Di Depan Kamera, Donald Trump dan Perwakilan Demokrat Perang Mulut
Amerika

AS Sibuk Tangani Pandemi, RUU Anti-China Macet di Washington

Calon Ketua Kongres Nancy Pelosi (D-CA) berbicara dengan Wakil Presiden Mike Pence dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump saat mereka bertemu dengannya dan Pemimpin Minoritas Chuck Schumer (D-NY) di Ruang Oval di Gedung Putih, Washington, AS, 11 Desember 2018. (Foto: Reuters/Kevin Lamarque)
Berita Internasional > AS Sibuk Tangani Pandemi, RUU Anti-China Macet di Washington

Di tengah pandemi COVID-19, nasib sekitar 300 rancangan undang-undang dan resolusi yang menantang China kini terjebak dalam limbo. Walau pengesahan legislasi non-COVID-19 secara substantif tidak mungkin, banyak anggota parlemen Amerika Serikat masih mendorong resolusi yang mengecam penanganan China terhadap wabah.

Kongres ke-116 Amerika Serikat akan selamanya terkenal karena sidang pemakzulan terhadap Presiden AS Donald Trump. Namun, mereka juga akan terkenal sebagai Kongres paling agresif dan paling produktif hingga saat ini dalam pendekatan terhadap China.

Ada jauh lebih banyak undang-undang terkait China yang diperkenalkan selama sesi kongres kali ini daripada, misalnya, undang-undang kontraterorisme yang diperkenalkan pada sesi ke-107 setelah tragedi 11 September 2001, menurut Anna Ashton, yang secara erat melacak pergerakan di Capitol Hill selama mengepalai urusan pemerintah AS di US-China Business Council.

Namun, di tengah pandemi COVID-19, South China Morning Post melaporkan, ketika prioritas legislatif berubah secara tiba-tiba untuk mengatasi masalah kesehatan masyarakat dan kejatuhan ekonomi, nasib sekitar 300 rancangan undang-undang dan resolusi yang menantang China kini berada dalam limbo hukum.

Baca Juga: Kerusuhan Manado Soroti Risiko COVID-19 di Penjara Indonesia

“Untuk saat ini dan mungkin untuk masa mendatang, COVID-19 akan benar-benar mendominasi apa yang dilakukan orang-orang di Capitol Hill,” tutur Ashton, mantan petugas intelijen yang berfokus pada China di Departemen Pertahanan AS.

Hanya beberapa minggu lalu, sebelum infeksi virus corona baru muncul di Amerika, para anggota parlemen berharap setidaknya beberapa rancangan undang-undang tersebut akan bergabung dengan Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong, UU yang kuat secara simbolis yang pengesahannya pada November 2019 telah menguji batas-batas hubungan AS-China yang sudah buruk.

Setelah berbulan-bulan negosiasi, legislasi yang menyerukan sanksi tegas terhadap para pejabat China atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang telah memenangkan banyak persetujuan di DPR dan Senat. RUU lain, termasuk yang berfokus pada Tibet, telah disahkan di salah satu dari dua kamar.

Kemajuan itu pun batal pada Januari 2021, ketika Kongres ke-116 saat ini berakhir sehingga setiap RUU yang tidak disetujui oleh kedua kamar dan ditandatangani menjadi undang-undang oleh presiden pun disingkirkan.

Bahkan jika Kongres AS dapat kembali bersidang dalam beberapa bulan mendatang, perhatian dari masalah legislatif akan segera ditarik kembali, kali ini menjelang perhelatan Pilpres AS 2020. Menjelang 3 November, Trump tidak hanya akan mencalonkan diri kembali untuk masa jabatan kedua, tetapi sebagian besar anggota DPR dan sekitar sepertiga dari Senat juga akan disibukkan dalam pertarungan pemilihan untuk tetap menjabat.

“Dalam tahun pemilu, benar-benar apa pun setelah Juli tidak ada yang mungkin terjadi,” tegas Chris Lu, mantan pengacara komite pengawas DPR AS yang kemudian menjabat sebagai sekretaris kabinet Gedung Putih era mantan Presiden AS Barack Obama.

“Ini akan menjadi tahun pembuatan undang-undang yang sangat singkat dengan pengecualian, jelas, terus memberikan bantuan dan kemungkinan stimulus terkait wabah,” ujar Lu, yang juga menjabat sebagai komisioner di Komisi Eksekutif Kongres atas China, panel penasihat berpengaruh tentang masalah hak asasi manusia di China.

Ketua DPR AS Nancy Pelosi, salah satu kritikus paling vokal China, maupun Pemimpin Mayoritas Senat AS Mitch McConnell tidak menanggapi permintaan komentar South China Morning Post tentang apakah mereka mengantisipasi penjadwalan sidang untuk setiap RUU yang terkait dengan China yang masih menunggu pemungutan suara.

