Perintah Presiden Filipina Rodrigo Duterte untuk membunuh pelanggar karantina di tengah kekacauan pandemi virus corona kembali menjadi ujian bagi demokrasi di negaranya.
Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengedepankan gaya kepemimpinannya yang unik dan brutal demi memerangi pandemi COVID-19.
Pada 24 Maret 2020, polisi di San Isidro, Filipina, memaksa para pelanggar jam malam untuk duduk di bawah matahari. Laman Facebook pemerintah setempat mengunggah foto mereka dan mengatakan, “Semua orang yang melanggar jam malam akan ditempatkan di sini.”
Perlakuan semacam itu secara hukum diklasifikasikan sebagai penyiksaan di bawah Undang-Undang Anti-Torture Act yang disahkan di Filipina pada 2009.
Beberapa hari sebelumnya, para pejabat di Santa Cruz, Provinsi Laguna, Filipina, mengunci lima pemuda di dalam kandang anjing karena pelanggaran yang sama. Laporan lebih lanjut muncul tentang pemukulan dan penembakan oleh polisi di seluruh negeri.
“Siapa pun yang keluar pada waktu yang salah akan ditembak, Anda brengsek,” seru seorang petugas polisi di sebuah laporan radio pada 26 Maret, dikutip Foreign Policy.
Pada 1 April, Duterte menyampaikan pidato nasional mendadak dengan pesan singkat dan jelas: “Perintah saya kepada polisi dan militer jika ada masalah atau situasi muncul ketika nyawa Anda dipertaruhkan, tembak mereka mati. Paham? Mati. Saya akan mengirim Anda ke liang kubur. Jangan menguji pemerintah.”
Dalam peringatannya, Duterte menyoroti kelompok hak asasi manusia Kadamay yang dituduhnya telah menghasut protes menentang penutupan wilayah oleh pemerintah.
Peti mati diletakkan di tengah jalan untuk memperingatkan warga agar tetap tinggal di rumah di tengah ancaman pandemi COVID-19 di Filipina, 26 Maret 2020. (Foto: Getty Images/Ezra Acayan)
Pidato tersebut dilakukan setelah berminggu-minggu kritik terhadap penanganan pemerintah atas pandemi COVID-19. Dua hari kemudian, seorang petani berusia 63 tahun ditembak mati di Mindanao setelah dilaporkan menolak untuk mengenakan masker. Polisi melaporkan pria itu mabuk serta menyerang petugas kesehatan dan polisi dengan sabit.
Insiden itu disambut dengan kemarahan publik. Beberapa warga negara Filipina menyerukan agar Duterte digulingkan. Bahkan basis pendukung tradisionalnya mengkritik langkah tersebut.
“Ketika Anda memiliki pemerintah yang memprioritaskan mobilisasi pasukan militer dan polisi untuk menanggapi krisis kesehatan, Anda pasti melihat kurangnya rencana dalam prioritas mereka,” tutur Matthew Jzac Kintanar, pelajar yang aktif dalam protes online terhadap pemerintah Duterte dari rumahnya di Mindanao di Filipina selatan, kepada Foreign Policy.
“Pemerintah harus memprioritaskan pengujian corona massal, pelacakan kontak secara agresif, perlindungan garis depan penanganan wabah, dan dukungan ekonomi untuk semua individu, tetapi sebaliknya kita justru mendapatkan ancaman.”
Perintah Duterte untuk menembak mati hanyalah satu peningkatan dalam penegasannya terhadap otoritas. Hal itu mengingatkan pada tindakan keras Duterte dalam memerangi narkotika ilegal yang telah menewaskan lebih dari 20.000 tersangka penjaja narkoba dalam tiga tahun, menurut berbagai organisasi hak asasi manusia.
Pemerintah Filipina telah menempatkan jumlah korban tewas sekitar 6.000 orang. Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyerukan penyelidikan atas tindakan keras selama perang narkoba Duterte.
Menurut Carlos Conde, peneliti di Human Rights Watch Philippines, selain penganiayaan di tangan pihak berwenang, penangkapan atas pelanggar jam malam dan aturan lainnya bersifat kontraproduktif dalam mengurangi penyebaran virus corona baru.
“Aspek yang paling mengkhawatirkan dari puluhan ribu penangkapan adalah mereka dilemparkan ke penjara dan pusat penahanan yang penuh sesak. Hal itu sepenuhnya menghilangkan kemungkinan menjaga jarak sosial (social distancing).”
