Jakarta baru-baru ini memberlakukan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSSB) untuk mengatasi penyebaran COVID-19. Namun, minimnya tes, penegakan PSSB yang nihil, hingga statistik yang kabur, tetap mengganggu manajemen pandemi Indonesia.
Cisya Satwika masygul setelah menonton video petugas kesehatan mengenakan jas pelindung saat mengubur pamannya. Ia dan anggota keluarga lainnya hanya bisa berkabung pada jarak 25 meter (82 kaki) dari situs pemakaman. “Dia tinggal sendirian di rumahnya, sekarang dia meninggal sendiri pula,” kata Satwika kepada DW.
Pamannya meninggal dalam ambulans kala dibawa ke rumah sakit, setelah tertular virus corona. Namun, pada hari-hari sebelum kematiannya, ia telah ditolak oleh tiga rumah sakit, yang mengatakan mereka berada pada kapasitas maksimum.
Senada, Gynecs Ario juga merasakan kepedihan karena terpisah dari orang yang dicintainya. Sang ibu meninggal karena bawaan penyakit ginjal. Ia dimakamkan menurut protokol COVID-19 meskipun tidak mati karena virus.
“Kami membawanya dari Jakarta ke Magetan, Jawa Timur (643 kilometer dari Jakarta). Awalnya, orang tidak akan membiarkan kami menguburnya di sana. Akhirnya, kami diizinkan memakamkan Almarhum asal dilakukan dengan Protokol COVID-19. Hanya petugas yang diizinkan menguburkannya, dan kami harus berdiri jauh dari makam,” kata Ario lagi.
Meskipun sangat menyakitkan untuk berdiri begitu jauh dari makam, keluarga Ario pasrah. Sebab katanya, mereka memahami pentingnya mengambil tindakan pencegahan seperti itu di tengah wabah virus corona.
Kematian tinggi, tes minimal
Dengan jumlah kematian 280 dan lebih dari 3.200 kasus yang dikonfirmasi, tingkat kematian COVID-19 Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia.
Ibu kota, rumah bagi hampir 10 juta orang, dan sekitarnya jadi kawasan paling terpengaruh oleh corona, setelah mencatat hampir setengah dari penghitungan resmi infeksi di negara itu, menurut data Satuan Tugas Percepatan Mitigasi Penyakit Corona badan khusus yang bertujuan mengekang penyebaran penyakit.
Jumlah penguburan yang dilaporkan di ibu kota sendiri meningkat lebih dari 60 persen menjadi hampir 4.400 pada Maret 2020, menurut angka dari Departemen Taman, Hutan dan Pemakaman Jakarta. Tahun lalu, jumlah rata-rata pemakaman per bulan hanya 2.745.
Pada akhir Maret, Gubernur Jakarta Anies Baswedan curiga, jumlah korban yang meninggal karena corona jauh lebih tinggi daripada yang dicatat pemerintah.
“Ini berarti mungkin ada beberapa yang tidak diuji dan meninggal, sementara mereka yang telah diuji, meninggal sebelum hasil tes tersedia,” katanya.
Barry Sianturi, seorang ahli matematika di Universitas Indonesia menyebutkan, tingkat pengujian virus corona yang rendah di Indonesia kemungkinan menjadi faktor penyebab tingginya angka kematian. Sianturi juga mendesak pemerintah untuk meningkatkan pengujian.
“Di antara para peneliti, kami pesimis tentang data yang dikumpulkan oleh pemerintah. Jumlah tes masih terlalu kecil. Pada awalnya, akan ada 100 atau 200 [tes per hari], kemudian ada 1.000, tetapi angka itu turun lagi,” tuturnya.
“Negara-negara lain seperti Amerika Serikat, dapat melakukan hingga 10.000 uji virus corona per hari, sementara hingga sekarang di Indonesia, kurang dari 15.000 orang secara total telah diuji.”
Hanya 65 dari setiap juta yang diuji untuk virus corona di Indonesia, menurut Worldometer situs data pandemi. Itu berarti Indonesia, dengan populasi 264 juta, memiliki salah satu tingkat pengujian terendah di antara negara-negara dengan populasi 50 juta atau lebih. Sebagai perbandingan, Korea Selatan memiliki tingkat pengujian 9.812 per juta orang, sementara Malaysia memiliki tingkat 2.153 dan Vietnam tingkat 1.174.
