
Ketua partai politik Presiden Prancis Emmanuel Macron menarik dukungan akhir pekan lalu untuk salah satu kandidat partai itu sendiri, Sarah Zemmahi, setelah dia mengenakan hijab di poster kampanye. Hal ini tidak asing lagi di Prancis, di mana larangan hijab sudah dimulai sejak abad lalu.
Stanislas Guerini, salah satu pendiri Republic on the Move party (LREM), menggunakan Twitter untuk mengkritik Zemmahi, seorang insinyur yang mencalonkan diri untuk dewan lokalnya, karena mengenakan hijabnya, penutup kepala religius yang dikenakan oleh beberapa wanita Muslim, dalam gambar promosi, lapor TIME.
“Mengenakan simbol agama yang mencolok pada dokumen kampanye tidak sesuai dengan nilai-nilai LREM,” tulis Guerini, setelah seorang politisi sayap kanan terkemuka membagikan foto tersebut. “Kandidat ini (harus) mengganti fotonya, atau LREM akan menarik dukungannya.”
Belakangan, Guerini menggandakan ketidaksetujuannya, mengatakan kepada radio RTL: “Wanita ini tidak akan menjadi kandidat En Marche.”
Meskipun Zemmahi belum menanggapi pernyataan Guerini, dia menerima penolakan dari orang lain di partai tersebut.
Anggota parlemen LREM Naima Moutchou membela Zemmahi di Twitter, menyebut kritik Guerini sebagai “diskriminasi”, sementara sesama politikus LREM Caroline Janvier mengkritik tanggapan Guerini dalam tweet pedas.
“Tidak bermartabat. Mengejar suara (paling kanan) hanya akan memungkinkan gagasan mereka menang. Sudah cukup,” tulisnya.
Konflik atas pilihan seorang wanita untuk menutupi kepalanya, muncul setelah kontroversi seputar amandemen yang disahkan oleh Senat Prancis bulan lalu, yang akan melarang anak perempuan di bawah 18 tahun mengenakan hijab di depan umum.
Sebagai bagian dari rancangan undang-undang “anti-separatisme”, RUU itu diajukan bersama dengan amandemen yang juga akan mencegah para ibu mengenakan hijab dalam perjalanan ke sekolah anak-anak mereka dan akan melarang “burkini”, pakaian renang yang menutupi seluruh tubuh.
Sementara beberapa politisi Prancis membela amandemen tersebut sebagai penguatan kepatuhan negara terhadap sekularisme, yang lain mengecamnya sebagai contoh lain dari ketegangan buruk Islamofobia di negara itu, yang merupakan rumah bagi populasi Muslim terbesar di Eropa Barat, populasi yang mengalami peningkatan diskriminasi dalam beberapa tahun terakhir, setelah serangan teroris oleh ekstremis Islam dalam beberapa tahun terakhir dan kebangkitan politik sayap kanan.
Satu laporan pada 2019 menemukan, 44,6% negara menganggap Muslim sebagai ancaman bagi identitas nasional Prancis. Sementara survei pemerintah pada tahun yang sama mencatat, 42% Muslim (penelitian lain menyebutkan 58%) melaporkan mengalami diskriminasi karena agama mereka, angka yang meningkat menjadi 60% untuk wanita yang mengenakan hijab, lapor TIME.
Tetapi memahami mengapa hijab menjadi sumber banyak kontroversi di Prancis, juga membutuhkan pemahaman sejarah yang mendalam di balik perdebatan tersebut.
Meski rancangan undang-undang yang diusulkan masih perlu disetujui oleh majelis rendah Parlemen Prancis sebelum bisa menjadi undang-undang, undang-undang tersebut telah mendapat reaksi keras dari banyak wanita Muslim di seluruh dunia, yang melihat undang-undang tersebut tidak hanya xenofobia dan diskriminatif, tetapi juga serangan terhadap mereka, sebuah sentimen yang telah berkembang selama bertahun-tahun, seiring politisi Prancis berpendapat bahwa undang-undang yang membatasi simbolisme agama bertujuan untuk pemberdayaan perempuan dan keamanan publik.
Di media sosial, tagar #HandsOffMyHijab telah menjadi seruan untuk memprotes amandemen tersebut, dimulai oleh model Somalia-Norwegia Rawdah Mohamed, yang menggunakan frasa tersebut dalam postingan Instagram yang sekarang viral untuk mengkritik potensi larangan tersebut. Itu kemudian mendapat dukungan dari orang-orang seperti anggota kongres AS Ilhan Omar dan pemain anggar Olimpiade Ibtihaj Muhammad.