Situasi yang terjadi di Filipina telah menimbulkan kekhawatiran baru tentang meningkatnya otoritarianisme selama pandemi. Pada 1 April, dalam sebuah pernyataan, sekelompok 13 negara anggota Uni Eropa mengatakan mereka “sangat khawatir” tentang penggunaan langkah-langkah darurat untuk mengatasi wabah. Mereka takut bahwa beberapa kekuatan dapat mengancam “demokrasi dan hak-hak dasar”.
Deklarasi ini terjadi setelah Parlemen Hungaria memberikan Perdana Menteri Viktor Orban kekuatan baru yang menyeluruh, sementara negara-negara lain sedang mempertimbangkan langkah-langkah serupa.
Namun, Duterte sangat blak-blakan dan brutal dalam menanggapi pandemi. Pertama, Karantina Masyarakat yang Ditingkatkan (ECQ) yang menempatkan Manila dan seluruh Pulau Luzon dalam penguncian wilayah pada 16 Maret, telah menangguhkan perjalanan domestik dan internasional. Bisnis ditutup, dengan pengecualian supermarket dan apotek, sementara polisi, militer, dan pejabat pemerintah setempat memberlakukan jam malam antara pukul 8 malam hingga 5 pagi.
Pada 21 Maret, kantor presiden meminta Kongres Filipina untuk memberikan kekuasaan khusus kepada Duterte yang akan memungkinkannya untuk mengambil alih utilitas dan bisnis milik pribadi untuk mengatasi dampak COVID-19.
Setelah permintaannya ditolak, Duterte menandatangani Undang-Undang Bayanihan to Heal as One Act pada 25 Maret. UU itu akan memberinya 30 kekuatan termasuk kemampuan untuk mengambil alih fasilitas medis swasta dan transportasi umum serta memberinya kontrol yang lebih besar terhadap cabang eksekutif, termasuk perusahaan yang dimiliki dan dikendalikan pemerintah.
Para pengacara telah mengkritik langkah itu. Mereka bersikeras undang-undang yang sudah ada telah menawarkan presiden kekuasaan seperti itu dan menekankan UU itu tidak mengatasi akar penyebab krisis kesehatan karena kurangnya rencana komprehensif Duterte dalam penanggulangan wabah.
Sementara itu, undang-undang tersebut menghukum para pelanggar dengan hukuman penjara sampai dua bulan atau denda hingga 1 juta peso Filipina (sekitar US$20.000). Hukuman itu mencakup individu atau kelompok yang ditemukan menciptakan atau menyebarkan informasi palsu mengenai krisis COVID-19.
Kelompok pers lokal The National Union of Journalists menegaskan, ketentuan tersebut menjadikan pemerintah sebagai “penentu dari apa saja yang benar atau salah”, dan pada akhirnya akan “mengkriminalisasi kebebasan berbicara”.
Para politisi di Filipina sama-sama menantang ketetapan itu. Senator Filipina Leila de Lima, yang telah berada di penjara sejak 2017 karena diduga melanggar undang-undang perdagangan narkoba, mengaku tidak asing dengan otoritarianisme yang sewenang-wenang.
“Saya pribadi mengalami menjadi korban penyalahgunaan hukum untuk membungkam perbedaan pendapat yang demokratis, alat yang berguna di rezim tiran,” ucapnya dalam sebuah wawancara penjara dengan Foreign Policy.
De Lima menuturkan, ada lebih banyak penangkapan terhadap pelanggar jam malam dan karantina (setidaknya 17.000) daripada pengujian massal (3.000).
“Orang-orang sekarat karena pemerintah lebih peduli tentang mempertahankan kontrol dan kekuasaan, daripada melindungi dan melayani. Kita sekarang hanya berjarak satu gerombolan lapar menuju kediktatoran.”
Pendekatan Duterte juga tidak terlihat bekerja dengan baik dalam mengatasi pandemi. Departemen Kesehatan Filipina telah mencatat 5.660 kasus infeksi virus corona baru yang dikonfirmasi di Filipina hingga Kamis (16/4). Angka itu menjadi lompatan drastis dari hanya tiga kasus yang dilaporkan pada 2 Maret.
Filipina mencatat jumlah tertinggi kasus kumulatif COVID-19 di Asia Tenggara hingga Rabu (15/4), menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diikuti oleh Indonesia dan Malaysia. Di kawasan ini, Filipina memiliki jumlah kematian tertinggi kedua sebanyak 362 jiwa dan tingkat pemulihan terendah kedua dengan hanya 435.
