Rencana Perdamaian Israel-Palestina Trump adalah Apartheid Baru
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berbicara dengan Presiden Donald Trump pada tanggal 23 Mei 2017 di Yerusalem, Israel. (Foto: GPO via Getty Images/Kobi Gideon)
Berita Internasional > Rencana Perdamaian Israel-Palestina Trump adalah Apartheid Baru
Banyak yang merasa bahwa rencana perdamaian Israel-Palestina Trump adalah bentuk apartheid baru. Israel telah lama menampik analogi Afrika Selatan itu, tetapi dukungan pemerintah AS untuk aneksasi Israel menjadikannya kenyataan.
Pada masa kejayaan rezim apartheid Afrika Selatan, pemerintah minoritas kulit putih negara itu berencana untuk membuat 10 “tanah air” (yang juga dikenal sebagai Bantustan) di mana orang Afrika Selatan berkulit hitam tinggal jauh dari kota-kota yang diharapkan tetap dihuni orang berkulit putih.
Itu adalah puncak dari apa yang rezim sebut sebagai “pembangunan terpisah”, yaitu upaya untuk mengalihkan perhatian dari penindasan ras, dengan mengklaim orang kulit hitam telah diberi kemerdekaan di negara mereka sendiri dan bukan dijadikan warga negara kelas dua.
Pemerintah apartheid pada akhirnya hanya menciptakan empat Bantustan yang seolah-olah independen (Bophuthatswana, Venda, Ciskei, dan Transkei) dan enam wilayah yang seharusnya memiliki pemerintah sendiri.
Pemerintah asing sebagian besar tidak mengakui negara-negara boneka itu; Afrika Selatan menjadi satu-satunya negara di dunia yang secara resmi mengakui Bantustan, dan keputusan utama mengenai urusan mereka dibuat secara eksklusif di Pretoria.
Alon Liel (yang telah mengabdikan berpuluh-puluh tahun hidupnya untuk dinas luar negeri Israel) termasuk menjadi petugas administrasi Afrika Selatan di Kementerian Luar Negeri Israel selama era apartheid dan menjadi Duta Besar Israel untuk Afrika Selatan dari 1992 hingga 1994 (selama transisi Afrika Selatan ke demokrasi), menyadari tidak ada negara di dunia (kecuali Afrika Selatan) yang memberikan kontribusi lebih besar bagi perekonomian Bantustan daripada Israel.
Israel membangun pabrik, rumah sakit, dan bahkan stadion sepak bola dan peternakan buaya di negara-negara boneka Afrika Selatan ini. Israel juga mengizinkan salah satu dari negara boneka ini, Bophuthatswana, untuk mempertahankan misi diplomatik di Tel Aviv. Pemimpin Bophuthatswana, Lucas Mangope, yang dicibir oleh seluruh dunia karena melegitimasi apartheid dengan bekerja sama dengan rezim Afrika Selatan, baru-baru ini mengunjungi Israel.
Ketika seluruh dunia memboikot kepura-puraan Bantustan, Israel (yang termotivasi untuk menjalin kerja sama keamanan dan pasar ekspor untuk industri persenjataannya) mulai memobilisasi untuk mendukung rezim apartheid. Kerja sama keamanan Israel dengan Afrika Selatan dimulai pada 1974 dan berakhir setelah terpilihnya Nelson Mandela pada 1994.
Hubungan selama 20 tahun itu mencakup kerja sama pengembangan senjata antara kedua negara, pengiriman senjata Israel ke Afrika Selatan, dan latihan militer. Bahkan, Afrika Selatan kadang-kadang menjadi pembeli terbesar senjata Israel. Melalui kerja sama ini, Israel menjadi salah satu sekutu terdekat Afrika Selatan, secara ekonomi, militer, dan diplomatik.
Pada akhirnya, Bantustan jatuh bersama dengan rezim apartheid, sebagian berkat pengorganisasian dan pertentangan internasional, termasuk tekanan dan boikot, meskipun kelompok supremasi kulit putih Afrika terus mempertahankan Bantustan hingga hari-hari keruntuhan apartheid.
Di bawah rencana Trump, Israel menyerahkan 70 persen dari Tepi Barat ke negara Palestina. (Gambar: Gedung Putih)
Upaya untuk menutupi rezim yang diskriminatif dan menindas dengan menciptakan negara otonom fiktif (yang dihuni oleh subjek yang tidak memiliki hak politik nyata) tidak berhasil di Afrika Selatan dan tidak akan berhasil di tempat lain, menurut Liel dalam tulisannya yang dimuat di Foreign Policy.