Akurasi data dipertanyakan
Angka kematian resmi sangat bervariasi di berbagai lembaga di Indonesia. Data yang dikeluarkan oleh Departemen Taman, Hutan dan Pemakaman Jakarta berbeda dari angka yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik, misalnya. Perbedaan dalam data statistik itu menimbulkan hambatan besar bagi para peneliti, menurut Sianturi.
“Sebagai contoh, peneliti dari universitas lain juga menemukan kesulitan untuk mendapatkan data tentang jumlah unit perawatan intensif atau ventilator yang tersedia di Indonesia. Ini karena pengumpulan data tidak lengkap atau belum dibagikan secara publik,” katanya.
Reaksi pemerintah lambat
Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo melihat peralatan medis di ruang IGD saat meninjau Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Senin, 23 Maret 2020. Dalam kunjungannya, Presiden Jokowi memastikan rumah sakit darurat itu siap digunakan untuk menangani 3.000 pasien positif corona. (Foto: Antara/Hafidz Mubarak/Pool)
Pengumpulan data bukan satu-satunya masalah yang mengganggu manajemen pandemi di Indonesia, pemerintah juga relatif lambat merespons krisis ini.
Gubernur Jakarta juga mengritik respons darurat pemerintah pusat dalam sebuah wawancara televisi.
“Kecepatan kita bergerak akan menentukan berapa banyak orang yang terinfeksi, berapa banyak orang yang harus dirawat, dan berapa banyak orang yang akan mati,” katanya kepada Kompas TV.
Tidak lebih dari beberapa jam setelah Baswedan menyuarakan kritiknya, Menteri Kesehatan Indonesia Terawan menyetujui permintaan Gubernur untuk menerapkan pembatasan kontak di seluruh Provinsi Jakarta. Ini menjadikannya daerah pertama di Tanah Air yang mengadopsi langkah-langkah tersebut.
Pekerja medis jadi korban
Banyak dari korban COVID-19 Indonesia juga merupakan petugas layanan kesehatan. Beberapa di antaranya berjuang untuk meyakinkan pasien mematuhi langkah-langkah keselamatan. Seorang dokter perempuan di sebuah rumah sakit di Depok, mengatakan dia terjangkit corona usai pasien tiba-tiba melepas maskernya selama pemeriksaan.
“Kadang-kadang sangat sulit untuk meminta orang jadi disiplin,” kata Dokter yang enggan disebut identitasnya kepada DW.
Meskipun mengalami demam dan sesak napas, dia masih merasa beruntung dibandingkan dengan rekan-rekannya di rumah sakit lain.
“Ada dokter di rumah sakit kami yang membeli sendiri alat pelindung diri dan membaginya dengan kolega mereka. Saudara lelaki saya, yang adalah seorang dokter di Tangerang, menggunakan plastik untuk menutupi kurangnya pakaian pelindung,” katanya.
Warga tak patuh
Bahkan dengan langkah-langkah physical distancing, kepatuhan individu terhadap langkah-langkah tersebut juga menuai kritik. Mereka masih senang bergerombol atau keluar rumah tanpa mengenakan masker apa pun. Sehingga, dengan fenomena semacam ini, para peneliti memprediksi puncak pandemi akan terjadi pada Juni atau Juli. Menurut Sianturi, kurva corona hanya bisa mulai merata ketika orang mulai mempraktikkan physical distancing, dan kontrol pemerintah lebih ketat lagi.
“Dengar, bahkan tradisi mudik saja tidak dilarang oleh pemerintah. Meskipun ada persyaratan mereka yang mudik harus mengisolasi diri sendiri selama 14 hari, tidak ada yang bisa memantaunya,” ujarnya.
“Dalam berita, kita melihat ribuan orang telah mulai kembali ke desa asal mereka untuk menyambut Ramadhan. Gelombang [pergerakan] telah dimulai. Jika tidak dikelola oleh pemerintah, itu bisa berbahaya.”
Penerjemah: Anastacia Patricia
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Mudik Lebaran tahun ini yang tak dilarang oleh Jokowi, berpotensi menyebarkan virus corona jadi makin masif. (Foto: The Jakpost)
Sebab-sebab Korban Corona Indonesia Melonjak Drastis