Kemajuan telah terwujud di beberapa daerah di Palu, tetapi penduduk mengatakan mata pencaharian telah berkurang dan distribusi bantuan berjalan lambat. Gempa bumi yang melanda wilayah itu tanggal 28 September 2018 telah merusak infrastruktur utama di kawasan itu termasuk irigasi, rumah sakit, dan sekolah. Menurut Palang Merah, sekitar 57.000 orang telah kehilangan tempat tinggal.
Bagi Ariyati, bencana yang merenggut nyawa ibunya dan lebih dari 4.800 orang lainnya setahun lalu telah diikuti oleh bencana lain yang tak terlihat dan juga lebih besar. Desa Kulawi tempatnya tinggal hampir hancur total ketika gempa berkekuatan 7,4 skala Richter, yang paling mematikan tahun 2018, menggerakkan retakan sepanjang 160 kilometer yang membentang dari dasar samudra ke pegunungan di Sulawesi Tengah, memicu tsunami dan peristiwa pencairan tanah yang mengerikan, menghancurkan lingkungan rumahnya.
Ketika Al Jazeera pertama kali mengunjungi Ariyati bulan Oktober 2018, kekhawatiran terbesarnya adalah membangun rumah baru dan mencari makanan setelah tanah longsor yang dipicu oleh gempa bumi memotong akses menuju desa itu. Namun, dalam beberapa bulan terakhir, desa Ariyati dan beberapa desa lainnya dilanda banjir ekstrem, menghancurkan tanah pertanian mereka.
“Semua orang tahu bahwa orang-orang yang tanpa rumah karena gempa bumi kini menderita,” kata guru dan ibu berusia 40 tahun yang memiliki tiga anak itu. “Tetapi dengan kerugian yang diderita oleh orang-orang yang dilanda gelombang lumpur, yang kehidupannya bergantung pada pertanian kopi dan coklat, siapa yang lebih terdampak?”
Gempa bumi yang melanda wilayah itu tanggal 28 September 2018 telah merusak infrastruktur utama di kawasan itu termasuk irigasi, rumah sakit, dan sekolah. Sementara rumah sakit Anutapura, di mana setengah bangunan runtuh, telah dibersihkan dan mendapatkan dana untuk pembangunan kembali, ribuan siswa masih bersekolah di tenda-tenda. Menurut Palang Merah, sekitar 57.000 orang telah kehilangan tempat tinggal.
Ariyati dan sepupunya Maruf di Kulawi. (Foto: Al Jazeera/Ian Morse)
Rumitnya proses pemulihan
Para pekerja bantuan mengatakan bahwa pemulihan belum berjalan secepat yang mereka harapkan, ketika orang-orang baru saja mulai menerima bantuan uang tunai pemerintah yang dijanjikan beberapa bulan lalu. Bantuan tersebut termasuk transfer uang ke rekening bank khusus untuk membangun kembali rumah yang rusak, menutupi biaya hidup dasar selama dua bulan, dan memberikan kompensasi kepada keluarga atas kehilangan orang terkasih.
Palang Merah Indonesia (PMI), seperti banyak kelompok bantuan, hanya memiliki sumber daya untuk fokus pada beberapa ribu keluarga dan meminta arahan dari pemerintah.
“Kami harus melibatkan semua orang dari pemerintah daerah, termasuk bank lokal, karena ada ribuan rekening bank yang harus dibuka untuk mendistribusikan bantuan tunai,” kata Syaiful Alam, kepala operasional PMI.
Ariyati telah menerima dana kompensasi 15 juta rupiah atas kematian ibunya. Tetapi dia masih menunggu uang untuk menutupi biaya pembangunan kembali dan biaya hidup.
Rekonstruksi baru di Kulawi direncanakan sebelum gempa bumi atau dibangun oleh yayasan swasta. Seperti rumah baru Ariyati, misalnya, bahan bangunannya diambil dari sisa-sisa rumah yang telah runtuh. Membangun rumah batu dan beton terlalu berbahaya, katanya kepada Al Jazeera.
“Kami memiliki pepatah baru di sini, ‘Jangan pergi di malam hari’,” tambah sepupu Ariyati, Maruf. Tanah longsor dan banjir bisa terjadi kapan saja, dan saat senja telah dianggap sebagai bencana. Itu adalah momen ketika gempa bumi melanda tahun 2018.
Samsun di luar tendanya tempat dia mulai tinggal setelah gempa. Banjir telah menghancurkan penghidupannya sehingga dia tidak bisa kembali ke desanya. (Foto: Al Jazeera/Ian Morse)
Zona Merah
Di dataran rendah, pemerintah merancang setidaknya tiga bagian baru kota, untuk penduduk yang harus dipindahkan jauh dari yang baru ditunjuk sebagai zona merah, yakni daerah yang dianggap terlalu berisiko sebagai tempat tinggal.
Daerah-daerah itu termasuk pantai yang dilanda tsunami dan tiga daerah pencairan tanah, yakni Petobo, Balaroa, dan Jono Oge. Lebih dari 10.000 rumah akan dibangun, masing-masing menampung satu keluarga, dan 1.600 keluarga pertama akan mulai pindah bulan Desember 2019, menurut pemerintah.
Di lembah Sigi di selatan kota Palu, banjir yang melanda tiga kali telah menghancurkan 80 persen rumah, menenggelamkan setiap harapan untuk membangun kembali desa yang sudah hancur, menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sigi Asrul Repadjori.