Hal itu, bagaimanapun, sedang diuji sekarang. Dengan dukungan aktif dari Amerika Serikat dalam bentuk “kesepakatan abad ini” oleh Presiden AS Donald Trump, Israel berusaha untuk memperkenalkan dan mengembangkan versi milenial baru dari kebijakan lama Afrika Selatan tersebut.
Baru-baru ini di Gedung Putih, Trump menganugerahkan penghargaan lain kepada teman dekatnya, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, menjelang pemilu 2 Maret mendatang di Israel, dan menyajikan rencana yang dibuat oleh menantu dan utusannya tanpa kehadiran warga Palestina.
Rincian rencana itu, dan retorika yang digunakan oleh Trump dan Netanyahu, memperjelas rencana itu bukanlah kesepakatan, melainkan implementasi rencana lama Netanyahu untuk semakin memperkuat kontrol Israel atas Tepi Barat dengan memberikan penghuninya daerah kantong yang terpisah, tanpa memberi mereka kebebasan nyata atau hak politik dasar. Tujuan itu sama dengan tujuan kebijakan Bantustan pemerintah apartheid Afrika Selatan.
Liel menjelaskan, Trump tidak hanya mencoba untuk memberi temannya hampir sepertiga dari Tepi Barat, tetapi ia juga mencoba memberi Netanyahu rute menuju pengakuan internasional. Mirip dengan pengakuan AS atas kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan dan kepindahan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem, Trump terus memberi sinyal ia dapat mendikte komunitas internasional untuk mengikuti langkahnya.
Ini adalah berita buruk bagi jutaan rakyat Palestina, tetapi tidak hanya untuk mereka. Selama bertahun-tahun, PBB telah menetapkan, pembagian tanah antara Sungai Yordan dan Laut Mediterania menjadi dua negara merdeka adalah satu-satunya solusi yang adil dan berkelanjutan.
Solusi ini didasarkan pada keyakinan bahwa semua 14 juta orang yang saat ini hidup di tanah itu memiliki hak untuk kemerdekaan, kesetaraan, dan martabat. Cara terbaik untuk memastikan hasil ini adalah mengakhiri pendudukan Israel, yang sekarang telah berlangsung lebih dari setengah abad, dan pembagian berdasarkan perbatasan pra-1967.
Lembaga terkemuka seperti Uni Eropa dan Liga Arab telah berulang kali menyatakan dukungan dan komitmen mereka terhadap model ini, seperti halnya pemerintahan AS sebelumnya, yang dipimpin oleh Partai Republik dan Demokrat.
Sayangnya, komitmen yang diakui komunitas internasional terhadap solusi dua negara belum terwujud dengan cara yang substantif, yang tampaknya telah mengarahkan Netanyahu dan Trump untuk berpikir, tak ada yang menghalangi visi aneksasi mereka.
Peta yang dilampirkan pada rencana Trump adalah tiruan dari model Bantustan, dengan fragmen Palestina dikelilingi oleh wilayah yang sepenuhnya di bawah kendali Israel, menjadikan dominasi satu kelompok etnis atau agama permanen.
Walaupun itu melanggar prinsip-prinsip tatanan internasional berbasis aturan, Trump tampaknya yakin dia dapat mengabaikan hukum internasional dan melegitimasi model apartheid baru abad ke-21, kata Liel. Unjuk kekuatan arogan ini harus ditanggapi dengan respons yang tegas.
Tiga tahun yang lalu, Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi 2334, yang menyatakan pemukiman di wilayah Palestina yang diduduki itu melanggar hukum dan tidak ada perubahan sepihak pada perbatasan pra-1967 yang akan diakui. Para pemimpin regional dan Barat, serta lembaga internasional, harus tegas menghadapi Trump dan Netanyahu.
Seperti yang telah Liel tekankan dalam tulisannya, tidak ada seorang pun yang harus memberikan persetujuan diam-diam terhadap bentuk apartheid baru ini dan ideologi yang melandasinya. Melakukan hal itu tidak hanya akan mengkhianati warisan dan kemanjuran perlawanan internasional terhadap apartheid Afrika Selatan, tetapi juga nasib jutaan orang yang tinggal di Israel dan apa yang seharusnya menjadi negara Palestina yang benar-benar merdeka.
Penerjemah: Nur Hidayati
Editor: Aziza Fanny Larasati
Keterangan foto utama: Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berbicara dengan Presiden Donald Trump pada tanggal 23 Mei 2017 di Yerusalem, Israel. (Foto: GPO via Getty Images/Kobi Gideon)
Rencana Perdamaian Israel-Palestina Trump adalah Apartheid Baru