Salah seorang pembantu DPR di Partai Demokrat, yang berbicara dengan syarat anonim, mengatakan kemungkinan pembahasan setiap rancangan undang-undang non-COVID-19 sangatlah terbatas.

Namun, terlepas dari peluang sempit untuk legislasi terkait China untuk mencapai meja Trump pada Januari 2021, banyak anggota parlemen mendesak maju, dengan retorika yang semakin intensif dan beberapa legislasi tentang upaya penanganan wabah oleh China.

“Tidak banyak dari apa yang diusulkan atau diperkenalkan di hari-hari mendatang mengenai China akan menjadi kebijakan, tetapi semua orang ingin menyampaikan pesan mereka mendukungnya,” ujar seorang staf senior Kongres AS.

Pada Maret 2020 saja, para anggota legislatif memperkenalkan setidaknya 20 RUU yang terkait dengan China, mulai dari tuntutan agar China membayar biaya pandemi di Amerika Serikat hingga seruan untuk penyelidikan internasional terhadap tanggapan China terhadap wabah.

Dengan meningkatnya kritik tentang tanggapan pemerintah AS sendiri, keluhan Partai Republik menjadi semakin keras.

Pada Jumat (10/4), Senator Lindsey Graham dari South Carolina menyatakan di Twitter, pemerintah China “bertanggung jawab atas 16.000 kematian dan 17 juta orang menganggur di Amerika.”

Pekan ini, politisi Partai Republik di DPR AS memperkenalkan resolusi yang mendesak pemerintahan Trump untuk memotong dana federal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sambil menunggu pengunduran diri Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dan penyelidikan terhadap dugaan bias pro-China.

Rancangan undang-undang tersebut sejalan dengan Trump, yang telah mengancam berulang kali untuk menahan pendanaan AS terhadap badan PBB itu, yang ia sebut “sangat China-sentris”.

Bagi banyak orang di Washington, pandemi COVID-19 telah menempatkan kekhawatiran pada erosi kepercayaan selama bertahun-tahun terhadap pemerintahan China, menurut Terry Haines, pendiri perusahaan konsultan Pangaea Policy.

“Pemerintah AS jauh lebih fokus dan waspada daripada beberapa bulan lalu,” tutur analis kebijakan itu.

Persepsi kesalahan penanganan China terhadap pandemi COVID-19 telah mengonsolidasikan kekhawatiran pada sejumlah aspek, ujar Haines, termasuk keluhan atas keamanan dan teknologi nasional, hak asasi manusia, dan seluruh masalah perdagangan.

Pandemi ini juga memperkuat kekhawatiran Amerika Serikat tentang ketergantungan rantai pasokan farmasi AS pada China, yang disebut oleh Komisioner Makanan dan Obat-obatan AS Stephen Hahn minggu ini sebagai “faktor risiko kritis”.

Hahn mengatakan, pasokan bahan-bahan farmasi aktif (API) Amerika tetap tidak terpengaruh dalam krisis saat ini, tetapi pandemi pasti mendorong orang-orang di Kongres dan pemerintah yang berusaha untuk melepaskan rantai pasokan AS dari China, khususnya yang dapat dihubungkan langsung dengan keselamatan dan keamanan rakyat Amerika.

“Apa pun bentuk keterlepasan sebenarnya, kedua partai di Kongres AS akan berusaha melakukan sesuatu setelah Washington keluar dari karantina,” menurut seorang staf senior kongres.

Rancangan undang-undang tentang China “harus didorong oleh kepemimpinan Kongres,” menurut sang staf senior, yang bersama dengan pembantu DPR mengatakan lebih mungkin potongan legislasi itu akan didorong sebagai amandemen untuk RUU yang harus pasti lolos, seperti anggaran atau Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional, bukan sebagai bagian legislasi yang berdiri sendiri.

Namun, belum pasti apakah kedua partai dapat bekerja sama dalam tahun pemilu, ketika konsensusnya mungkin akan berantakan, menurut staf senior itu.

Bahkan sekarang, sekitar tujuh bulan menjelang pemungutan suara pada November 2020, keretakan mulai terbentuk dalam aliansi bipartisan yang telah terbentuk selama beberapa tahun di sekitar kebijakan yang lebih agresif terhadap China.

Walau para anggota parlemen dari Partai Republik dan beberapa di pemerintahan Trump berusaha menyalahkan China atas penyebaran global COVID-19, Partai Demokrat sebagian besar berfokus pada kesalahan langkah domestik oleh pemerintah federal.

Tidak ada politisi Demokrat yang berada di antara 22 pendukung resolusi pada Selasa (7/4) yang ingin mengakhiri pendanaan Amerika Serikat terhadap WHO, misalnya.