“Bagaimana Anda bisa berdiskusi tentang identitas saya, dan tidak menyertakan saya?” Mohamed mengatakan kepada TIME. “Saya tidak berpikir politisi adalah orang-orang yang seharusnya mendefinisikan apa artinya menjadi wanita Muslim.”
Ilustrasi perempuan Muslim di Prancis yang kemungkinan bakal terancam dengan hukum “Anti-Muslim” Macron. (Foto: Middle East Eye)
Sejarah Prancis dengan kerudung
Para akademisi menelusuri fokus Prancis pada penutup kepala Muslim dan wanita yang memakainya, kembali ke masa lalu kekaisaran negara di Afrika Utara dan Timur Tengah, khususnya di Aljazair.
“Melarang hijab adalah tentang kolonialisme,” Alia Al-Saji, seorang profesor filsafat di Universitas McGill, mengatakan kepada TIME.
“Penjajahan Prancis atas negara-negara Muslim seringkali tentang mengendalikan dan mengelola populasi yang berbeda agama. Hijab adalah cara yang jelas menunjukkan bahwa Anda adalah Muslim, yang secara kolonial dibangun sebagai lawan dari kolonialisme. Tapi itu juga menjadi potensi perlawanan.”
Kolonisasi Prancis di Aljazair dimulai dengan invasi pada 1830 dan ditandai dengan genosida yang kejam, kolonialisme pemukim, dan serangkaian undang-undang yang bergeser yang disebut “indigénat”, yang antara lain, menentukan siapa yang bisa menjadi warga negara Prancis.
Al-Saji mencatat, undang-undang ini berpengaruh dalam menekankan perbedaan bagi mayoritas Muslim di Aljazair; misalnya, walau penduduk asli Aljazair Yahudi diakui sebagai warga negara Prancis pada 1870 dengan Keputusan Cremieux, penduduk asli Aljazair Muslim tidak memenuhi syarat untuk kewarganegaraan Prancis, kecuali mereka meninggalkan agama dan budaya mereka dan mengadopsi identitas Prancis.
Hal yang melekat dalam sikap kolonial adalah keyakinan bahwa “peradaban” (bahasa, nilai, dan praktiknya) merupakan perbaikan kehidupan orang-orang yang dijajah. Keyakinan ini memanifestasikan dirinya secara drastis dalam sikap terhadap wanita Muslim Aljazair, yang dipandang tertindas dan eksotik. Di bawah pola pikir ini, “pembebasan” mereka bisa menjadi pembenaran moral bagi korban kekerasan imperialisme.
Dinamika ini mungkin paling baik diilustrasikan selama Perang Kemerdekaan Aljazair, ketika serangkaian upacara pembukaan publik diselenggarakan pada 1958, catat TIME.
Selama upacara ini (banyak di antaranya diatur oleh tentara Prancis), wanita Aljazair melepaskan haik mereka (pembungkus tradisional yang dikenakan oleh perempuan Afrika Utara) atau dilepaskan oleh wanita Eropa, sebelum dibuang ke tanah atau dibakar. Seringkali, pidato diberikan setelahnya untuk mendukung Prancis dan emansipasi wanita Muslim.
Walau upacara yang sangat dipublikasikan ini dibingkai sebagai ruang pemberdayaan bagi wanita Muslim, catatan lain dalam sejarah ini menceritakan kisah yang berbeda.
Dalam bukunya, Burning the Veil: The Algerian War and the Emancipation of Muslim Women, 1954-1962, Neil MacMaster mencatat, beberapa wanita yang mengambil bagian dalam upacara ini sangat miskin, direkrut dari sekolah menengah atau, di beberapa kasus, ditekan untuk berpartisipasi dengan ancaman terhadap keselamatan mereka dan keluarga mereka.
Dalam satu kasus yang mengerikan, ketika tentara tidak dapat menemukan seorang wanita Muslim untuk memimpin upacara, mereka meminta Monique Améziane (seorang wanita muda dari keluarga kaya dan pro-Prancis yang sebelumnya tidak mengenakan kerudung atau heik) untuk berbicara, sebagai gantinya untuk menyelamatkan nyawa saudara laki-lakinya, yang telah mereka tangkap dan siksa.
