Berita Politik Indonesia Hari Ini

Sekolah dari Rumah Banyak Ruginya, Pemerintah Perlu Pikirkan Solusi

Murid sekolah dasar memegang Kartu Indonesia Pintar. (Foto: Kemendikbud)
Berita Internasional > Sekolah dari Rumah Banyak Ruginya, Pemerintah Perlu Pikirkan Solusi

Bahkan sebelum pandemi COVID-19 tahun ini, prestasi akademik pelajar Indonesia tertinggal dari rekan-rekan mereka di negara lain. Ketika pandemi melanda, banyak yang kehilangan kesempatan untuk mengejar ketinggalan, dan sekarang berisiko kehilangan pembelajaran yang signifikan karena penutupan sekolah yang berkepanjangan.

Namun kerugian pembelajaran tampaknya tidak menarik perhatian yang sama dengan kerugian ekonomi. Di banyak provinsi, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) telah dilonggarkan untuk mencegah resesi ekonomi lebih lanjut. Sebaliknya, sekolah lambat dibuka kembali karena risiko penularan virus corona, tulis Arjuni Rahmi dan Shintia Revina dalam analisis mereka di Indonesia at Melbourne.

Padahal, risiko kerugian pembelajaran memang perlu mendapat perhatian yang lebih besar, karena penutupan sekolah yang berkepanjangan dapat mengakibatkan penurunan pendapatan permanen di kemudian hari. Kerusakan ini akan menjadi yang paling parah di antara siswa yang kurang beruntung yang menderita ketidaksetaraan belajar sebelum pandemi.

Dibandingkan dengan teman sebayanya, siswa yang kurang beruntung memiliki akses yang tidak memadai ke sumber daya untuk belajar dari rumah, yang membuat mereka semakin tertinggal ketika kembali ke sekolah. Selain status sosial ekonomi, praktik pembelajaran juga cenderung timpang.

Tingkat ketimpangan yang tinggi di kalangan pelajar di seluruh Indonesia ini tampaknya tidak diantisipasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam merencanakan tanggapannya terhadap pandemi. Mendikbud Nadiem Makarim mengaku pada Mei lalu bahwa ia baru mengetahui beberapa daerah di Indonesia tidak memiliki pasokan listrik, apalagi akses internet yang dapat diandalkan.

Bagaimana pelajar Indonesia berhasil belajar selama pandemi, dan bagaimana pengalaman belajar yang terdistorsi memperburuk ketidaksetaraan yang ada? Dapatkah kebijakan pembukaan kembali sekolah saat ini mengatasi masalah tersebut?

Para siswa Muslim yang mengenakan masker wajah melakukan sosialisasi jarak jauh sambil membaca Alquran di Masjid Daarul Qur’an Al Kautsar, di tengah-tengah penyebaran penyakit virus corona (COVID-19) selama bulan puasa Ramadan, di Bogor, provinsi Jawa Barat, Indonesia , 9 Mei 2020. (Foto: Reuters/Willy Kurniawan)

‘Sekolah dari rumah’ dan ketidaksetaraan belajar

Survei dan wawancara mendalam Arjuni Rahmi dan Shintia Revina dari April hingga Juni dengan guru sekolah dasar, kepala sekolah, dan orang tua menunjukkan, kualitas pembelajaran bervariasi sejak ‘sekolah dari rumah’ diperkenalkan pada awal tahun.

Variasi ini telah menghasilkan ketidaksetaraan, karena kelompok siswa tertentu menerima pembelajaran dan dukungan yang tidak memadai dibandingkan dengan teman sebayanya.

Di pihak guru, Arjuni Rahmi dan Shintia Revina menemukan variasi yang luas dalam persepsi dan praktik mengajar. Banyak guru di sekolah negeri menganggap sekolah dari rumah sebagai liburan sekolah, sehingga tidak mengadakan pelajaran apa pun selama periode “liburan” tersebut.

Guru sekolah negeri lainnya berpikir bahwa pelajaran harus dilanjutkan, tetapi dalam praktiknya hanya memberi siswa banyak pekerjaan rumah, dengan harapan sekolah akan segera dibuka kembali.

Sementara itu, guru sekolah swasta cenderung memandang sekolah dari rumah sebagai kelanjutan dari pembelajaran normal, dan dengan demikian mempersiapkan pelajaran. Di daerah perkotaan, beberapa sekolah swasta telah mengantisipasi dan mempersiapkan skenario home schooling sejak pemerintah mengonfirmasi kasus COVID-19 pertama pada Maret lalu.

Arjuni Rahmi dan Shintia Revina menemukan bahwa secara umum, guru di perkotaan (dan khususnya di pulau Jawa), lebih baik dalam menggunakan aplikasi digital untuk menyampaikan pelajaran atau tugas.

Guru di beberapa sekolah swasta di daerah perkotaan Jawa melaporkan bahwa mereka mencoba memfasilitasi pembelajaran virtual dengan cara yang sama seperti mereka melakukan pembelajaran di sekolah. Para guru ini berinteraksi dengan siswa secara teratur menggunakan konferensi video.

Sebaliknya, guru di pedesaan di luar Jawa, dan terutama di daerah dengan akses internet yang terbatas, kurang berinteraksi dengan siswa dan jarang berkomunikasi dengan orang tua untuk membahas kemajuan pembelajaran. Guru di daerah ini harus melakukan kunjungan ke rumah untuk memastikan bahwa pembelajaran dapat berlanjut selama penutupan sekolah.