Prajurit Filipina berjaga di pos pemeriksaan di perbatasan antara Quezon City dan Manila, Filipina, 18 Maret 2020. (Foto AFP)
Filipina juga memiliki persentase kematian COVID-19 tertinggi di antara para profesional perawatan kesehatan di dunia. Negara itu telah melakukan tes yang jauh lebih sedikit daripada kebanyakan negara lain, yakni 38.103 untuk populasi 109 juta jiwa, menurut data yang dikumpulkan oleh Universitas Johns Hopkins.
Jenis hukuman lain bagi pelanggar peraturan di Filipina juga sangat merendahkan. Pada 5 April, tiga anggota komunitas LGBTQI+ di Pandacaqui, Pampanga “diperintahkan untuk saling mencium satu sama lain dan melakukan tarian seksi di hadapan anak di bawah umur”, Rappler melaporkan, sebagai hukuman karena melanggar jam malam, sementara insiden itu disiarkan langsung di Facebook oleh kapten barangay, pejabat terpilih tertinggi di desa.
RUU anti-diskriminasi yang akan menghukum jenis perilaku itu telah macet di Kongres Filipina selama hampir empat tahun.
Siaran langsung Facebook lainnya menunjukkan para tahanan di Pandacaqui dipaksa menandatangani surat jaminan dengan keringat, sementara diancam dengan hukuman pukulan papan kayu di pantat (paddling).
Insiden yang paling terkenal sampai saat ini mungkin menyangkut protes oleh warga di Sitio San Roque, Quezon City yang meminta bantuan makanan pada 1 April. Dua puluh satu orang ditangkap dengan uang jaminan masing-masing 15.000 peso (hampir US$300).
Dengan 80 persen dari San Roque mendapatkan upah minimum sekitar 500 peso per hari dan sebagian besar penduduk tidak dapat bekerja selama penguncian wilayah, biaya jaminan sebesar itu tidak mungkin dipenuhi oleh kebanyakan orang.
Organisasi-organisasi hak asasi manusia dan kelompok-kelompok buruh telah mengungkapkan kemarahan terhadap penangkapan yang kejam itu. The Asia Pacific Coalition for Human Rights in the Philippines menyerukan pembebasan 21 pengunjuk rasa, yang hingga 6 April masih dalam tahanan polisi.
“Pihak berwenang Filipina harus segera menyelidiki laporan pejabat barangay (desa) yang melakukan pelanggaran,” tegas Amnesty International Filipina pada 8 April. Kelompok buruh Bukluran ng Manggagawang Pilipino menyerukan, “tindakan menangkap orang-orang yang lapar dan putus asa adalah hal buruk baru yang dilakukan pemerintahan yang sudah kejam ini”.
Akibat kebrutalan semacam itu, gelombang sentimen publik mulai berubah. Selama dua minggu terakhir, tagar #StopTheAttacks, #BasicSocialServicesforthePoor, dan #MassTestingNowPH beredar luas di media sosial. Sentimen yang berkembang di antara masyarakat Filipina adalah, semakin pemerintah Duterte berfokus pada respons militeristik yang kejam, semakin sedikit perhatian diarahkan pada solusi kesehatan.
Rakyat menunggu pemerintah untuk memenuhi janjinya akan bantuan untuk petugas kesehatan dan bantuan uang tunai darurat untuk 18 juta keluarga berpenghasilan rendah, di mana lebih dari 1,5 juta orang telah kehilangan semua sumber pendapatan.
The International Coalition for Human Rights in the Philippines mengatakan, krisis ini akan semakin berdampak buruk pada orang miskin.
“Kami mendukung upaya gerakan rakyat yang diberdayakan di Filipina untuk membuat pemerintah Duterte bertanggung jawab atas setiap nyawa orang miskin yang gugur karena penolakan layanan perawatan kesehatan dan perlindungan dari COVID-19, setiap staf medis dan petugas garda depan yang meninggal dan berisiko karena kekurangan fasilitas dan peralatan yang memadai secara besar-besaran,” tulis koalisi tersebut dalam sebuah pernyataan, dikutip Foreign Policy.
Eliza Romero adalah koordinator Malaya Movement, aliansi yang berbasis di Amerika Serikat untuk memajukan demokrasi dan hak asasi manusia di Filipina. Dia mengatakan, organisasinya mendukung meningkatnya protes yang menuntut pembebasan penduduk San Roque dan mengecam tanggapan pemerintah terhadap wabah virus.
