Skandal Ukraina yang menjerat Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah menimbulkan penyelidikan pemakzulan terhadap dirinya oleh Partai Demokrat di DPR AS. Skandal itu pada akhirnya membayangi sejumlah pencapaian yang dihasilkannya selama ini dalam hal kebijakan luar negeri, khususnya di kawasan Timur Tengah.
Oleh: Lawrence J. Korb (The National Interest)
Penyelidikan pemakzulan yang dilakukan Partai Demokrat atas panggilan telepon Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Juli 2019 dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, telah membayangi berbagai pencapaian Trump selama ini.
Sejumlah keberhasilannya―di antaranya pidato “America first” yang diberikan Trump di hadapan Majelis Umum PBB yang merayakan nasionalisme Amerika dan langkah-langkah proaktif yang telah diambilnya sebagai tanggapan atas serangan Iran terhadap fasilitas minyak Arab Saudi―belum menerima perhatian yang selayaknya.
Keputusan Trump untuk mengabaikan tokoh-tokoh agresif di partainya sendiri, mengirimkan personel militer tambahan dan sistem pertahanan ke Arab Saudi, hingga keputusannya untuk meningkatkan sanksi ekonomi terhadap Bank Sentral Iran, membuktikan bahwa Trump siap untuk membuat keputusan yang masuk akal secara strategis demi meningkatkan keamanan Amerika Serikat.
Presiden AS Donald Trump menjawab pertanyaan wartawan di depan lukisan mantan presiden AS George Washington dan Thomas Jefferson saat ia menjamu Presiden Romania Klaus Iohannis di Ruang Oval di Gedung Putih, Washington, AS, 20 Agustus 2019. (Foto: Reuters/Kevin Lamarque)
Pertama, berbagai tindakan tersebut memberi sinyal kepada para sekutu Amerika Serikat di kawasan itu bahwa AS memandang serangan tanggal 14 September 2019 terhadap fasilitas minyak Arab Saudi sebagai peningkatan signifikan dalam perang antara Arab Saudi, Iran, dan Houthi sekutu Iran. Meskipun serangan tersebut terjadi setelah ratusan serangan serupa yang telah terjadi sejak bulan Mei 2015, namun itu adalah yang pertama kali menargetkan infrastruktur minyak Saudi yang berdampak pada ekonomi global.
Kedua, tidak hanya pengerahan pasukan AS yang relatif kecil, Menteri Pertahanan AS Mark Esper menekankan bahwa pengerahan mereka bersifat defensif. Selain itu, mengingat jumlah sanksi yang sudah berlaku, sanksi baru sebagian besar simbolis. Sanksi itu tidak akan secara signifikan meningkatkan tekanan ekonomi maksimum yang diberikan Trump kepada Iran ketika dia menarik AS dari JCPOA.
Ketiga, mengerahkan lebih banyak pasukan Amerika Serikat di tanah di Arab Saudi berarti bahwa jika ada serangan signifikan lainnya di Kerajaan Saudi, ada peningkatan kemungkinan bahwa personel militer Amerika akan terluka atau terbunuh. Jika itu terjadi, Trump akan mendapat lebih banyak dukungan dari Kongres AS, publik, dan sekutu AS jika dia ingin menanggapi Iran dengan kekuatan yang lebih besar. Dengan demikian, ini berarti bahwa kecil kemungkinan Iran atau para proksinya akan meluncurkan serangan signifikan lainnya di Saudi.
Keempat, mengerahkan pasukan dan sistem pertahanan Amerika Serikat, secara dramatis meningkatkan peluang koalisi AS-Arab Saudi untuk mencegah keberhasilan serangan lain. Faktanya, mengingat sistem pertahanan rudal canggih yang telah dibeli Saudi dari Amerika yang menelan biaya miliaran dolar, AS perlu mengetahui mengapa sistem pertahanan itu tidak berhasil mencegah serangan baru-baru ini.
Respons Trump yang terukur secara saksama telah cukup terbayar. Ia telah menerima dukungan dari mayoritas pemilih Amerika Serikat. Selain itu, sekutu-sekutu besar AS di Eropa telah mengecam serangan itu, menyalahkan Iran, dan menawarkan diri untuk membantu memulai negosiasi dengan Iran untuk memodifikasi kesepakatan nuklir 2015.
Bantahan Trump atas kritik terhadap tokoh-tokoh agresif di partainya sendiri―seperti Senator AS Lindsay Graham (Republik-South Carolina) dan mantan Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton, yang ingin agar Trump membalas Iran dengan kekuatan yang tak henti-hentinya―telah berdampak signifikan.
Di Majelis Umum PBB, Trump berkata, “Amerika Serikat tidak pernah percaya pada musuh permanen. Amerika tahu bahwa walau siapa pun dapat berperang, namun hanya yang paling berani yang dapat memilih perdamaian.” Sentimen ini sangat mirip dengan yang diungkapkan oleh mantan Presiden AS Barack Obama dalam pidato pelantikan pertamanya.
Saat itu, Obama berkata, “Kepada mereka yang berpegang teguh pada kekuasaan melalui korupsi, tipu daya, dan membungkam perbedaan pendapat, ketahuilah bahwa Anda berada di sisi sejarah yang salah, tetapi kami akan mengulurkan tangan jika Anda bersedia membuka diri Anda.”
Semoga gagasan-gagasan tersebut akan terus menginformasikan dan memandu kebijakan Amerika Serikat di Timur Tengah dan seluruh dunia.
Dr. Lawrence J. Korb adalah peneliti senior di Center for American Progress dan menjabat sebagai asisten Menteri Pertahanan AS selama tahun 1981-1985.
Keterangan foto utama: Para hadirin menyaksikan pidato Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Lincoln Memorial di Washington, AS, 4 Juli 2019. (Foto: Reuters/Go Nakamura)
Skandal Ukraina Bayangi Keberhasilan Kebijakan Luar Negeri Trump