Beberapa guru berhasil mengajar siswa secara teratur dalam keadaan tidak normal ini, lanjut Arjuni Rahmi dan Shintia Revina. Di Enrekang, Sulawesi Selatan, seorang guru melaporkan bahwa dia harus menempuh perjalanan rata-rata sejauh 30 kilometer untuk sampai ke setiap rumah siswanya.

Dukungan sekolah merupakan faktor lain yang berkontribusi terhadap variasi pembelajaran. Guru di daerah perkotaan di Jawa lebih cenderung menerima dana dari sekolah mereka untuk membeli data internet dan menerima pelatihan tentang cara menggunakan teknologi untuk pengajaran jarak jauh. Guru sekolah swasta lebih mungkin menerima bantuan ini daripada guru di sekolah negeri.

Arjuni Rahmi dan Shintia Revina juga menemukan variasi dalam lingkungan rumah siswa, termasuk kualitas pengawasan orang tua dan sumber belajar. Anak-anak dengan orang tua berpendidikan rendah yang tinggal di daerah pedesaan lebih cenderung menghabiskan waktu mereka bermain daripada belajar, dan memiliki jadwal belajar yang tidak jelas.

Selain itu, anak-anak dengan status ekonomi rendah tidak mampu membeli perangkat teknologi dan data internet yang dibutuhkan untuk belajar dari jarak jauh, sehingga ketinggalan pelajaran.

Pilihan untuk membuka kembali sekolah

Dorongan untuk membuka kembali sekolah telah mendapatkan momentumnya, karena pembelajaran jarak jauh yang berkepanjangan terbukti tidak mampu memberikan pembelajaran yang berkualitas bagi sebagian besar siswa.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan program untuk membantu siswa yang kurang beruntung selama penutupan sekolah, namun sebagian besar siswa tersebut masih mengalami hasil belajar yang buruk, Arjuni Rahmi dan Shintia Revina mencatat.

Pemerintah daerah yang membuka kembali sekolah untuk memungkinkan pelajaran tatap muka, sekarang merupakan pilihan terbaik untuk mencegah anak-anak yang kurang beruntung agar tidak semakin tertinggal.

Banyak orang tua juga menantikan pembukaan kembali sekolah. Orang tua yang bekerja penuh waktu telah menyatakan kekhawatiran tentang kemampuan mereka untuk mendukung anak-anak mereka belajar di rumah.

Sebagai tanggapan, Kemendikbud pertama-tama mengizinkan sekolah di “zona hijau” (dengan nol kasus virus corona yang dikonfirmasi) untuk dibuka kembali di bawah protokol kesehatan yang ketat pada Juni. Ini kemudian diperluas ke sekolah-sekolah di “zona kuning” (dengan risiko penyebaran COVID-19 yang rendah).

Pendekatan hati-hati pemerintah untuk membuka kembali sekolah dapat dimengerti, namun implementasinya tetap menghadapi masalah. Secara administratif, pembukaan kembali tunduk pada izin yang dikeluarkan oleh otoritas tingkat daerah. Artinya, siswa baru bisa kembali bersekolah jika pemerintah daerah siap melaksanakan perubahan.

Di salah satu kota “zona hijau” di Sumatra Barat, sekolah tidak dibuka kembali ketika seorang guru dinyatakan positif virus corona, setelah pemerintah daerah melakukan tes swab untuk semua guru dan staf sekolah.

Di kota lain di provinsi yang sama, siswa dipaksa untuk kembali melakukan pembelajaran jarak jauh setelah dua anggota staf sekolah dinyatakan positif. Secara keseluruhan, tingkat pembukaan kembali sekolah (bahkan di daerah yang relatif aman) tetap rendah. Pada tingkat ini, sekolah di daerah yang lebih padat kemungkinan besar akan menutup pintu sampai pandemi benar-benar berakhir.

Alih-alih mengeluarkan mekanisme satu ukuran untuk semua, pemerintah dapat menciptakan lebih banyak opsi untuk membuka kembali sekolah, Arjuni Rahmi dan Shintia Revina memaparkan. Sekolah dapat diberi keleluasaan untuk memilih skenario untuk dibuka kembali, setelah memenuhi protokol kesehatan pemerintah. Misalnya, sistem shift dapat diperkenalkan kepada siswa jika semua orang tua mengizinkan anak-anak mereka kembali ke sekolah.

Jika sekolah tidak dapat dibuka kembali, kepala sekolah dapat menempatkan guru dalam daftar bergilir untuk memberikan bantuan langsung kepada orang tua atau anak yang membutuhkan. Sekolah juga perlu memiliki mekanisme bagi orang tua yang tidak mengizinkan anaknya kembali ke sekolah. Misalnya, guru dapat melakukan kunjungan rumah ke anak-anak yang tinggal di lingkungan yang sama untuk memfasilitasi pembelajaran kelompok.

Meskipun kesehatan siswa dan komunitasnya adalah yang terpenting, diperlukan pendekatan yang lebih bernuansa yang dapat melindungi kesehatan siswa serta masa depan mereka.

Untuk mencegah siswa Indonesia (dan terutama yang paling kurang beruntung) ketinggalan lebih jauh, pemerintah sekarang harus mempertimbangkan opsi selain penutupan sekolah yang berkepanjangan, Arjuni Rahmi dan Shintia Revina menyimpulkan.

 

Penerjemah dan editor: Aziza Larasati

Keterangan foto utama: Murid sekolah dasar memegang Kartu Indonesia Pintar. (Foto: Kemendikbud)

Sekolah dari Rumah Banyak Ruginya, Pemerintah Perlu Pikirkan Solusi

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top