Malaysia dan Singapura di Ambang Resesi Akibat Pandemi COVID-19
Berita Politik Indonesia Hari Ini

Tak Nasionalis, BI Putus Rantai Penggunaan Ringgit di Kalimantan

Berita Internasional > Tak Nasionalis, BI Putus Rantai Penggunaan Ringgit di Kalimantan

Penggunaan mata uang ganda (Rupiah dan Ringgit) di perbatasan Kalimantan dan Malaysia sudah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Sehingga, masyarakat menganggap penggunaan mata uang ganda di sini merupakan hal biasa.

Beberapa warga yang bermukim di perbatasan Kalimantan dan Malaysia hingga kini masih ajeg menggunakan mata uang Ringgit Malaysia sebagai alat transaksi.

Di Desa Tembawang, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, misalnya, 100 persen warga menggunakan mata uang Ringgit Malaysia dalam perniagaan. Dalih mereka menolak Rupiah sebagai alat tukar lantaran akses ke ibu kota kecamatan dan wilayah lain sangat sulit dan lama, sekitar delapan hingga sepuluh jam. Itu pun hanya bisa ditempuh lewat jalur air. Sementara, ke Malaysia meski aksesnya sulit, tetapi jaraknya jauh lebih dekat, yakni 15-30 menit.

“Dua dusun di desa kami 100 persen menggunakan uang ringgit Malaysia. Coba saja kita transaksi di sana, orang tidak menerima rupiah,” ujar Kepala Desa Tembawang, Gak Muliadi kepada CNN Indonesia.

Baca Juga: Perang Dagang Lemahkan Rupiah, Bisakah Bank Indonesia Bangun Pertahanan?

Di desa berpenduduk 3.200 jiwa ini, kebanyakan warga lebih banyak menjual produk pertanian seperti lada ke Malaysia. Sebaliknya, barang kehidupan sehari-hari pun mereka peroleh di Negeri Jiran itu. Singkatnya, perekonomian warga di tapal batas ini sangat bergantung pada Malaysia.

Sebelas dua belas, transaksi masyarakat Pulau Sebatik Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara juga masih menggunakan mata uang Ringgit Malaysia. Kurang lebih, alasan yang mereka lontarkan sama dengan yang dipaparkan masyarakat perbatasan di Kalimantan Barat.

Nur Hiyah (40), warga setempat memaparkan, penggunaan mata uang Ringgit dikarenakan mereka masih melakukan transaksi jual-beli barang dengan Malaysia, sehingga terpaksa menggunakan mata uang itu.

“Karena kami beli barang kebutuhan pokok seperti sembako masih dari Malaysia, sehingga kita menggunakan mata uang Ringgit. Selain itu, masyarakat juga sudah terbiasa melakukan transaksi menggunakan mata uang Ringgit dan Rupiah,” kata Nur Hiyah di Kampung Sebatik, Nunukan, dilansir dari Kumparan.

Nur Hiyah menambahkan, penggunaan mata uang ganda (Rupiah dan Ringgit) di sini sudah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Sehingga, masyarakat menganggap penggunaan mata uang ganda di sini merupakan hal biasa.

“Jadi kalau ada masyarakat yang beli barang di sini pakai uang Rupiah kemudian untuk kembaliannya ingin pakai Ringgit, bisa, begitu pula sebaliknya,” ucap Nur kepada sumber yang sama.

Kendati begitu, ia sendiri mengaku sudah mengetahui aturan pemerintah mengenai penggunaan mata uang Rupiah ini. Namun, karena penggunaan mata uang ganda di Sebatik sudah berlangsung secara turun-temurun, ia menilai tidak ada yang salah dengan penggunaan mata uang ganda.

Penggunaan ringgit yang telah berlangsung turun-temurun ini membuat pemerintah Indonesia gusar. Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kalbar, Dwi Suslamanto menyatakan, masalah mata uang menjadi pekerjaan rumah dan perhatian serius pihaknya.

“Kondisi itu menjadi PR kami, tetapi kondisinya memang tidak memungkinkan untuk setiap bulan melakukan kas keliling. Kita akan berkonsultasi dengan pusat agar masalah ini ada jalan keluarnya bagi masyarakat,” ujar dia kepada Tempo.

Demi menurunkan transaksi dengan mata uang Malaysia, maka BI Kaltara telah menggelontorkan Rp80 miliar ke pulau yang berbatasan langsung dengan Malaysia itu pada 2019.

Selain itu, BI juga menambah loket penukaran uang tunai dan mendorong masyarakat di pulau itu agar meningkatkan kesadaran menggunakan mata uang rupiah.

“Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang mata uang sudah sangat jelas bahwa Warga Negara Indonesia yang menggunakan mata uang asing dalam bertransaksi dikenakan sanksi,” kata dia di Yogyakarta, Sabtu 9 November 2019.

Namun, imbuh Hendik, menurunkan animo masyarakat menggunakan mata uang Ringgit tidak bisa dilakukan sendiri oleh Bank Indonesia. Namun, perlu melibatkan seluruh elemen masyarakat, baik pemerintah daerah, tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat kepolisan, TNI, bahkan media massa.

Pelibatan TNI dari Babinsa diperlukan dengan jalan mensosialisasikan kepada masyarakat pentingnya bertransaksi dengan Rupiah, karena alasan nasionalisme.

Ia menuturkan, cara lain mengurangi peredaran mata uang Ringgit di Kabupaten Nunukan adalah membatasi masuknya produk Malaysia ke daerah itu. Namun, yang dapat melakukan ini adalah instansi terkait seperti bea cukai, kepolisian, dan aparat hukum lainnya di daerah ini..

Baca Juga: Perang Dagang AS-China Hantam Rupiah, BI Tetap Pertahankan Suku Bunga

Menggencarkan pendistribusian uang rupiah ke pulau terpencil juga penting untuk dilakukan. Oleh sebab itu, sejak 20178, BI menggandeng Polairud untuk mendistribusikan uang Rupiah ke belasan ribu pulau di perairan RI.

Tak dinyana, upaya-upaya yang telah dilakukannya sejak 2018 ini mampu mengurangi penggunaan mata uang Ringgit di Pulau Sebatik hingga sepuluh persen.

Sebelum rutin turun di Pulau Sebatik dengan menyediakan fasilitas dan memupuk kesadaran masyarakat, penggunaan mata uang ringgit berbanding sekira 30-70. Artinya, 30 persen warga masyarakat masih berbelanja menggunakan uang Ringgit, lapor Tempo lagi.

Menurut dia, prinsip masyarakat Pulau Sebatik bahwa “Garuda di dadaku Malaysia di perutku” perlu tetap dipatahkan dengan cara terus mendorong sikap nasionalisme bagi masyarakat di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kabupaten Nunukan itu.

 

Penulis dan editor: Purnama Ayu Rizky

Keterangan foto utama: Ilustrasi mata uang Ringgit Malaysia yang masih digunakan di daerah perbatasan Kalimantan-Malaysia. (Foto: 123RF)

Tak Nasionalis, BI Putus Rantai Penggunaan Ringgit di Kalimantan

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top