Pada akhir Maret 2020, Seth Moulton, satu-satunya Demokrat yang awalnya mendukung resolusi yang menyerukan para pemimpin China untuk menyatakan tidak ada bukti virus corona baru “berasal dari China”, mengundurkan diri di tengah serangan dari rekan-rekan partainya, yang mengatakan RUU itu akan memicu rasisme anti-Asia di AS.

Baca Juga: Pandemi COVID-19, Badai Sempurna bagi Asia Selatan

Kampanye kepresidenan Trump telah mengirim pesan yang mirip dengan yang dilakukan Partai Republik di Kongres AS. Kampanye itu menggambarkan Trump sebagai presiden masa perang yang membela Amerika dari serangan “tidak hanya oleh virus yang tidak terlihat”, menurut salah satu rilis kampanye, “tetapi juga oleh China”.

Melalui pemilu, isu-isu China lebih mungkin untuk dimainkan dalam retorika seperti itu daripada oleh tindakan legislatif lebih lanjut, ujar Lu, mantan sekretaris kabinet Gedung Putih.

“Sulit membayangkan November tidak menjadi referendum tentang penanganan Trump terhadap wabah ini dan juga secara lebih luas dalam hal di tingkat kongres, apa pun keberhasilan atau kerusakan yang dihadapi Trump dalam hal ini,” tegas Lu, seorang superdelegasi Komite Nasional Demokratik (DNC). “Saya pikir titik termudah yang akan digunakan oleh Partai Republik adalah mencoba menyalahkan ini semua pada China.”

Strategi itu akan diperkuat lebih lanjut di negara-negara bagian pertanian Midwestern Amerika Serikat yang merupakan kubu pendukung politik Trump, jika kejatuhan ekonomi akibat pandemi menyebabkan China mengabaikan komitmen pembelian yang dibuat berdasarkan perjanjian dagang AS-China fase satu pada Januari 2020, Lu menambahkan.

Survei menunjukkan, menargetkan China akan sangat didukung para pemilih Partai Republik. Jajak pendapat Morning Consult baru-baru ini menemukan lebih dari separuh pendukung Partai Republik menyalahkan China atas penyebaran wabah ke AS. Di kalangan pendukung Partai Demokrat, angka itu hanya 17 persen.

Dalam penelitian minggu ini oleh Harris Poll, 78 persen dari Partai Republik (versus 40 persen dari Partai Demokrat) mengatakan pemerintah China bertanggung jawab atas penyebaran virus corona baru di AS. Sekitar 22 persen dari Republik dan 60 persen Demokrat menyalahkan pemerintah AS.

Walau musim pemilu dan kesibukan kongres terkait respons COVID-19 dalam negeri mungkin tetap menjadi kampanye tekanan dua partai atas isu China, para pengamat maupun orang dalam kongres mengatakan kesamaan semacam itu akan bersifat sementara. “Dalam jangka panjang, kita masih melihat dinamika yang sama,” menurut pembantu DPR AS.

Secara khusus dan terlepas dari bagaimana DPR, Senat, dan Gedung Putih bertindak, Kongres dalam sesi ke-117 kemungkinan akan mempertahankan “fokus yang signifikan pada kekhawatiran di sekitar China sebagai potensi ancaman keamanan nasional dan pesaing strategis”, menurut Ashton. “Konsensus bilateral ada di sana dan tidak akan hilang.”

Seperti dalam sesi kali ini yang terpecah belah dalam hal-hal domestik seperti perawatan kesehatan, imigrasi, dan pengawasan cabang eksekutif, South China Morning Post mencatat, kebijakan yang agresif terhadap China mungkin tetap menjadi salah satu dari beberapa kesamaan yang berharga.

“Akan ada, seperti hari ini, Kongres yang terbelah (dalam hal kursi) dan presiden yang tidak akan terpilih dengan menang telak dalam pemilu,” tutur Haines, memandang ke depan hingga Januari 2021.

“Akan ada pemerintahan yang sangat terpecah dalam banyak hal, yang menggarisbawahi: Berhati-hatilah ketika pandangan kedua partai bersatu. Area di mana ada konsensus besar akan menyebabkan banyak pekerjaan yang dilakukan. Contohnya adalah masalah China.”

 

Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari

Editor: Aziza Fanny Larasati

Keterangan foto utama: Calon Ketua Kongres Nancy Pelosi (D-CA) berbicara dengan Wakil Presiden Mike Pence dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump saat mereka bertemu dengannya dan Pemimpin Minoritas Chuck Schumer (D-NY) di Ruang Oval di Gedung Putih, Washington, AS, 11 Desember 2018. (Foto: Reuters/Kevin Lamarque)

AS Sibuk Tangani Pandemi, RUU Anti-China Macet di Washington

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top