Kekuatan simbolis hijab selama ini, bagaimanapun, tidak hanya diakui oleh Prancis, tetapi juga oleh mereka yang berjuang untuk pembebasan Aljazair.
Dalam tulisannya, Algeria Unveiled, Frantz Fanon menyatakan, hijab dapat menjadi alat perlawanan anti-kolonial dan cara membatasi akses ke penindas, bahkan menyebutnya sebagai “rawan pertikaian dalam pertempuran megah”.
Selama perang, hijab juga menjadi alat perlawanan. Beberapa pejuang kemerdekaan perempuan untuk Front Pembebasan Nasional menggunakan haik untuk menyembunyikan senjata dan informasi rahasia; setelah taktik ini ditemukan, mereka menggunakan pengungkapan tersebut untuk keuntungan mereka, mengadopsi pakaian Eropa sebagai cara untuk berada di bawah radar Prancis.
Bagaimana hijab dijadikan senjata
Di Prancis, di persimpangan identitas gender, etnis, dan agama, cadar atau penutup kepala Muslim mengambil signifikansi baru di abad ke-20. Saking populernya seni orientalis selama ini, hijab sudah memiliki stereotip yang asing dan terlarang. Tetapi hijab tidak lagi hanya sebagai penanda fisik dari perbedaan agama atau budaya, itu juga dilihat sebagai penghinaan terhadap asimilasi, simbol perlawanan terhadap penjajahan yang terlihat.
Makna ini diperkuat oleh dukungan kukuh negara terhadap identitas budaya dan sosial Prancis yang bersatu, yang bertentangan dengan multikulturalisme. Keyakinan ini dapat ditelusuri kembali ke Revolusi Prancis, yang juga dianggap telah menanam benih untuk laïcité, prinsip sekularisme Prancis.
Meskipun laïcité berasal dari undang-undang 1905 tentang pemisahan gereja dan negara, ia telah digunakan dalam beberapa tahun terakhir sebagai kekuatan pendorong di balik kebijakan anti-hijab.
Pada 2004, hijab Muslim termasuk di antara serangkaian simbol agama yang dilarang dikenakan di sekolah umum Prancis, lapor TIME.
Pada 2010, negara tersebut melarang cadar penutup seluruh wajah seperti niqab di ruang publik seperti jalan, taman, dan transportasi umum, menjadi negara Eropa pertama yang memberlakukan larangan nasional dan bahkan meluncurkan kampanye pemerintah yang dengan bangga menyatakan, “Republik adalah hidup dengan wajah yang tidak tertutup”.
Sentimen ini menjadi ironi baru pada awal pandemi virus corona pada 2020, ketika Prancis mewajibkan penggunaan masker di ruang publik, sambil tetap melarang penutup wajah Muslim.
“Wanita Muslim yang mengenakan hijab selalu menjadi penerima Islamofobia karena identitas mereka yang terlihat,” Nazma Khan, pendiri Hari Hijab Dunia, mengatakan kepada TIME. Sederhananya, larangan hijab yang diusulkan adalah fitnah sistematis dan diskriminasi terhadap wanita Muslim berhijab.
The Collective against Islamophobia in France (sebuah organisasi nirlaba yang dipaksa oleh pemerintah Prancis untuk dibubarkan pada 2020 dalam sebuah tindakan yang disebut oleh Human Rights Watch sebagai “ancaman terhadap hak asasi manusia dan kebebasan”), melaporkan pada 2019 bahwa 70% dari ujaran kebencian Islamofobia dan tindakan di Prancis ditujukan pada wanita.
Bagi para pendukung, fokus intens pada pelarangan hijab bersama dengan retorika yang menggembar-gemborkan pemberdayaan perempuan, dapat mengalihkan perhatian dari apa yang sebenarnya dipertaruhkan: apa yang mereka lihat sebagai upaya Prancis untuk mengontrol warga.
“Jika itu tentang memberi wanita Muslim lebih banyak hak pilihan, maka dalam hal itu, Anda bisa membiarkan mereka atau membiarkan semua wanita memakai apa pun yang mereka inginkan,” tegas Al-Saji kepada TIME.
Penerjemah: Desi Widiastuti
Editor: Aziza Larasati
Keterangan foto utama: Demonstran yang mengenakan hijab memprotes RUU tentang separatisme di Paris, pada 14 Februari 2021. (Foto: Jacopo Landi—Hans Lucas/Reuters)