“Gempa bumi mengguncang tanah di pegunungan dan menciptakan tanah longsor, tetapi sekarang tanah itu telah mengalir ke sungai,” kata Asrul. “Sungai-sungai tidak bisa menampung banyak air, sehingga mendorong air melewati tepi sungai dan menuju rumah-rumah ketika turun hujan.”
Banjir ekstrem telah mempengaruhi setidaknya 500 rumah tangga. Namun, gempa bumi telah melumpuhkan irigasi tahun 2018 dan sistem itu tetap kering, sehingga ribuan orang lainnya mengalami kesulitan mencari nafkah.
Dikutip dari Al Jazeera, Minggu (29/5), pinjaman US $ 300 juta dari Bank Pembangunan Asia membantu membiayai pembangunan bendungan kecil untuk mengisi saluran irigasi baru, yang seharusnya selesai bulan Desember 2019.
Samsun yang tinggal di dataran rendah Sigi telah menanam sawah lamanya dengan jagung karena tanaman itu tidak membutuhkan banyak air. Tapi penghasilannya masih terlalu kecil.
“Kami sudah tidak bisa tinggal di rumah setelah gempa,” kata Samsun dari tenda terpalnya, satu jam perjalanan di selatan Palu. “Kami tidak bisa hidup dari pendapatan dari pertanian jagung, itu bahkan bukan panen penuh.”
“Masalah paling sederhana adalah mendapatkan air bersih, di tempat penampungan sementara atau bahkan rumah mereka sendiri,” kata Chandra, seorang koordinator di LSM Indonesia Aksi Cepat Tanggap (ACT), yang memberikan bantuan tempat penampungan dan pasokan air. “Tapi irigasi adalah kebutuhan yang paling mendesak. Irigasi sangat dilanda gempa bumi dan masih belum diarahkan ke mana harus mengalir. Para petani bergantung pada irigasi untuk keberlangsungan hidup mereka.”
Jalan menuju Kulawi sekarang sebagian besar sudah dibersihkan, tetapi masih ada risiko tanah longsor yang dapat memotong akses menuju wilayah itu. (Foto: Al Jazeera/Ian Morse)
Hancurnya sumber air
Tempat perlindungan adalah masalah yang berkelanjutan, kata Dino Satria, pemimpin lokal untuk lengan organisasi Save the Children di Indonesia, Yayasan Tunas Cilik. Seperti banyak LSM yang aktif di kawasan ini, mereka hanya dapat membantu beberapa ribu keluarga dan mengandalkan pihak berwenang untuk mendapatkan bimbingan.
“Pemerintah sedang berusaha untuk menyediakan relokasi untuk situs-situs di mana pencairan tanah terjadi,” kata Dino. “Itu bukan tugas yang mudah.”
Tempat tinggal sementara di daerah pedesaan, tempat tinggal Ariyati, lebih mudah karena orang dapat menemukan lebih banyak tanah atau tinggal bersama anggota keluarga. Namun, di pinggiran kota, sejumlah orang masih tinggal di tenda-tenda yang mereka bangun bulan Oktober 2018, sebelum kelompok-kelompok bantuan mulai membangun tempat penampungan sementara.
Meski banyak tempat penampungan baru belum ditempati, karena alasan birokrasi atau orang-orang yang enggan pindah lagi setelah menghabiskan satu tahun membangun kehidupan baru di tempat lain, pihak berwenang memperkirakan bahwa masih banyak rumah yang dibutuhkan.
Rumah sementara, tempat banyak orang di Palu pindah setelah bencana ganda, kini mulai terlihat lebih permanen. (Foto: Al Jazeera/Ian Morse)
Beberapa kelompok bantuan lokal dan nasional menuduh pemerintah memperlambat upaya pemulihan. Namun, mengingat skala bencana yang menimpa Palu, Syaiful dari PMI mengatakan bahwa telah terjadi kemajuan. “Jika kita pergi ke semua daerah yang terdampak, Anda seakan tidak dapat menyaksikan bahwa pernah ada bencana yang terjadi di sini,” katanya.
Di perbukitan, Ariyati mendapatkan penghiburan dari layanan pemakaman yang bisa diadakannya untuk ibunya. “Ada begitu banyak orang! Semua orang membawa nasi dan ayam, dan kami menyembelih dua sapi,” katanya. “Bencana telah menyatukan kami.”
Tapi Ariyati khawatir tentang masa depan. Gempa bumi telah menghancurkan sumber air desa dan pipa yang dipasang untuk menggantikan sistem yang rusak telah gagal. Distribusi makanan telah berhenti. Sementara panen kakao digunakan untuk mendatangkan 6 juta rupiah per bulan, prosesnya sekarang telah terhenti. Para warga yang dulu menghabiskan hari-hari mereka di ladang, sekarang hanya duduk-duduk dan menunggu.
“Bagaimana kami bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari kita jika kami tidak dapat menghasilkan uang?” tandas Ariyati.
Keterangan foto utama: Nelayan di sebuah pantai di Palu. Mereka telah menerima perahu baru untuk menggantikan perahu hilang akibat tsunami. (Foto: Al Jazeera/Ian Morse)
Setahun Bencana Palu Sulawesi, Lambatnya Kemajuan Pemulihan Kembali