat adalah pos militer terlantar, menampung lebih dari 230 orang di tenda-tenda sempit. Penghuninya berbagi dua toilet. Hidup seperti itu begitu lama merusak kesehatan mental para pengungsi, membuat mereka putus asa.

“Beberapa orang memiliki telepon lama, yang nomornya terdaftar di kantor UNHCR. Mereka pergi tidur dengan telepon menempel telinga mereka karena mereka setiap hari menunggu panggilan untuk pemukiman kembali. Penantian ini menyakitkan. Itu membuat mereka berkata, ‘Tidak ada yang tersisa untuk kami’.”

Ramazan meninggalkan negara asalnya Afghanistan pada 1990-an, tinggal di Pakistan selama dua dekade, datang ke Indonesia pada 2016. Keluarganya tetap di Pakistan, menampung sekitar 1,4 juta pengungsi Afghanistan dan setidaknya lima ratus ribu lebih tidak berdokumen. Pakistan secara berkala menekan pengungsi Afghanistan untuk kembali pulang. “Anak perempuan saya biasa menanyai ibunya, ‘Kapan ayah datang?’. Ibunya akan menjawab, ‘Segera’. Sekarang putriku tidak percaya lagi.”

Asadullah Amiri, pengungsi berusia 30 tahun dari Afghanistan tiba di Indonesia delapan tahun lalu, tinggal di pusat penahanan selama dua tahun sebelum dibebaskan ke fasilitas yang didanai IOM di Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Dia mengaku dua orang dalam setahun terakhir telah bunuh diri di fasilitas IOM di Makassar, termasuk seorang teman Afghanistan pada Juli 2020.

Amiri menyebut tempat penampungan IOM “penjara terbuka”. Jika dilanggar, jam malam dan larangan bisa membuat penghuninya dikirim kembali ke pusat penahanan imigrasi. “Kami bebas di sini, tetapi tidak memiliki kebebasan.” Amiri menambahkan, banyak yang berusaha bunuh diri di tempat penampungan. “Hidup seperti neraka di Makassar.”

Selain bunuh diri, pengungsi dan pencari suaka mengaku menyaksikan petugas imigrasi memukuli atau menganiaya orang di pusat penahanan atau di fasilitas IOM. Jafar Hossain, pengungsi di Pekanbaru, Provinsi Riau, mengatakan sepupunya meninggal di pusat penahanan tahun lalu setelah petugas diduga mengabaikan permintaannya untuk dibawa ke rumah sakit untuk mengobati sakit di kepalanya. “Tidak ada yang membantu kami.”

Dalam tanggapan tertulis atas pertanyaan The New Humanitarian, juru bicara IOM Ariani Hasanah Soejoeti menyebut kasus bunuh diri pengungsi sebagai “keprihatinan global”.

“Pengungsi di mana-mana mengalami peningkatan tekanan psikologis”, diperbesar oleh ketidakpastian masa depan dan pandemi COVID-19, katanya. Ariani menolak mengomentari jumlah kasus bunuh diri di fasilitas IOM.

Masa depan tak pasti

Ann Maymann, perwakilan UNHCR di Indonesia, menyebut kasus bunuh diri di antara pengungsi dan pencari suaka “menyedihkan”. Maymann menegaskan UNHCR menyoroti kebutuhan meningkatkan program kesehatan mental seperti konseling maupun solusi jangka panjang termasuk integrasi lokal, hingga lebih banyak hak atas pendidikan, pelatihan, atau pendapatan agar pengungsi dapat “menjalani kehidupan bermakna”.

“Ada hal-hal tertentu yang hanya dapat dilakukan pemerintah,” tegas Maymann. Kelompok bantuan internasional, lokal, dan pengungsi “tidak dapat memenuhi kekosongan ketika pengungsi tidak dimasukkan dengan benar dalam masyarakat di mana mereka tinggal”.

Para pejabat Direktorat Jenderal Imigrasi Indonesia tidak menanggapi permintaan komentar The New Humanitarian. Juru bicara mengatakan kepada media lokal pada 2019, UNHCR bertanggung jawab untuk memastikan pengungsi dimukimkan kembali atau dipulangkan. “Imigrasi sebatas mengawasi mereka sebagai orang asing yang ada di Indonesia.”

IOM memberikan konseling kepada pengungsi dan pencari suaka. Sekitar 240 orang dirujuk ke psikiater Desember 2020, ujar juru bicara organisasi. Namun, konseling kesehatan mental baru berjalan setelah bertahun-tahun dihabiskan dalam ketidakpastian, keluh para pengungsi. Konseling oleh IOM mendorong para pengungsi “untuk tidak memikirkan situasi”, ujar Amiri. “Ini hampir sembilan tahun. Bagaimana bisa kami tidak memikirkannya?”

Ketika keputusasaan tumbuh, para pengungsi mengaku ingin UNHCR dan lainnya mendorong lebih tegas untuk resolusi, seperti pemukiman kembali di tempat lain atau tinggal permanen di Indonesia. Beberapa pengungsi dan pencari suaka menekankan akan memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia jika memungkinkan. “Indonesia adalah tempat aman. Saya akan menerimanya,” tukas Ramazan. “Semua orang tahu, tidak ada perdamaian di Afghanistan. Saya tidak bisa kembali.”

 

Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari

Editor: Purnama Ayu Rizky

Keterangan foto utama: Para pencari suaka Rohingya dan pengungsi Afghanistan di kantor imigrasi Tangerang, Indonesia. (Foto: AFP)

Putus Asa Pencari Suaka: Terjebak Tanpa Kejelasan di Indonesia

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top