“Perintah menembak mati hanya akan mendorong lebih banyak pembunuhan di luar hukum dan main hakim sendiri,” ujar Romero. “Ini akan memberi impunitas kepada warga negara dan kapten barangay untuk melakukan lebih banyak pelanggaran HAM di bawah perlindungan hukum sambil menormalisasi pembantaian.”
Forum Kalusugan, Hindi Diktadura! (Kesehatan, Bukan Kediktatoran!) menyelenggarakan kampanye online dengan para pembicara dari organisasi advokasi pada 1 April. Mereka mendorong unjuk rasa media sosial yang menyebarkan tagar #DUTERTERESIGN dan #OUSTDUTERTENOW serta pesan “Solusyong medical, hindi military” (solusi medis, bukan militer) yang mulai populer di Twitter.
Di tengah pendekatan militeristik pemerintah Filipina, orang-orang telah menangani situasi mereka sendiri. Operasi bantuan yang dipimpin oleh warga, kampanye informasi, dan upaya donasi memberikan ratusan solusi berbasis masyarakat demi menanggulangi respons pemerintah yang lemah.
Mereka menyebutnya sebagai Citizens’ Urgent Response to End COVID-19 (CURE COVID), prakarsa yang terdiri dari berbagai organisasi dan sektor seperti organisasi pelajar National Union of Students of the Philippines yang aktif menyerukan pembebasan 21 penduduk San Roque.
“Perintah Duterte menjadi lebih berbahaya karena budaya impunitas yang diciptakan oleh pemerintahannya. Pasukan keamanan negara tidak akan ragu untuk menarik pelatuk senjata karena mereka tahu mereka mendapat dukungan dari presiden,” ujar Jandeil Roperos, wakil sekretaris jenderal kelompok pelajar itu.
Masyarakat Filipina waspada terhadap tindakan-tindakan yang menyerupai kediktatoran, yang mengingatkan pada tahun-tahun kepemimpinan mantan Presiden Ferdinand Marcos yang terkenal kejam sebelum People Power Revolution 1986.
“Fakta Filipina sudah berada di bawah keadaan darurat militer de facto jauh sebelum karantina masyarakat ditingkatkan merupakan bukti taktik ala Marcosian oleh Duterte,” tegas Roperos. “Perang narkoba Duterte, pembunuhan di luar proses hukum, persekusi politik, dan pelabelan terhadap para aktivis dan kritikus adalah beberapa contoh taktik ini dan bukti demokrasi Filipina terancam punah. Seluruh negeri menahan napas ketika dia meminta lebih banyak kekuatan justru karena dia bersikeras menciptakan kembali kediktatoran ala Marcos.”
“Rakyat Filipina telah melawan sistem yang menindas mereka sejak lama. Perbedaan pendapat baru-baru ini terhadap ketidakmampuan Duterte telah berkontribusi pada meningkatnya keresahan sosial. Jatuhnya Duterte dari kekuasaan, jika dia gagal mengubah arah kebijakan, tidak bisa dihindari lagi.”
“Pandemi COVID-19 memberinya lebih banyak peluang untuk melanggar hak asasi manusia dan membahayakan demokrasi,” ucap Conde, peneliti Human Rights Watch. “Suasana seperti darurat militer, larangan kritik, ditambah dengan tindakan penumpasan di masa lalu terhadap media dan kritik, semuanya memungkinkan keruntuhan demokratis.”
Lebih dari tiga dekade lalu, Foreign Policy mencatat, People Power Revolution yang sangat terkenal itulah yang akhirnya menjatuhkan kediktatoran Marcos pada Februari 1986 ketika ratusan ribu orang Filipina bangkit untuk menantang sang presiden.
Jika Duterte tidak berhati-hati, sejarah dapat terulang kembali, menurut pengunjuk rasa mahasiswa Kintanar: “Pandemi ini telah mengungkapkan wajah yang terburuk dari pemerintahan ini. Orang-orang merasa lelah, marah, dan muak dengan cara kita diperlakukan. Rakyat Filipina telah menunjukkan kekuatan masyarakat kepada dunia. Kami telah menggulingkan dua presiden sebelumnya. Saya yakin, jika perlu, kami tidak akan ragu untuk melakukannya lagi.”
Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari
Editor: Aziza Larasati
Keterangan foto utama: Presiden Filipina Rodrigo Duterte (Foto: Heads of State)