Stevi merupakan siswa pertama dari kabupaten Tolikara, Enembe, Papua, yang resmi mendapat lisensi pilot komersial. Kemampuannya sebagai pilot akan membantu sesama penduduk asli Papua di desa-desa terpencil di dataran tinggi.
Sebagai pelajar Papua, Nickson Stevi Yikwa bermimpi bisa mendapatkan lisensi pilot komersial di Selandia Baru sehingga dia bisa pulang untuk membantu sesama penduduk asli Papua di desa-desa terpencil di dataran tinggi.
Awal bulan ini, dia menamatkan lisensi komersialnya dari Ardmore Flying School.
“Saya harus menjadi pilot karena komunitas saya di desa terpencil membutuhkan saya dan menunggu saya pulang sebagai pilot untuk melayani mereka,” katanya, dikutip dari Asia Pacific Report.
Sejak 2014, pemerintah provinsi Papua telah mengirimkan sejumlah pelajar asli Papua ke luar negeri, termasuk ke Selandia Baru, Australia, Kanada, China, Jerman, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat.
Tahun ini, beberapa mahasiswa Papua akan lulus dari universitas di Selandia Baru sebagai mahasiswa sarjana dan magister. Prestasi Stevi sebagai pilot merupakan kisah sukses pertama tahun ini dan beberapa siswa akan menyusulnya.
Bersyukur atas dukungan gubernur
Stevi, anak tertua kedua dari enam bersaudara, mengatakan sangat bersyukur atas pencapaiannya.
Ia menyampaikan terima kasih khususnya kepada Gubernur Enembe dan semua pihak yang telah membantunya dalam perjalanan studinya.
Dia telah menghadapi banyak tantangan sejak pertama kali datang ke Selandia Baru pada 2014, seperti kendala bahasa, guncangan budaya, sistem pendidikan, cuaca, beban keluarga, dan masalah lainnya.
“Ketika saya pertama kali datang ke Selandia Baru, saya sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris. Yang saya tahu hanya beberapa kalimat seperti, ‘what is your name, my name is, how are you, and I am fine’,” ucap Stevi.
Dia memikul beban menjadi teladan bagi saudara-saudaranya. Saat menyelesaikan pendidikan SD hingga SMA di Papua, Stevi kesulitan untuk menyesuaikan materi yang disampaikan di kelas, mengingat bahasa Inggrisnya yang kurang baik.
Stevi mengatakan dia beruntung dikelilingi oleh guru, instruktur, orang-orang gereja, dan teman-teman yang mendukung.
Dihadapkan dengan tantangan-tantangan itu, Stevi mengatakan dia hampir menyerah, tetapi dia selalu mengingat komunitasnya di kampung halaman dan harapan mereka agar ia pulang sebagai pilot.
‘Percaya pada Tuhan’
“Saya selalu menaruh kepercayaan saya pada Tuhan. Saya mendapat dukungan dari orang-orang hebat di sekitar saya dan saya benar-benar berkomitmen untuk belajar,” kata Stevi kepada Asia Pacific Report.
Dia mengatakan, saat melakukan program bahasa Inggris di IPU New Zealand Tertiary Institute, dia mencoba lebih dari 10 tes (baik TOEIC dan IELTS) untuk memungkinkan dia masuk ke sekolah penerbangan.
Itu tidak mudah dilakukan karena bahasa Inggris adalah bahasa ketiganya dan dia tidak memiliki kemampuan bahasa Inggris dasar ketika dia datang ke Selandia Baru.
Atas nama keluarga Stevi, Amos Yikwa, menyatakan mereka sangat bangga dengan pencapaian Stevi. Amos Yikwa juga berterima kasih kepada Gubernur Enembe dan pemerintah provinsi yang telah memberikan beasiswa kepada Stevi.
“Seluruh keluarga Stevi sangat berterima kasih kepada Lukas Enembe dan semua orang yang telah berkontribusi untuk kesuksesannya,” kata Amos Yikwa, dilansir dari Asia Pacific Report.
Amos Yikwa, mantan Wakil Bupati Tolikara, mengatakan setahu dia, Stevi merupakan siswa pertama dari kabupaten itu yang resmi mendapat lisensi pilot komersial.
Dibutuhkan di dataran tinggi terpencil
“Saya berharap saat Stevi kembali ke Papua, Tuhan akan memakai dia untuk melayani umatnya, khususnya di daerah dataran tinggi terpencil,” ucap Amos Yikwa.
Sutikshan Sharma, instruktur Yikwa di Sekolah Penerbangan Ardmore mengatakan, suatu kehormatan baginya untuk membantu siswa mencapai impian mereka menjadi seorang pilot. Dia mengatakan memiliki murid seperti Stevi Yikwa sangat membesarkan hatinya.
“Stevi adalah murid yang pekerja keras, jujur, dan dia tahu tujuannya. Dia tahu apa yang dia inginkan, dan dia bekerja keras untuk itu. Selalu menyenangkan memiliki siswa seperti dia,” kata Sharma kepada Asia Pacific Report.
“Dia telah melalui banyak hal, dia harus belajar bahasa Inggris karena bahasa Inggris bukanlah bahasa pertamanya. Datang ke negara di mana bahasa Inggris bukan bahasa pertama mereka dan melakukan kursus berat seperti penerbangan adalah suatu pencapaian. Saya benar-benar mengagumi dia untuk itu dan apa yang telah dia capai,” kata instruktur tersebut.
Sharma mengatakan, saat Yikwa menjalani uji terbang, dia lulus dengan skor 85 persen. Ini adalah standar yang sangat bagus dan sangat sulit bagi siswa untuk mencapai level itu, katanya.
Marveys Ayomi, Koordinator Beasiswa Provinsi Papua di Selandia Baru, yang memilih Stevi Yikwa sebagai penerima beasiswa Pemprov Papua pada 2014, mengatakan, keberhasilan belajar seorang mahasiswa tidak bisa serta merta dilihat dari kemampuan akademiknya saja.
Ia percaya bahwa kekuatan diri juga merupakan salah satu atribut yang berkontribusi terhadap kesuksesan Stevi dan mahasiswa Papua lainnya.
Motivasi untuk sukses
“Menjadi seorang akademisi dan berada dalam posisi ini sebagai koordinator beasiswa terkadang kita mengabaikan pentingnya kekuatan batin seseorang dan dorongan serta motivasi individu untuk sukses,” kata Ayomi.
Ayomi, yang juga merupakan orang asli Papua pertama yang menjadi pengajar di Selandia Baru, mengatakan kekuatan mental adalah kuncinya, karena ia yakin jika mahasiswa memiliki kemampuan akademis yang tepat maka mereka pasti akan sukses. Namun itu bukan satu-satunya atribut yang berkontribusi pada kesuksesan.
“Dibutuhkan lebih dari itu dan saya pikir mental atau kekuatan batin yang dimiliki Stevi mungkin adalah faktor pendorong utama di balik kesuksesannya, dan keyakinan untuk percaya ‘Saya bisa melakukannya’.
Itu bukan perjalanan yang mudah, tapi saya tahu dia mampu mencapai tujuannya,” tutur Ayomi.
Penerjemah: Nur Hidayati
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Seorang warga Papua memegang bendera Bintang Kejora selama pemakaman pemimpin kemerdekaan terkemuka, Theys Eluay, yang meninggal pada tahun 2001. Mereka yang mengibarkan bendera tersebut berisiko dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun (Foto: Reuters/Darren Whiteside)